Pemerintah Dinilai Manfaatkan Pandemi Corona untuk Serahkan Perpres TNI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kalangan akademisi menilai, pemerintah memanfaatkan pandemi virus Corona (Covid-19) untuk menyerahkan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ke DPR pada awal Mei 2020 lalu. “Ada kesan seperti memanfaatkan situasi yang ada,” kata dosen FISIP UI Nur Iman Subono, Senin (1/6/2020). (Baca juga: Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Picu Polemik, Begini Reaksi Kapuspen)
Nur Iman mengungkapkan pemerintah seharusnya fokus dalam penanganan Covid 19, bukan justru memanfaatkan situasi ini dengan berharap tidak ada pihak yang mengkritisi. Padahal rancangan perpres itu menyalahi perundangan yang ada dan berpotensi memunculkan berbagai persoalan seperti tertuang dalam petisi bersama sejumlah aktivis, akademisi dan tokoh masyarakat sipil pada 27 Mei 2020 lalu. (Baca juga: Ubah Citra Positif, Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut)
“Iya betul (fokus pemerintah harusnya ke penanganan wabah Covid 19). Masalahnya, masyarakat umum apa pedulinya, apalagi dalam masa pandemi seperti ini. Kesannya ada faksi dalam pemerintahan, bisa faksi militer yang ingin menyusupkan perpres segera ditandatangani,” lanjut akademisi yang kerap disapa Boni ini. (Baca juga: Ahli Hukum Tata Negara UGM Sebut Perpres TNI Atasi Terorisme Bermasalah)
Sebagai salah seorang akademisi yang bereaksi atas kemunculan perpres itu dengan menandatangani petisi bersama tokoh masyarakat dan masyarakat sipil, Nur Iman menyampaikan alasan penolakan disahkannya perpres itu lantaran bertentangan dengan UU di atasnya, seperti UU TNI dan UU Antiterorisme. “Salah satu hal yang bertentangan itu di antaranya, Pasal 7 ayat 2 UU TNI, pelibatan TNI untuk operasi militer selain perang (OMSP). Salah satunya, mengatasi aksi terorisme baru dapat dilakukan kalau sudah ada keputusan politik negara,” paparnya.
Keputusan politik negara yang dimaksud dalam UU TNI adalah keputusan presiden dengan konsultasi DPR. Sementara di dalam perpres, pengerahan militer dalam penindakan cukup hanya dengan perintah presiden. ”Jadi perintah itu bisa tertulis dan bisa tidak dan tanpa ada konsultasi DPR sebagai bentuk check and balances. Karenanya perpres bertentangan dengan UU TNI,” imbuhnya.
Seperti halnya tokoh yang menolak perpres tersebut, dirinya menilai bila aturan tersebut melenggang bebas dan diberlakukan, pengaturan kewenangan TNI yang terlalu berlebihan akan mengganggu mekanisme criminal justice system, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi. (Baca juga: Jokowi Diminta Tak Tandatangani Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
Hal lain yang juga menjadi perhatian serius di dalam petisi adalah mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum serta penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme. Para tokoh yang menandatangani petisi, kata dia, sepakat mendesak parlemen untuk meminta pemerintah memperbaiki draf peraturan presiden karena secara substansi memiliki banyak permasalahan.
Adapun para tokoh yang menandatangani petisi tersebut di antaranya, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Najib Azca, guru besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed dan Yunizar Adiputera MA, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, PSKP UGM Arifah Rahmawati, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur.
Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid. Termasuk pengajar Universitas Syiah Kuala Aceh Otto Nur Abdullah, pengajar FISIP UIN Jakarta Saiful Mujani, Sekjen PBHI Julius Ibrani, Direktur Imparsial Al Araf, dan pegiat Antikorupsi Emerson Yuntho.
Nur Iman mengungkapkan pemerintah seharusnya fokus dalam penanganan Covid 19, bukan justru memanfaatkan situasi ini dengan berharap tidak ada pihak yang mengkritisi. Padahal rancangan perpres itu menyalahi perundangan yang ada dan berpotensi memunculkan berbagai persoalan seperti tertuang dalam petisi bersama sejumlah aktivis, akademisi dan tokoh masyarakat sipil pada 27 Mei 2020 lalu. (Baca juga: Ubah Citra Positif, Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut)
“Iya betul (fokus pemerintah harusnya ke penanganan wabah Covid 19). Masalahnya, masyarakat umum apa pedulinya, apalagi dalam masa pandemi seperti ini. Kesannya ada faksi dalam pemerintahan, bisa faksi militer yang ingin menyusupkan perpres segera ditandatangani,” lanjut akademisi yang kerap disapa Boni ini. (Baca juga: Ahli Hukum Tata Negara UGM Sebut Perpres TNI Atasi Terorisme Bermasalah)
Sebagai salah seorang akademisi yang bereaksi atas kemunculan perpres itu dengan menandatangani petisi bersama tokoh masyarakat dan masyarakat sipil, Nur Iman menyampaikan alasan penolakan disahkannya perpres itu lantaran bertentangan dengan UU di atasnya, seperti UU TNI dan UU Antiterorisme. “Salah satu hal yang bertentangan itu di antaranya, Pasal 7 ayat 2 UU TNI, pelibatan TNI untuk operasi militer selain perang (OMSP). Salah satunya, mengatasi aksi terorisme baru dapat dilakukan kalau sudah ada keputusan politik negara,” paparnya.
Keputusan politik negara yang dimaksud dalam UU TNI adalah keputusan presiden dengan konsultasi DPR. Sementara di dalam perpres, pengerahan militer dalam penindakan cukup hanya dengan perintah presiden. ”Jadi perintah itu bisa tertulis dan bisa tidak dan tanpa ada konsultasi DPR sebagai bentuk check and balances. Karenanya perpres bertentangan dengan UU TNI,” imbuhnya.
Seperti halnya tokoh yang menolak perpres tersebut, dirinya menilai bila aturan tersebut melenggang bebas dan diberlakukan, pengaturan kewenangan TNI yang terlalu berlebihan akan mengganggu mekanisme criminal justice system, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi. (Baca juga: Jokowi Diminta Tak Tandatangani Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme)
Hal lain yang juga menjadi perhatian serius di dalam petisi adalah mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum serta penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme. Para tokoh yang menandatangani petisi, kata dia, sepakat mendesak parlemen untuk meminta pemerintah memperbaiki draf peraturan presiden karena secara substansi memiliki banyak permasalahan.
Adapun para tokoh yang menandatangani petisi tersebut di antaranya, Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Najib Azca, guru besar Fisipol UGM Mochtar Mas'oed dan Yunizar Adiputera MA, guru besar FH UGM Sigit Riyanto, PSKP UGM Arifah Rahmawati, dosen FISIP UI Nur Iman Subono, Alissa Wahid, putri mendiang Gus Dur.
Dosen Universitas Paramadina Phil Shiskha Prabawaningtyas, mantan legislator Nursyahbani Katjasungkana, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Direktur Riset di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Usman Hamid. Termasuk pengajar Universitas Syiah Kuala Aceh Otto Nur Abdullah, pengajar FISIP UIN Jakarta Saiful Mujani, Sekjen PBHI Julius Ibrani, Direktur Imparsial Al Araf, dan pegiat Antikorupsi Emerson Yuntho.
(cip)