Biografi Ki Hajar Dewantara: Diasingkan ke Belanda, Tanggal Lahirnya Diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Biografi Ki Hajar Dewantara menarik untuk diketahui para penerus bangsa, terutama generasi muda. Sosok yang menentang kolonial Belanda ini dijuluki Bapak Pendidikan Indonesia
Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Nama lahirnya adalah RM Soewardi Soerjaningrat. Dia adalah putra GPH Soerjaningrat, atau cucu Sri Paku Alam III.
Dikutip dari Wikipedia, RM Soewardi Soerjaningrat mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara pada saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa. Tak ada lagi gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini agar dapat bebas dekat dengan rakyat secara fisik maupun jiwa.
Ki Hajar Dewantara mengenyam pendidikan Europeesche Lagere School (ELS), Sekolah Dasar zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Sempat meneruskan pendidikan di sekolah guru namun tidak tamat, Ki Hajar Dewantara pada tahun 1905 kembali bersekolah di School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (STOVIA). Diketahui, STOVIA merupakan sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda. Lantaran kondisi kesehatannya tidak mengizinkan, dia tidak tamat dari sekolah ini.
Profesi wartawan pun digeluti Ki Hajar Dewantara. Dia berkiprah di sejumlah surat kabar dan majalah kala itu, seperti Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Dalam tulisannya, Ki Hajar Dewantara kerap melontarkan kritik sosial politik kaum bumiputra kepada penjajah.
Ki Hajar Dewantara juga aktif di Boedi Oetomo yang berdiri pada 1908. Masuk Divisi Propaganda, Ki Hajar terus menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Pada 25 Desember 1912, Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai Tiga Serangka, mendirikan Indische Partij. Organisasi ini bergerak di bidang politik dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka.
Ki Hajar Dewantara terus melontarkan kritikannya kepada kolonial Belanda. Bahkan, akibat tulisan berjudul "Seandainya Aku Seorang Belanda" atau "Als ik een Nederlander was", yang dimuat dalam surat kabar De Express pimpinan Douwes Dekker, 13 Juli 1913, Ki Hajar dibuang atau diasingkan ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo tak tinggal diam. Keduanya protes. Ketiganya pun kemudian diasingkan ke Belanda selama enam tahun, sejak 1913-1919.
Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Nama lahirnya adalah RM Soewardi Soerjaningrat. Dia adalah putra GPH Soerjaningrat, atau cucu Sri Paku Alam III.
Dikutip dari Wikipedia, RM Soewardi Soerjaningrat mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara pada saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa. Tak ada lagi gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini agar dapat bebas dekat dengan rakyat secara fisik maupun jiwa.
Ki Hajar Dewantara mengenyam pendidikan Europeesche Lagere School (ELS), Sekolah Dasar zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Sempat meneruskan pendidikan di sekolah guru namun tidak tamat, Ki Hajar Dewantara pada tahun 1905 kembali bersekolah di School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (STOVIA). Diketahui, STOVIA merupakan sekolah untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda. Lantaran kondisi kesehatannya tidak mengizinkan, dia tidak tamat dari sekolah ini.
Profesi wartawan pun digeluti Ki Hajar Dewantara. Dia berkiprah di sejumlah surat kabar dan majalah kala itu, seperti Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Dalam tulisannya, Ki Hajar Dewantara kerap melontarkan kritik sosial politik kaum bumiputra kepada penjajah.
Ki Hajar Dewantara juga aktif di Boedi Oetomo yang berdiri pada 1908. Masuk Divisi Propaganda, Ki Hajar terus menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Pada 25 Desember 1912, Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai Tiga Serangka, mendirikan Indische Partij. Organisasi ini bergerak di bidang politik dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka.
Ki Hajar Dewantara terus melontarkan kritikannya kepada kolonial Belanda. Bahkan, akibat tulisan berjudul "Seandainya Aku Seorang Belanda" atau "Als ik een Nederlander was", yang dimuat dalam surat kabar De Express pimpinan Douwes Dekker, 13 Juli 1913, Ki Hajar dibuang atau diasingkan ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo tak tinggal diam. Keduanya protes. Ketiganya pun kemudian diasingkan ke Belanda selama enam tahun, sejak 1913-1919.