Tak Hanya Corona, Perlu New Normal Tangani 'Wabah' Konsumsi Tembakau
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seluruh dunia tengah dikepung virus Corona (Covid-19) , tak terkecuali Indonesia. Seolah dunia berhenti berputar oleh virus yang berasal dari Wuhan ini. Warga dunia seperti tunggang langgang menyelamatkan diri dari serangan virus corona, yang kini telah memakan korban 300 ribuan meninggal dunia.
Lebih dari 2.5 juta manusia terkonfirmasi positif mengidap Covid-19. Namun warga dunia tampak lebih sepi oleh adanya wabah yang lebih dahsyat, yakni " wabah" konsumsi tembakau .
"Bagaimana tidak lebih dahsyat jika korban meninggal dunia akibat tembakau mencapai lebih dari lima jutaan per tahunnya. Indonesia tak kurang dari 200 ribuan orang Indonesia meninggal akibat wabah tembakau ini," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (30/5/2020).
Ironisnya, kata dia, respons terhadap wabah yang satu ini jauh dari memadai, bahkan masih adem ayem saja. "Baik negaranya, dan juga masyarakatnya," ujar Tulus.
Dia menjelasan kenapa respons terhadap kurang memadai terjadap fenomenda wabah tembakau. Penyebabnya, pertama, tembakau dengan rokoknya masih dianggap hal yang normal.
Aktivitas merokok pun masih dianggap normal saja, bahkan keren. Tak merokok dianggapnya norak. Di kalangan remaja, tak merokok dianggap kampungan alias ndeso.
Kedua, sosialisasi produk rokok pun begitu gencar dan masif, baik sosialisasi langsung seperti iklan dan atau promosi rokok atau promosi secara terselubung seperti melalui kegiatan CSR, bahkan CSR di dunia pendidikan.
"Sosialisasi produk prokok sejatinya hal yang tidak lazim dan primitif. Hanya Indonesia yang masih melegalkan hal yang semacam ini," tandasnya. ( )
Ketiga, pengendalian tembakau yang masih "memble", baik di level regulasi dan atau kebijakan.
Sebagai contoh, kata dia, hingga detik ini pemerintah Indonesia belum melakukan ratifikasi/aksesi FCTC (Framework Conbention on Tobacco Control). Padahal, lanjut Tulus, FCTC sudah menjadi hukum internasional sejak 2003, dan Indonesia merupakan inisiator FCFC. Ini merupakan hal yang memalukan dari sisi konvensi dan fatsun internasional.
Lebih dari 2.5 juta manusia terkonfirmasi positif mengidap Covid-19. Namun warga dunia tampak lebih sepi oleh adanya wabah yang lebih dahsyat, yakni " wabah" konsumsi tembakau .
"Bagaimana tidak lebih dahsyat jika korban meninggal dunia akibat tembakau mencapai lebih dari lima jutaan per tahunnya. Indonesia tak kurang dari 200 ribuan orang Indonesia meninggal akibat wabah tembakau ini," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (30/5/2020).
Ironisnya, kata dia, respons terhadap wabah yang satu ini jauh dari memadai, bahkan masih adem ayem saja. "Baik negaranya, dan juga masyarakatnya," ujar Tulus.
Dia menjelasan kenapa respons terhadap kurang memadai terjadap fenomenda wabah tembakau. Penyebabnya, pertama, tembakau dengan rokoknya masih dianggap hal yang normal.
Aktivitas merokok pun masih dianggap normal saja, bahkan keren. Tak merokok dianggapnya norak. Di kalangan remaja, tak merokok dianggap kampungan alias ndeso.
Kedua, sosialisasi produk rokok pun begitu gencar dan masif, baik sosialisasi langsung seperti iklan dan atau promosi rokok atau promosi secara terselubung seperti melalui kegiatan CSR, bahkan CSR di dunia pendidikan.
"Sosialisasi produk prokok sejatinya hal yang tidak lazim dan primitif. Hanya Indonesia yang masih melegalkan hal yang semacam ini," tandasnya. ( )
Ketiga, pengendalian tembakau yang masih "memble", baik di level regulasi dan atau kebijakan.
Sebagai contoh, kata dia, hingga detik ini pemerintah Indonesia belum melakukan ratifikasi/aksesi FCTC (Framework Conbention on Tobacco Control). Padahal, lanjut Tulus, FCTC sudah menjadi hukum internasional sejak 2003, dan Indonesia merupakan inisiator FCFC. Ini merupakan hal yang memalukan dari sisi konvensi dan fatsun internasional.