Pakar UGM: Kebijakan Berbasis Bukti Butuh Ekosistem Pengetahuan yang Mumpuni
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia membutuhkan ekosistem pengetahuan yang mumpuni agar proses perencanaan kebijakan berbasis bukti dari hulu ke hilir terlaksana dengan baik. Untuk mewujudkan itu, masing-masing pihak yakni produsen pengetahuan di hulu dan pembuat kebijakan di hilir harus memahami bahwa mereka ada dalam satu jaring kebijakan yang sama.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Heruanto Hadna mengatakan selain itu para pembuat kebijakan harus menghilangkan rasa curiga berlebihan kepada akademisi dan membangun pola pikir yang kritis di antara mereka.
“Jika menggunakan perspektif ‘Valley of Death’ dalam formulasi kebijakan di Indonesia maka hambatan berasal dari dua sisi. Pertama adalah pada kualitas dari production of knowledge yang dihasilkan oleh ilmuwan, lembaga penelitian, dan universitas. Di sisi lain adalah arogansi pembuat kebijakan yang menganggap intuisinya sendiri sudah relevan dengan rumusan masalah kebijakan. Kedua sisi ini juga tidak terjembatani dengan baik,” ujar Agus dalam keterangannya, Senin (20/9/2021).
Agus juga menyoroti potensi riset dan inovasi yang belum terlaksana secara optimal. Menurutnya, selain suntikan dana untuk riset dan pengembangan (R&D) yang masih rendah, tata kelola R&D di Indonesia masih amburadul.
“Jika ingin dunia riset berkembang, berikan kebebasan bagi akademisi dan mahasiswa untuk berpikir liar yang menjamin inovasi bisa berkembang secara luas. Sementara itu, ternyata tata kelola kita masih terjebak dengan isu-isu administratif yang menghambat akademisi dan terkesan mengesampingkan substansi penelitian,” jelas Agus.
Libatkan akademisi
Rencana pemerintah menyusun Grand Design Manajemen Talenta Nasional yang mencakup aspek riset dan inovasi juga dinilai kurang efektif. Sebagai seorang akademisi, Agus menilai rencana tersebut perlu dikaji kembali. Dia menekankan kebijakan berbasis bukti seharusnya bukan hanya jargon tetapi sebagai sebuah gerakan yang mengakar dari bawah hingga atas.
Ilmuwan Nanyang Technological University Sulfikar Amin menyampaikan pendapat senada. “Sebenarnya saya kurang paham dengan rencana ini tetapi seharusnya tidak perlu dibuat semacam grand design karena sudah ada Kementerian Pendidikan yang tugasnya mempersiapkan sumber daya manusia di Indonesia,” ujar Sulfikar saat dihubungi, Rabu (15/9).
Sulfikar menambahkan keterlibatan akademisi sangat penting dalam konteks ini sehingga peran mereka perlu diperkuat. Salah satunya adalah dengan menyusun struktur kelembagaan yang memberikan otoritas cukup kuat bagi kalangan akademisi dan ilmuwan untuk memberi saran dalam perumusan kebijakan, seperti dalam penanganan pandemi Covid-19.
“Ilmu pengetahuan memberikan bimbingan kepada kita bagaimana dan apa yang harus kita lakukan. [Dengan ilmu pengetahuan] kita bisa mengetahui apa yang terbaik untuk mengendalikan situasi krisis,” jelas Sulfikar.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Heruanto Hadna mengatakan selain itu para pembuat kebijakan harus menghilangkan rasa curiga berlebihan kepada akademisi dan membangun pola pikir yang kritis di antara mereka.
“Jika menggunakan perspektif ‘Valley of Death’ dalam formulasi kebijakan di Indonesia maka hambatan berasal dari dua sisi. Pertama adalah pada kualitas dari production of knowledge yang dihasilkan oleh ilmuwan, lembaga penelitian, dan universitas. Di sisi lain adalah arogansi pembuat kebijakan yang menganggap intuisinya sendiri sudah relevan dengan rumusan masalah kebijakan. Kedua sisi ini juga tidak terjembatani dengan baik,” ujar Agus dalam keterangannya, Senin (20/9/2021).
Agus juga menyoroti potensi riset dan inovasi yang belum terlaksana secara optimal. Menurutnya, selain suntikan dana untuk riset dan pengembangan (R&D) yang masih rendah, tata kelola R&D di Indonesia masih amburadul.
“Jika ingin dunia riset berkembang, berikan kebebasan bagi akademisi dan mahasiswa untuk berpikir liar yang menjamin inovasi bisa berkembang secara luas. Sementara itu, ternyata tata kelola kita masih terjebak dengan isu-isu administratif yang menghambat akademisi dan terkesan mengesampingkan substansi penelitian,” jelas Agus.
Libatkan akademisi
Rencana pemerintah menyusun Grand Design Manajemen Talenta Nasional yang mencakup aspek riset dan inovasi juga dinilai kurang efektif. Sebagai seorang akademisi, Agus menilai rencana tersebut perlu dikaji kembali. Dia menekankan kebijakan berbasis bukti seharusnya bukan hanya jargon tetapi sebagai sebuah gerakan yang mengakar dari bawah hingga atas.
Ilmuwan Nanyang Technological University Sulfikar Amin menyampaikan pendapat senada. “Sebenarnya saya kurang paham dengan rencana ini tetapi seharusnya tidak perlu dibuat semacam grand design karena sudah ada Kementerian Pendidikan yang tugasnya mempersiapkan sumber daya manusia di Indonesia,” ujar Sulfikar saat dihubungi, Rabu (15/9).
Sulfikar menambahkan keterlibatan akademisi sangat penting dalam konteks ini sehingga peran mereka perlu diperkuat. Salah satunya adalah dengan menyusun struktur kelembagaan yang memberikan otoritas cukup kuat bagi kalangan akademisi dan ilmuwan untuk memberi saran dalam perumusan kebijakan, seperti dalam penanganan pandemi Covid-19.
“Ilmu pengetahuan memberikan bimbingan kepada kita bagaimana dan apa yang harus kita lakukan. [Dengan ilmu pengetahuan] kita bisa mengetahui apa yang terbaik untuk mengendalikan situasi krisis,” jelas Sulfikar.
(kri)