Kebijakan New Normal, Bagaimana Penerapannya di Transportasi Massal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gagasan pemerintah yang mendorong penerapan tatanan baru alias new normal tak lepas dari pro dan kontra. Terlebih lagi, kasus Covid-19 atau virus Corona yang masih meningkat, terutama di kawasan atau wilayah kategori zona merah atau risiko tinggi penularan Corona.
(Baca juga: Soal New Normal, Pemerintah Diminta Belajar dari Korea Selatan)
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) memandang penerapan normal baru atau new normal, tidak menjamin pelaksanaan jaga jarak (physicall distancing) yang aman. Salah satunya, saat berada dalam transportasi angkutan umum massal.
(Baca juga: Naik Lagi, 508 WNI di Luar Negeri Sembuh dari Covid-19)
"Kalau kebiasaan baru (new normal) diterjemahkan sebagai semuanya masuk kerja dengan jadwal seperti kondisi sebelum pandemi bisa dipastikan kapasitas angkutan umum massal di Jabodetabek tidak dapat menjamin pelaksanaan physicall distancing (jaga jarak)," kata Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI, Djoko Setijowarno, kepada SINDOnews, Minggu (31/5/2020).
Di Jabodetabek misalnya, yang masuk kawasan zona merah. Umumnya banyak orang yang lebih menggunakan kereta api listrik (KRL) commuter line sebagai angkutan menuju berbagai tempat dalam kegiatan sehari-hari.
Pada jam-jam sibuk, tentu tidak mungkin menambah kapasitas pada saat itu agar tercapai setiap kereta hanya maksimal 35 persen dan seluruh penumpang terangkut. Menurut dia, 50 persen saja mungkin sudah sangat berat.
"Karena sulit untuk melakukan penambahan kapasitas angkutan umum massal secara signifikan pada jam-jam sibuk agar tercapai physicall distancing dengan demand setara dengan pada masa sebelum pandemi," imbuh dia.
Menyiasati persoalan tersebut, dosen Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu menilai pengalihan ke angkutan umum massal bus bisa menjadi solusi. Asalkan dengan syarat, dapat dipastikan besaran tarif sesuai KRL. "Siapa yang akan memberikan subsidi? Selain itu, waktu tempuh pasti jauh akan lebih lama daripada naik KRL," jelas dia.
Menurut Djoko, kemacetan di jalan pasti akan lebih parah daripada sebelum pandemi. Sebab, mereka yang memiliki kendaraan pribadi baik sepeda motor maupun mobil akan menghindari angkutan umum massal dengan memilih kendaraan pribadi.
"Jika tetap dilaksanakan namun pemerintah tidak mampu menyediakan ketersediaan angkutan umum yang memadai untuk physicall distancing, maka kebijakan ganjil genap potensial dipermasalahkan publik," celetuk dia.
Yang rasional sebenarnya, lanjut Djoko, adalah agar bagaimana aktifitas atau kegiatan publik pada masa new normal dapat dikendalikan intensitasnya tidak sama seperti pada massa sebelum pandemi. Hal ini sebenarnya yang menjadi substansi utama dari Keputusan Menteri Kesehatan terkait pedoman untuk masa new normal.
Solusi lainnya, perusahaan bisa menyediakan angkutan bagi karyawannya dan bekerjsama dengan perusahaan transportasi umum. Hal itu bisa saja membantu bisnis perusahaan transportasi umum yang sedang alami menuju titik nadir bisnisnya.
"Agar pada saat penerapan new normal khususnya di Jabodetabek tidak timbul kekacauan di sektor transportasi. Sebab sumber permasalahan bukan di sektor transportasinya, namun pada bagaimana pengaturan kegiatan manusianya," ujarnya.
(Baca juga: Soal New Normal, Pemerintah Diminta Belajar dari Korea Selatan)
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) memandang penerapan normal baru atau new normal, tidak menjamin pelaksanaan jaga jarak (physicall distancing) yang aman. Salah satunya, saat berada dalam transportasi angkutan umum massal.
(Baca juga: Naik Lagi, 508 WNI di Luar Negeri Sembuh dari Covid-19)
"Kalau kebiasaan baru (new normal) diterjemahkan sebagai semuanya masuk kerja dengan jadwal seperti kondisi sebelum pandemi bisa dipastikan kapasitas angkutan umum massal di Jabodetabek tidak dapat menjamin pelaksanaan physicall distancing (jaga jarak)," kata Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI, Djoko Setijowarno, kepada SINDOnews, Minggu (31/5/2020).
Di Jabodetabek misalnya, yang masuk kawasan zona merah. Umumnya banyak orang yang lebih menggunakan kereta api listrik (KRL) commuter line sebagai angkutan menuju berbagai tempat dalam kegiatan sehari-hari.
Pada jam-jam sibuk, tentu tidak mungkin menambah kapasitas pada saat itu agar tercapai setiap kereta hanya maksimal 35 persen dan seluruh penumpang terangkut. Menurut dia, 50 persen saja mungkin sudah sangat berat.
"Karena sulit untuk melakukan penambahan kapasitas angkutan umum massal secara signifikan pada jam-jam sibuk agar tercapai physicall distancing dengan demand setara dengan pada masa sebelum pandemi," imbuh dia.
Menyiasati persoalan tersebut, dosen Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu menilai pengalihan ke angkutan umum massal bus bisa menjadi solusi. Asalkan dengan syarat, dapat dipastikan besaran tarif sesuai KRL. "Siapa yang akan memberikan subsidi? Selain itu, waktu tempuh pasti jauh akan lebih lama daripada naik KRL," jelas dia.
Menurut Djoko, kemacetan di jalan pasti akan lebih parah daripada sebelum pandemi. Sebab, mereka yang memiliki kendaraan pribadi baik sepeda motor maupun mobil akan menghindari angkutan umum massal dengan memilih kendaraan pribadi.
"Jika tetap dilaksanakan namun pemerintah tidak mampu menyediakan ketersediaan angkutan umum yang memadai untuk physicall distancing, maka kebijakan ganjil genap potensial dipermasalahkan publik," celetuk dia.
Yang rasional sebenarnya, lanjut Djoko, adalah agar bagaimana aktifitas atau kegiatan publik pada masa new normal dapat dikendalikan intensitasnya tidak sama seperti pada massa sebelum pandemi. Hal ini sebenarnya yang menjadi substansi utama dari Keputusan Menteri Kesehatan terkait pedoman untuk masa new normal.
Solusi lainnya, perusahaan bisa menyediakan angkutan bagi karyawannya dan bekerjsama dengan perusahaan transportasi umum. Hal itu bisa saja membantu bisnis perusahaan transportasi umum yang sedang alami menuju titik nadir bisnisnya.
"Agar pada saat penerapan new normal khususnya di Jabodetabek tidak timbul kekacauan di sektor transportasi. Sebab sumber permasalahan bukan di sektor transportasinya, namun pada bagaimana pengaturan kegiatan manusianya," ujarnya.
(maf)