Atas Nama Jenama dan Jemawa Proyek
loading...
A
A
A
Anton Suparyanta
esais, product manager di PT Penerbit Intan Pariwara, Klaten-Jateng
Dari kontinuitas tahunan bangsa kita suka bermain peringkat, suka euforia. Kecakapan literasi dipermak ajang lomba atau sayembara, tetapi lemah dalam pemaknaan tilik diri berbudaya. Kelemahan tilik diri justru mengekalkan fantasi-fantasi melek-baca yang sesungguhnya. Terapan atau praksisnya kini di ambang nyinyir sayonara. Mari kita tilik bersama.
baca juga: Bekali Guru di Masa Pandemi, Kemendikbudristek Luncurkan Program Guru Belajar
2020 dan 2019 adalah era ambang. Zaman adaptif. Tak terkecuali untuk keperluan dunia temu-omong-omong senantiasa harus gegar zoominar atau webinar. Celetuk kerennya telekonferensi. Tak beda dengan telewicara. Nyaris, tahun hampa karya. Segala reka daya sedang dijebak istilah adaptif yang digital-virtual. Sampah istilah menggejala di berbagai media. Seakan-akan pada zaman adaptif ini bangsa kita sedang bergerilya gimik kata-kata. Gemar bermain di pusar kata.
Kilas balik, pada Mei 2018 yang lalu diumumkan penetapan puluhan buku terpilih hasil sayembara penulisan bahan bacaan literasi baca tulis. Hebringnya, sayembara ini didalangi Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, dengan kedok Gerakan Literasi Nasional 2018. Prestasi, prestise, ataukah fantasi belaka? Lagi-lagi 2018 Pemerintah menggandeng Badan Bahasa, BSNP (kini alm.), dan Puskurbuk rutin menganyam penilaian buku (buku teks siswa dan guru, buku pendamping, pun referensi). Tak kalah akal, tercetuslah akal (-akalan) seleksi calon penulis buku teks pelajaran masa depan. Apakah ini proyek teroka empat kecakapan abad XXI?
baca juga: Bantu Guru PJJ, Kemendikbud Luncurkan Program Guru Belajar
Hati-hati, peluit gegar atau “ewuh aya” ala Ronggowarsito dalam dunia buku justru mencipta pemikiran “kalap” kaum praktisi yang oportunis dan futuris! Betapa tidak. Bukankah abad ini kita dijejali oleh pelintiran-pelintiran pikir yang terkurung fantasi?
Tilik juga Anugerah Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur tahun 2017 silam. Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (kategori komunitas sastra), Supono (kategori guru bahasa dan sastra daerah), dan Ledhek saka Ereng-Erenge Gunung Wilis karya Tulus Setyadi (kategori karya sastra daerah), patut berbangga atas jasa kurasi dari Prof Djoko Saryono, Prof IB Putera Manuaba, Prof Darni, Dr M Shoim Anwar, dan Bonari Nabonenar.
baca juga: Seri Webinar Guru Belajar, Sebuah Ruang untuk Diskusi dan Pembelajaran Guru
Tilik lagi Maret-Agustus 2017 silam, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah mengadakan penilaian pustaka (buku bacaan dan buku referensi) muatan lokal Bahasa Jawa untuk jenjang SMK dan SMA. Profisiat kepada para penulis dan penerbit yang menjadi unggulan tender seperti PT Intan Pariwara, Saka Mitra Kompetensi, Erlangga, dan Suara Media Sejahtera. Profisiat kepada Drs Irawan HG, MPd, Bambang Sulanjari, SS, MA, dan Yusro Edy N, SS, MHum selaku tim koordinator penilai bahasa, penyajian, dan materi.
Titik. Selesaikah? Tidak! Di balik perhelatan proyek besar itu tumbuhlah simalakama untuk para dwija, guru spesialis mapel Bahasa Jawa. Ini biangnya.
Bak sisiphus, muncullah suluk basa-basi: apa kabar guru mapel Bahasa Daerah (Bahasa Jawa) di penjuru Provinsi Jawa Tengah? Buku ajar seperti apa yang Anda gunakan untuk mengajar anak didik? Sudahkah Anda studi banding dengan buku ajar yang dirilis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, tetangga sebelah?
baca juga: Ternyata Ini Alasan Pemerintah Tunda Pengumuman Seleksi Guru PPPK 2021
Telah lama diidam-idamkan bahwa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur bersikukuh berselingkung dengan dosen FBS Unesa-Surabaya menggalakkan pasar demi Tantri Basa (SD), Kirtya Basa (SMP), dan Sastri Basa (SMA). Tiga jenis buku teks siswa berbahasa Jawa ini dipasarkan manakala terjadi krisis buku ajar muatan lokal. Prinsipnya proyek pengadaan buku teks menjadi nomor satu. Mutu menjadi nomor dua. Justru yang ditonjolkan senyampang sinergi buku dengan niatan Kurikulum 2013. Ini jua ambang senjakala di jagad pustaka siswa. Tegakah diklaim punya prospek cerah?
Tantri, Kirtya, dan Sastri Basa ini menjawab grand design bahasa dan sastra Jawa yang wajib diajarkan di semua jenjang pendidikan. Terlebih lagi sinergi tiga gubernur (Jatim, Jateng, dan DIY) telah merancang pergub atau perda tentang peruntukan bahasa daerah. Raperda tentang pendidikan lingkup DPRD pernah merembug status wajib ajar (muatan lokal) Bahasa Jawa.
baca juga: Akomodir Guru K-II, Kepala BKN Akui Turunkan Passing Grade PPPK Guru
Di balik 3 jenis buku dan rintisan 3 gubernur itu, sesungguhnya perlu kajian intensif terhadap uji kecakapan guru mapel Bahasa Jawa. Sangatlah utopis jika buru-buru memaksakan guru mapel Bahasa Jawa zaman ini dengan tuntutan mutu pendidikan pada umumnya dan penguatan pendidikan karakter pada khususnya. Alasan utama bahwa praksis guru sudah terdegradasi dan model penguatan pendidikan karakter sekadar kerangka pikir yang emosionalitas temporer.
Alasan merenik jika dibenturkan pada insan guru mapel Bahasa Jawa, khususnya ”angkatan atau generasi muda”. Kategori angkatan-muda ini menjadi dominan jika dibatasi alumni PGSD. Apalagi format PGSD yang difokuskan untuk kiprah para guru sekolah dasar semata. Jelas, lahannya tidak lagi bisa dijarah alumni FKIP atau ilmu murni plus akta mengajar.
Untuk itu, melempemnya pembelajaran bahasa Jawa dalam ranah pendidikan dasar dan menengah tidak semata-mata krisis buku ajar ataupun kesalahan para siswa yang tidak kompeten berbahasa Jawa. Justru ada mata rantai sistem yang memerlukan pendobrakan. Ada dua trianggolo yang semestinya didobrak: 1) buku, guru, siswa; dan 2) pemerintah, penulis buku, penerbit. Akan tetapi, hingga adab ini tidak ada nyali si pendobrak untuk berani berbuat. Coba kita becermin bersama dengan delapan curaian berikut ini.
baca juga: Pengumuman Hasil Seleksi Guru PPPK: BKN Sarankan Tetap Pantau Laman Resmi
Pertama, kiblat guru hari ini jelas sangat berbeda dengan guru lampau. Apalagi jika berbanding dengan nyali “guru Oemar Bakri” yang populis. Guru kini tidak sepenuhnya militan pada profesi. Belum lagi kegaduhan cap status guru honorer. Guru sekadar sah dengan ijazah sehingga lahirlah zaman-guru. Istilah kerennya nekrofilia. Guru dicetak ala pabrik. Berbeda dengan guru lampau yang menentukan profesi adalah pilihan sehingga membenihkan guru-zaman yang diagungkan. Guru pembelajar. Menjadi guru sadar untuk menapasi siswa. Istilah kerennya biofilia.
Kedua, guru hari ini adalah cetakan dari sisa-sisa pilihan atas cita-cita. Artinya, penentuan gelar guru tidak dilandasi innergoal, idam-idaman. Dampaknya, produk guru bukanlah guru sejati. Bukan guru ideal, melainkan guru magel (guru amatir, bahkan guru karbitan).
baca juga: Perlu Konten Digital Buku Sekolah Tahun Ajaran Baru
Ketiga, guru (khususnya guru mapel Bahasa Jawa) semakin terpuruk. Keterpurukan ini ditambah cap bahwa mapel Bahasa Jawa sekadar muatan lokal (mulok). Lokal yang dibatasi geografi (diajarkan di DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Apakah marjin lokalitas ini melembekkan gairah guru? Jauh-jauh hari Ajip Rosidi mengkritik bahwa mulok mapel Bahasa Sunda untuk Provinsi Jawa Barat pun melempem. Apes.
Keempat, guru-muda mapel Bahasa Jawa dan para peserta didik sering salah mengucapkan huruf, suku kata, atau kata dalam bahasa Jawa lebih disebabkan tidak memahami kurikulum yang diacu. Kurikulum Bahasa Jawa sebenarnya mirip dengan kurikulum Bahasa Indonesia. Hanya objek materi yang menjadi ciri pembeda. Sebagai contoh, kelas I, II, III jelas dipandu untuk melafalkan (mendengarkan lalu menirukan) patah kata dari seorang guru. Kelas III baru disuguhi materi menulis huruf Jawa, hanacaraka. Hanacaraka menjadi satu dasar untuk model pelafalan. Mengapa guru menganggap sepele? Dampaknya kian menggejala, terjadilah logical fallacy. Repot, kan? Peserta didik gagap berucap yang berakibat komunikasi harian selalu merayakan salah kaprah berbahasa.
baca juga: Kurikulum Pendidikan Perlu Disesuaikan dengan Kondisi Pandemi
Kelima, guru mapel Bahasa Jawa (selagi masih menjadi mahasiswa PGSD atau FKIP Prodi Bahasa Daerah) mengalami ewuh aya ajar. Dosen menyampaikan materi kebahasajawaan dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Jelas tidak pas. Jadi, jangan heran jika guru-muda selalu tergopoh-gopoh berbahasa Jawa secara resmi. Inilah satu cacat pengajaran di perguruan tinggi. Stigma menahun, tetapi tidak disadari sebagai penyakit. Tak usah malulah, berkacalah pada kesuksesan pengajaran bahasa asing (bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Korea, Jepang, atau Prancis) yang sebenarnya ini era penjajahan kasta bahasa!
Keenam, ada tuntutan bahwa bahasa Jawa akan terpatri di hati baik guru maupun siswa jika sang guru punya nyali nggetih untuk nyinau budaya Jawa. Artinya, guru mapel Bahasa Jawa tidak sekadar menyampaikan materi yang sudah tersurat dalam buku pegangan semata, tetapi dituntut untuk memberi contoh karakter yang bisa disegani siswa. Karakter inilah yang selama ini tidak diimani guru bahasa Jawa. Akibatnya, siapa pun orangnya bisa mengajarkan materi bahasa Jawa di kelas.
baca juga: Resmi! Literasi Keuangan Masuk Kurikulum Pendidikan
Ketujuh, ada satu contoh kasus bahwa pengajaran Bahasa Jawa di Kota Solo dinilai belum berhasil dalam upaya menanamkan pendidikan karakter kepada siswa. Salah satu penyebabnya, pengetahuan guru Bahasa Jawa tentang kebudayaan Jawa masih sangat dangkal, sumir. Guru tidak memiliki wawasan kuat tentang kebudayaan Jawa. Alasan ini didasarkan hasil survei yang kala itu disampaikan Kepala Institut Javanologi (Pusat Kajian Jawa) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sahid Teguh Widodo, M.Hum, Ph.D tempo silam. Kebudayaan Jawa tidak sekadar bahasa Jawa, tetapi juga tata cara bertindak beserta budaya dalam cakupan arti yang luas dan selalu berkembang.
Kedelapan, guru mapel Bahasa Jawa harus multiplus (kreatif-inovatif) yang mengandalkan karakter njawani. Inilah saat kearifan lokal atau local wisdom diterapkan. Alasannya, kurikulum bukanlah pembentuk instrumen karakter ideal, melainkan cuma alat penggenap kompetensi akademis yang sengaja dibuat seragam.
baca juga: Bupati Jayapura Meluncurkan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Ibu
Karakter yang njawani terpola harmonis antara ucapan dan tindakan. Guru dan siswa sengkut belajar bahasa Jawa tanpa diimbangi belajar budaya Jawa, sama saja medioker. Tambal sulam. Langkah paling dasar untuk segera diterapkan guru hari ini yaitu ikuti ”permainan” kurikulum Bahasa Jawa yang sudah nggenah. Guru tinggal mempraktikkannya. Praktik teoretis ini harus dipadupadankan dengan tindakan di kelas. Apakah guru Bahasa Jawa di Provinsi DIY, Jateng, dan Jatim sudah paham dan siap? Faktor inilah yang menjadi tantangan berat untuk buku ajar Tantri, Kirtya, dan Sastri Basa. Kendatipun sudah ditopang buku pendamping atau referensi yang kategori lulus penilaian kurator.
Mengapa? Camkanlah, ternyata sama-sama suka terjerat dan terperangkap kondisi gegar atau ewuh aya antara proyek/tender buku dan kompetensi/kecakapan guru mapel Bahasa Jawa. Nah!
esais, product manager di PT Penerbit Intan Pariwara, Klaten-Jateng
Dari kontinuitas tahunan bangsa kita suka bermain peringkat, suka euforia. Kecakapan literasi dipermak ajang lomba atau sayembara, tetapi lemah dalam pemaknaan tilik diri berbudaya. Kelemahan tilik diri justru mengekalkan fantasi-fantasi melek-baca yang sesungguhnya. Terapan atau praksisnya kini di ambang nyinyir sayonara. Mari kita tilik bersama.
baca juga: Bekali Guru di Masa Pandemi, Kemendikbudristek Luncurkan Program Guru Belajar
2020 dan 2019 adalah era ambang. Zaman adaptif. Tak terkecuali untuk keperluan dunia temu-omong-omong senantiasa harus gegar zoominar atau webinar. Celetuk kerennya telekonferensi. Tak beda dengan telewicara. Nyaris, tahun hampa karya. Segala reka daya sedang dijebak istilah adaptif yang digital-virtual. Sampah istilah menggejala di berbagai media. Seakan-akan pada zaman adaptif ini bangsa kita sedang bergerilya gimik kata-kata. Gemar bermain di pusar kata.
Kilas balik, pada Mei 2018 yang lalu diumumkan penetapan puluhan buku terpilih hasil sayembara penulisan bahan bacaan literasi baca tulis. Hebringnya, sayembara ini didalangi Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, dengan kedok Gerakan Literasi Nasional 2018. Prestasi, prestise, ataukah fantasi belaka? Lagi-lagi 2018 Pemerintah menggandeng Badan Bahasa, BSNP (kini alm.), dan Puskurbuk rutin menganyam penilaian buku (buku teks siswa dan guru, buku pendamping, pun referensi). Tak kalah akal, tercetuslah akal (-akalan) seleksi calon penulis buku teks pelajaran masa depan. Apakah ini proyek teroka empat kecakapan abad XXI?
baca juga: Bantu Guru PJJ, Kemendikbud Luncurkan Program Guru Belajar
Hati-hati, peluit gegar atau “ewuh aya” ala Ronggowarsito dalam dunia buku justru mencipta pemikiran “kalap” kaum praktisi yang oportunis dan futuris! Betapa tidak. Bukankah abad ini kita dijejali oleh pelintiran-pelintiran pikir yang terkurung fantasi?
Tilik juga Anugerah Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur tahun 2017 silam. Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (kategori komunitas sastra), Supono (kategori guru bahasa dan sastra daerah), dan Ledhek saka Ereng-Erenge Gunung Wilis karya Tulus Setyadi (kategori karya sastra daerah), patut berbangga atas jasa kurasi dari Prof Djoko Saryono, Prof IB Putera Manuaba, Prof Darni, Dr M Shoim Anwar, dan Bonari Nabonenar.
baca juga: Seri Webinar Guru Belajar, Sebuah Ruang untuk Diskusi dan Pembelajaran Guru
Tilik lagi Maret-Agustus 2017 silam, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah mengadakan penilaian pustaka (buku bacaan dan buku referensi) muatan lokal Bahasa Jawa untuk jenjang SMK dan SMA. Profisiat kepada para penulis dan penerbit yang menjadi unggulan tender seperti PT Intan Pariwara, Saka Mitra Kompetensi, Erlangga, dan Suara Media Sejahtera. Profisiat kepada Drs Irawan HG, MPd, Bambang Sulanjari, SS, MA, dan Yusro Edy N, SS, MHum selaku tim koordinator penilai bahasa, penyajian, dan materi.
Titik. Selesaikah? Tidak! Di balik perhelatan proyek besar itu tumbuhlah simalakama untuk para dwija, guru spesialis mapel Bahasa Jawa. Ini biangnya.
Bak sisiphus, muncullah suluk basa-basi: apa kabar guru mapel Bahasa Daerah (Bahasa Jawa) di penjuru Provinsi Jawa Tengah? Buku ajar seperti apa yang Anda gunakan untuk mengajar anak didik? Sudahkah Anda studi banding dengan buku ajar yang dirilis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, tetangga sebelah?
baca juga: Ternyata Ini Alasan Pemerintah Tunda Pengumuman Seleksi Guru PPPK 2021
Telah lama diidam-idamkan bahwa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur bersikukuh berselingkung dengan dosen FBS Unesa-Surabaya menggalakkan pasar demi Tantri Basa (SD), Kirtya Basa (SMP), dan Sastri Basa (SMA). Tiga jenis buku teks siswa berbahasa Jawa ini dipasarkan manakala terjadi krisis buku ajar muatan lokal. Prinsipnya proyek pengadaan buku teks menjadi nomor satu. Mutu menjadi nomor dua. Justru yang ditonjolkan senyampang sinergi buku dengan niatan Kurikulum 2013. Ini jua ambang senjakala di jagad pustaka siswa. Tegakah diklaim punya prospek cerah?
Tantri, Kirtya, dan Sastri Basa ini menjawab grand design bahasa dan sastra Jawa yang wajib diajarkan di semua jenjang pendidikan. Terlebih lagi sinergi tiga gubernur (Jatim, Jateng, dan DIY) telah merancang pergub atau perda tentang peruntukan bahasa daerah. Raperda tentang pendidikan lingkup DPRD pernah merembug status wajib ajar (muatan lokal) Bahasa Jawa.
baca juga: Akomodir Guru K-II, Kepala BKN Akui Turunkan Passing Grade PPPK Guru
Di balik 3 jenis buku dan rintisan 3 gubernur itu, sesungguhnya perlu kajian intensif terhadap uji kecakapan guru mapel Bahasa Jawa. Sangatlah utopis jika buru-buru memaksakan guru mapel Bahasa Jawa zaman ini dengan tuntutan mutu pendidikan pada umumnya dan penguatan pendidikan karakter pada khususnya. Alasan utama bahwa praksis guru sudah terdegradasi dan model penguatan pendidikan karakter sekadar kerangka pikir yang emosionalitas temporer.
Alasan merenik jika dibenturkan pada insan guru mapel Bahasa Jawa, khususnya ”angkatan atau generasi muda”. Kategori angkatan-muda ini menjadi dominan jika dibatasi alumni PGSD. Apalagi format PGSD yang difokuskan untuk kiprah para guru sekolah dasar semata. Jelas, lahannya tidak lagi bisa dijarah alumni FKIP atau ilmu murni plus akta mengajar.
Untuk itu, melempemnya pembelajaran bahasa Jawa dalam ranah pendidikan dasar dan menengah tidak semata-mata krisis buku ajar ataupun kesalahan para siswa yang tidak kompeten berbahasa Jawa. Justru ada mata rantai sistem yang memerlukan pendobrakan. Ada dua trianggolo yang semestinya didobrak: 1) buku, guru, siswa; dan 2) pemerintah, penulis buku, penerbit. Akan tetapi, hingga adab ini tidak ada nyali si pendobrak untuk berani berbuat. Coba kita becermin bersama dengan delapan curaian berikut ini.
baca juga: Pengumuman Hasil Seleksi Guru PPPK: BKN Sarankan Tetap Pantau Laman Resmi
Pertama, kiblat guru hari ini jelas sangat berbeda dengan guru lampau. Apalagi jika berbanding dengan nyali “guru Oemar Bakri” yang populis. Guru kini tidak sepenuhnya militan pada profesi. Belum lagi kegaduhan cap status guru honorer. Guru sekadar sah dengan ijazah sehingga lahirlah zaman-guru. Istilah kerennya nekrofilia. Guru dicetak ala pabrik. Berbeda dengan guru lampau yang menentukan profesi adalah pilihan sehingga membenihkan guru-zaman yang diagungkan. Guru pembelajar. Menjadi guru sadar untuk menapasi siswa. Istilah kerennya biofilia.
Kedua, guru hari ini adalah cetakan dari sisa-sisa pilihan atas cita-cita. Artinya, penentuan gelar guru tidak dilandasi innergoal, idam-idaman. Dampaknya, produk guru bukanlah guru sejati. Bukan guru ideal, melainkan guru magel (guru amatir, bahkan guru karbitan).
baca juga: Perlu Konten Digital Buku Sekolah Tahun Ajaran Baru
Ketiga, guru (khususnya guru mapel Bahasa Jawa) semakin terpuruk. Keterpurukan ini ditambah cap bahwa mapel Bahasa Jawa sekadar muatan lokal (mulok). Lokal yang dibatasi geografi (diajarkan di DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Apakah marjin lokalitas ini melembekkan gairah guru? Jauh-jauh hari Ajip Rosidi mengkritik bahwa mulok mapel Bahasa Sunda untuk Provinsi Jawa Barat pun melempem. Apes.
Keempat, guru-muda mapel Bahasa Jawa dan para peserta didik sering salah mengucapkan huruf, suku kata, atau kata dalam bahasa Jawa lebih disebabkan tidak memahami kurikulum yang diacu. Kurikulum Bahasa Jawa sebenarnya mirip dengan kurikulum Bahasa Indonesia. Hanya objek materi yang menjadi ciri pembeda. Sebagai contoh, kelas I, II, III jelas dipandu untuk melafalkan (mendengarkan lalu menirukan) patah kata dari seorang guru. Kelas III baru disuguhi materi menulis huruf Jawa, hanacaraka. Hanacaraka menjadi satu dasar untuk model pelafalan. Mengapa guru menganggap sepele? Dampaknya kian menggejala, terjadilah logical fallacy. Repot, kan? Peserta didik gagap berucap yang berakibat komunikasi harian selalu merayakan salah kaprah berbahasa.
baca juga: Kurikulum Pendidikan Perlu Disesuaikan dengan Kondisi Pandemi
Kelima, guru mapel Bahasa Jawa (selagi masih menjadi mahasiswa PGSD atau FKIP Prodi Bahasa Daerah) mengalami ewuh aya ajar. Dosen menyampaikan materi kebahasajawaan dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Jelas tidak pas. Jadi, jangan heran jika guru-muda selalu tergopoh-gopoh berbahasa Jawa secara resmi. Inilah satu cacat pengajaran di perguruan tinggi. Stigma menahun, tetapi tidak disadari sebagai penyakit. Tak usah malulah, berkacalah pada kesuksesan pengajaran bahasa asing (bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Korea, Jepang, atau Prancis) yang sebenarnya ini era penjajahan kasta bahasa!
Keenam, ada tuntutan bahwa bahasa Jawa akan terpatri di hati baik guru maupun siswa jika sang guru punya nyali nggetih untuk nyinau budaya Jawa. Artinya, guru mapel Bahasa Jawa tidak sekadar menyampaikan materi yang sudah tersurat dalam buku pegangan semata, tetapi dituntut untuk memberi contoh karakter yang bisa disegani siswa. Karakter inilah yang selama ini tidak diimani guru bahasa Jawa. Akibatnya, siapa pun orangnya bisa mengajarkan materi bahasa Jawa di kelas.
baca juga: Resmi! Literasi Keuangan Masuk Kurikulum Pendidikan
Ketujuh, ada satu contoh kasus bahwa pengajaran Bahasa Jawa di Kota Solo dinilai belum berhasil dalam upaya menanamkan pendidikan karakter kepada siswa. Salah satu penyebabnya, pengetahuan guru Bahasa Jawa tentang kebudayaan Jawa masih sangat dangkal, sumir. Guru tidak memiliki wawasan kuat tentang kebudayaan Jawa. Alasan ini didasarkan hasil survei yang kala itu disampaikan Kepala Institut Javanologi (Pusat Kajian Jawa) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sahid Teguh Widodo, M.Hum, Ph.D tempo silam. Kebudayaan Jawa tidak sekadar bahasa Jawa, tetapi juga tata cara bertindak beserta budaya dalam cakupan arti yang luas dan selalu berkembang.
Kedelapan, guru mapel Bahasa Jawa harus multiplus (kreatif-inovatif) yang mengandalkan karakter njawani. Inilah saat kearifan lokal atau local wisdom diterapkan. Alasannya, kurikulum bukanlah pembentuk instrumen karakter ideal, melainkan cuma alat penggenap kompetensi akademis yang sengaja dibuat seragam.
baca juga: Bupati Jayapura Meluncurkan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Ibu
Karakter yang njawani terpola harmonis antara ucapan dan tindakan. Guru dan siswa sengkut belajar bahasa Jawa tanpa diimbangi belajar budaya Jawa, sama saja medioker. Tambal sulam. Langkah paling dasar untuk segera diterapkan guru hari ini yaitu ikuti ”permainan” kurikulum Bahasa Jawa yang sudah nggenah. Guru tinggal mempraktikkannya. Praktik teoretis ini harus dipadupadankan dengan tindakan di kelas. Apakah guru Bahasa Jawa di Provinsi DIY, Jateng, dan Jatim sudah paham dan siap? Faktor inilah yang menjadi tantangan berat untuk buku ajar Tantri, Kirtya, dan Sastri Basa. Kendatipun sudah ditopang buku pendamping atau referensi yang kategori lulus penilaian kurator.
Mengapa? Camkanlah, ternyata sama-sama suka terjerat dan terperangkap kondisi gegar atau ewuh aya antara proyek/tender buku dan kompetensi/kecakapan guru mapel Bahasa Jawa. Nah!
(ymn)