Hari Tani Nasional, Rizal Ramli Beberkan Solusi Atasi Konflik Agraria
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peringatan Hari Tani Nasional ke-58 tahun masih saja diwarnai konflik agraria antara-rakyat dan pengusaha. Aktivis dan ekonom senior Rizal Ramli pun membeberkan solusi atas hal tersebut.
Menurut Rizal Ramli, Presiden Pertama RI Soekarno ( Bung Karno ) telah mengantisipasi hal itu dengan menerbitkan Undang-Undang 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) agar lahan garapan warga tak mudah begitu saja diserobot pihak lain.
"Pendiri bangsa kita menerbitkan UUPA bertepatan dengan Hari Tani Nasional pada 1960 silam sudah sangat jelas maksud dan tujuannya untuk melindungi kaum tani dan menyejahterakan petani," ujar Rizal Ramli dalam pidato Peringatan Hari Tani Nasional di Villa Bukit Sentul, Bojong Koneng, Bogor, Jawa Barat, Jumat (24/9/2021).
Namun, sambung Rizal Ramli, yang terjadi sekarang ini banyak petani yang mengeluh dan kecewa pada pemerintah lantaran mengabaikan adanya konflik agraria antara-masyarakat dan pengusaha. Padahal, menurut Rizal Ramli, apabila pemerintah mengimplementasikan UUPA itu secara baik dan benar, hal itu tak perlu terjadi.
"Pada tahun-tahun sebelumnya, alih-alih tanah sudah kembali menjadi milik petani, justru yang mengemuka pada setiap memperingati Hari Tani Nasional, yang diungkap teman-teman pejuang hak-hak masyarakat sipil, khususnya hak-hak para petani, justru angka konflik tanah yang terus membengkak, jumlah konflik agraria yang kian sulit menemukan titik penyelesaiannya," ungkap Menko Ekuin era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.
Rizal Ramli menambahkan, konflik agraria yang terjadi sekarang ini juga menjadi bukti bahwa pemerintah sudah melupakan sejarah perjuangan pendiri bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat dengan menerbitkan UUPA pada tahun 1960 agar masyarakat bisa terlindungi dan merasa merdeka di negerinya sendiri.
"Kalau dilihat dari produk politik yang dilahirkan pemerintahan RI, terutama UUPA, bangsa ini sudah sangat merdeka. Sebab inilah undang-undang yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Inilah undang-undang yang secara revolusioner mengubah 180 derajat peraturan kepemilikan tanah dari versi penjajah Belanda yang memberikan keleluasaan kepada penjajah memiliki dan menguasai tanah sesuka-suka mereka."
Bagi Rizal Ramli, ditetapkan Hari Tani Nasional merupakan bukti pendiri bangsa telah memperkirakan bahwa persoalan tanah atau agraria adalah kunci dari stabilitas negara. "Para pendiri bangsa sangat paham bila muncul konflik soal tanah akan menimbulkan keguncangan politik yang sulit diprediksi dan sulit dikendalikan. Misalnya, perang besar berkepanjangan yang merugikan pemerintahan penjajahan Belanda terjadi gara-gara, atau dipicu oleh konflik soal tanah. Itulah Perang Diponegoro di Jawa (1825-1630) dan Perang Padri di Sumatera Barat (1803–1838)," kata Rizal Ramli yang juga mantan anggota tim panel ekonomi PBB itu.
Dalam konteks sekarang ini, Rizal Ramli meyakini masih ada cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk meminimalisir konflik agraria antara-masyarakat dan pengusaha. Pertama, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus mengeluarkan maklumat moratorium nasional penggusuran rakyat dari tanah yang dikelolanya, baik di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pertanian, infrastruktur, maupun properti.
"Kedua, mengevaluasi, memeriksa dan mengaudit terhadap semua izin peruntukan penggunaan tanah baik itu SIPPT, HGU, HGB, dll yang telah diberikan, baik masa berlakukanya maupun cara mendapatkan izin-izin tersebut," sebut Rizal Ramli.
Kemudian, mewajibkan semua pemilik SIPPT, HGU, HGB, untuk mengumumkan a) jenis dan nomor surat izin, b) luas wilayah yang diberikan izin, c) peta (denah) lokasi lahan yang diizinkan dikelola, dan memasangnya di atas pelang (billboard) atau yang sejenisnya di tempat strategis agar diketahui masyarakat, khususnya penduduk/pengelola lahan yang menjadi objek surat izin tersebut.
"Dengan cara ini, persoalan pertanahan menjadi lebih transparan, dan apabila masyarakat setuju dengan izin-izin tersebut bisa mempersiapkan diri secara lebih seksama, sehingga tidak menjadi korban mafia tanah atau persekongkolan jahat antara pemilik modal dan para preman atau penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk membela para pemilik modal."
Lihat Juga: Ramai Unjuk Rasa di Istana Peringati Hari Tani Nasional, Jokowi Pilih Kunker ke Kalimantan
Menurut Rizal Ramli, Presiden Pertama RI Soekarno ( Bung Karno ) telah mengantisipasi hal itu dengan menerbitkan Undang-Undang 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) agar lahan garapan warga tak mudah begitu saja diserobot pihak lain.
"Pendiri bangsa kita menerbitkan UUPA bertepatan dengan Hari Tani Nasional pada 1960 silam sudah sangat jelas maksud dan tujuannya untuk melindungi kaum tani dan menyejahterakan petani," ujar Rizal Ramli dalam pidato Peringatan Hari Tani Nasional di Villa Bukit Sentul, Bojong Koneng, Bogor, Jawa Barat, Jumat (24/9/2021).
Namun, sambung Rizal Ramli, yang terjadi sekarang ini banyak petani yang mengeluh dan kecewa pada pemerintah lantaran mengabaikan adanya konflik agraria antara-masyarakat dan pengusaha. Padahal, menurut Rizal Ramli, apabila pemerintah mengimplementasikan UUPA itu secara baik dan benar, hal itu tak perlu terjadi.
"Pada tahun-tahun sebelumnya, alih-alih tanah sudah kembali menjadi milik petani, justru yang mengemuka pada setiap memperingati Hari Tani Nasional, yang diungkap teman-teman pejuang hak-hak masyarakat sipil, khususnya hak-hak para petani, justru angka konflik tanah yang terus membengkak, jumlah konflik agraria yang kian sulit menemukan titik penyelesaiannya," ungkap Menko Ekuin era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.
Rizal Ramli menambahkan, konflik agraria yang terjadi sekarang ini juga menjadi bukti bahwa pemerintah sudah melupakan sejarah perjuangan pendiri bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat dengan menerbitkan UUPA pada tahun 1960 agar masyarakat bisa terlindungi dan merasa merdeka di negerinya sendiri.
"Kalau dilihat dari produk politik yang dilahirkan pemerintahan RI, terutama UUPA, bangsa ini sudah sangat merdeka. Sebab inilah undang-undang yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Inilah undang-undang yang secara revolusioner mengubah 180 derajat peraturan kepemilikan tanah dari versi penjajah Belanda yang memberikan keleluasaan kepada penjajah memiliki dan menguasai tanah sesuka-suka mereka."
Bagi Rizal Ramli, ditetapkan Hari Tani Nasional merupakan bukti pendiri bangsa telah memperkirakan bahwa persoalan tanah atau agraria adalah kunci dari stabilitas negara. "Para pendiri bangsa sangat paham bila muncul konflik soal tanah akan menimbulkan keguncangan politik yang sulit diprediksi dan sulit dikendalikan. Misalnya, perang besar berkepanjangan yang merugikan pemerintahan penjajahan Belanda terjadi gara-gara, atau dipicu oleh konflik soal tanah. Itulah Perang Diponegoro di Jawa (1825-1630) dan Perang Padri di Sumatera Barat (1803–1838)," kata Rizal Ramli yang juga mantan anggota tim panel ekonomi PBB itu.
Dalam konteks sekarang ini, Rizal Ramli meyakini masih ada cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk meminimalisir konflik agraria antara-masyarakat dan pengusaha. Pertama, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus mengeluarkan maklumat moratorium nasional penggusuran rakyat dari tanah yang dikelolanya, baik di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pertanian, infrastruktur, maupun properti.
"Kedua, mengevaluasi, memeriksa dan mengaudit terhadap semua izin peruntukan penggunaan tanah baik itu SIPPT, HGU, HGB, dll yang telah diberikan, baik masa berlakukanya maupun cara mendapatkan izin-izin tersebut," sebut Rizal Ramli.
Kemudian, mewajibkan semua pemilik SIPPT, HGU, HGB, untuk mengumumkan a) jenis dan nomor surat izin, b) luas wilayah yang diberikan izin, c) peta (denah) lokasi lahan yang diizinkan dikelola, dan memasangnya di atas pelang (billboard) atau yang sejenisnya di tempat strategis agar diketahui masyarakat, khususnya penduduk/pengelola lahan yang menjadi objek surat izin tersebut.
"Dengan cara ini, persoalan pertanahan menjadi lebih transparan, dan apabila masyarakat setuju dengan izin-izin tersebut bisa mempersiapkan diri secara lebih seksama, sehingga tidak menjadi korban mafia tanah atau persekongkolan jahat antara pemilik modal dan para preman atau penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk membela para pemilik modal."
Lihat Juga: Ramai Unjuk Rasa di Istana Peringati Hari Tani Nasional, Jokowi Pilih Kunker ke Kalimantan
(zik)