Atas Nama Jenama dan Jemawa Proyek
loading...
A
A
A
Pertama, kiblat guru hari ini jelas sangat berbeda dengan guru lampau. Apalagi jika berbanding dengan nyali “guru Oemar Bakri” yang populis. Guru kini tidak sepenuhnya militan pada profesi. Belum lagi kegaduhan cap status guru honorer. Guru sekadar sah dengan ijazah sehingga lahirlah zaman-guru. Istilah kerennya nekrofilia. Guru dicetak ala pabrik. Berbeda dengan guru lampau yang menentukan profesi adalah pilihan sehingga membenihkan guru-zaman yang diagungkan. Guru pembelajar. Menjadi guru sadar untuk menapasi siswa. Istilah kerennya biofilia.
Kedua, guru hari ini adalah cetakan dari sisa-sisa pilihan atas cita-cita. Artinya, penentuan gelar guru tidak dilandasi innergoal, idam-idaman. Dampaknya, produk guru bukanlah guru sejati. Bukan guru ideal, melainkan guru magel (guru amatir, bahkan guru karbitan).
baca juga: Perlu Konten Digital Buku Sekolah Tahun Ajaran Baru
Ketiga, guru (khususnya guru mapel Bahasa Jawa) semakin terpuruk. Keterpurukan ini ditambah cap bahwa mapel Bahasa Jawa sekadar muatan lokal (mulok). Lokal yang dibatasi geografi (diajarkan di DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Apakah marjin lokalitas ini melembekkan gairah guru? Jauh-jauh hari Ajip Rosidi mengkritik bahwa mulok mapel Bahasa Sunda untuk Provinsi Jawa Barat pun melempem. Apes.
Keempat, guru-muda mapel Bahasa Jawa dan para peserta didik sering salah mengucapkan huruf, suku kata, atau kata dalam bahasa Jawa lebih disebabkan tidak memahami kurikulum yang diacu. Kurikulum Bahasa Jawa sebenarnya mirip dengan kurikulum Bahasa Indonesia. Hanya objek materi yang menjadi ciri pembeda. Sebagai contoh, kelas I, II, III jelas dipandu untuk melafalkan (mendengarkan lalu menirukan) patah kata dari seorang guru. Kelas III baru disuguhi materi menulis huruf Jawa, hanacaraka. Hanacaraka menjadi satu dasar untuk model pelafalan. Mengapa guru menganggap sepele? Dampaknya kian menggejala, terjadilah logical fallacy. Repot, kan? Peserta didik gagap berucap yang berakibat komunikasi harian selalu merayakan salah kaprah berbahasa.
baca juga: Kurikulum Pendidikan Perlu Disesuaikan dengan Kondisi Pandemi
Kelima, guru mapel Bahasa Jawa (selagi masih menjadi mahasiswa PGSD atau FKIP Prodi Bahasa Daerah) mengalami ewuh aya ajar. Dosen menyampaikan materi kebahasajawaan dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Jelas tidak pas. Jadi, jangan heran jika guru-muda selalu tergopoh-gopoh berbahasa Jawa secara resmi. Inilah satu cacat pengajaran di perguruan tinggi. Stigma menahun, tetapi tidak disadari sebagai penyakit. Tak usah malulah, berkacalah pada kesuksesan pengajaran bahasa asing (bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Korea, Jepang, atau Prancis) yang sebenarnya ini era penjajahan kasta bahasa!
Keenam, ada tuntutan bahwa bahasa Jawa akan terpatri di hati baik guru maupun siswa jika sang guru punya nyali nggetih untuk nyinau budaya Jawa. Artinya, guru mapel Bahasa Jawa tidak sekadar menyampaikan materi yang sudah tersurat dalam buku pegangan semata, tetapi dituntut untuk memberi contoh karakter yang bisa disegani siswa. Karakter inilah yang selama ini tidak diimani guru bahasa Jawa. Akibatnya, siapa pun orangnya bisa mengajarkan materi bahasa Jawa di kelas.
baca juga: Resmi! Literasi Keuangan Masuk Kurikulum Pendidikan
Ketujuh, ada satu contoh kasus bahwa pengajaran Bahasa Jawa di Kota Solo dinilai belum berhasil dalam upaya menanamkan pendidikan karakter kepada siswa. Salah satu penyebabnya, pengetahuan guru Bahasa Jawa tentang kebudayaan Jawa masih sangat dangkal, sumir. Guru tidak memiliki wawasan kuat tentang kebudayaan Jawa. Alasan ini didasarkan hasil survei yang kala itu disampaikan Kepala Institut Javanologi (Pusat Kajian Jawa) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sahid Teguh Widodo, M.Hum, Ph.D tempo silam. Kebudayaan Jawa tidak sekadar bahasa Jawa, tetapi juga tata cara bertindak beserta budaya dalam cakupan arti yang luas dan selalu berkembang.
Kedua, guru hari ini adalah cetakan dari sisa-sisa pilihan atas cita-cita. Artinya, penentuan gelar guru tidak dilandasi innergoal, idam-idaman. Dampaknya, produk guru bukanlah guru sejati. Bukan guru ideal, melainkan guru magel (guru amatir, bahkan guru karbitan).
baca juga: Perlu Konten Digital Buku Sekolah Tahun Ajaran Baru
Ketiga, guru (khususnya guru mapel Bahasa Jawa) semakin terpuruk. Keterpurukan ini ditambah cap bahwa mapel Bahasa Jawa sekadar muatan lokal (mulok). Lokal yang dibatasi geografi (diajarkan di DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Apakah marjin lokalitas ini melembekkan gairah guru? Jauh-jauh hari Ajip Rosidi mengkritik bahwa mulok mapel Bahasa Sunda untuk Provinsi Jawa Barat pun melempem. Apes.
Keempat, guru-muda mapel Bahasa Jawa dan para peserta didik sering salah mengucapkan huruf, suku kata, atau kata dalam bahasa Jawa lebih disebabkan tidak memahami kurikulum yang diacu. Kurikulum Bahasa Jawa sebenarnya mirip dengan kurikulum Bahasa Indonesia. Hanya objek materi yang menjadi ciri pembeda. Sebagai contoh, kelas I, II, III jelas dipandu untuk melafalkan (mendengarkan lalu menirukan) patah kata dari seorang guru. Kelas III baru disuguhi materi menulis huruf Jawa, hanacaraka. Hanacaraka menjadi satu dasar untuk model pelafalan. Mengapa guru menganggap sepele? Dampaknya kian menggejala, terjadilah logical fallacy. Repot, kan? Peserta didik gagap berucap yang berakibat komunikasi harian selalu merayakan salah kaprah berbahasa.
baca juga: Kurikulum Pendidikan Perlu Disesuaikan dengan Kondisi Pandemi
Kelima, guru mapel Bahasa Jawa (selagi masih menjadi mahasiswa PGSD atau FKIP Prodi Bahasa Daerah) mengalami ewuh aya ajar. Dosen menyampaikan materi kebahasajawaan dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Jelas tidak pas. Jadi, jangan heran jika guru-muda selalu tergopoh-gopoh berbahasa Jawa secara resmi. Inilah satu cacat pengajaran di perguruan tinggi. Stigma menahun, tetapi tidak disadari sebagai penyakit. Tak usah malulah, berkacalah pada kesuksesan pengajaran bahasa asing (bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Korea, Jepang, atau Prancis) yang sebenarnya ini era penjajahan kasta bahasa!
Keenam, ada tuntutan bahwa bahasa Jawa akan terpatri di hati baik guru maupun siswa jika sang guru punya nyali nggetih untuk nyinau budaya Jawa. Artinya, guru mapel Bahasa Jawa tidak sekadar menyampaikan materi yang sudah tersurat dalam buku pegangan semata, tetapi dituntut untuk memberi contoh karakter yang bisa disegani siswa. Karakter inilah yang selama ini tidak diimani guru bahasa Jawa. Akibatnya, siapa pun orangnya bisa mengajarkan materi bahasa Jawa di kelas.
baca juga: Resmi! Literasi Keuangan Masuk Kurikulum Pendidikan
Ketujuh, ada satu contoh kasus bahwa pengajaran Bahasa Jawa di Kota Solo dinilai belum berhasil dalam upaya menanamkan pendidikan karakter kepada siswa. Salah satu penyebabnya, pengetahuan guru Bahasa Jawa tentang kebudayaan Jawa masih sangat dangkal, sumir. Guru tidak memiliki wawasan kuat tentang kebudayaan Jawa. Alasan ini didasarkan hasil survei yang kala itu disampaikan Kepala Institut Javanologi (Pusat Kajian Jawa) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sahid Teguh Widodo, M.Hum, Ph.D tempo silam. Kebudayaan Jawa tidak sekadar bahasa Jawa, tetapi juga tata cara bertindak beserta budaya dalam cakupan arti yang luas dan selalu berkembang.