Teror ke Panitia Diskusi di UGM, Demokrat Prihatin Demokrasi di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia DPP Partai Demokrat, Didik Mukrianto menyayangkan dugaan peretasan dan teror terhadap panitia dan pembicara diskusi Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Didik juga prihatin masih adanya teror di era demokrasi sekarang ini.
(Baca juga: ICJR Desak Polisi Lindungi Panitia dan Narsum Diskusi 'Pemberhentian Presiden')
Adapun serangan teror dan peretasan itu diduga karena diskusi yang rencananya digelar pada Jumat 29 Mei 2020 pukul 14.00 WIB - 16.00 WIB melalui aplikasi zoom meeting itu bertajuk Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan. Diskusi itu akhirnya dibatalkan.
"Hanya negara yang antidemokrasi dan pemimpin otoriter yang menggunakan pendekatan keamanan dan membiarkan terjadinya ancaman dan teror. Sungguh memprihatinkan kalau di negara demokrasi ini, pemikiran, diskursus, forum ilmiah, dan forum kampus dianggap sebagai sebuah ancaman," kata Didik dalam keterangan tertulis yang diterima oleh SINDOnews, Sabtu (30/5/2020).
"Saya sangat menyayangkan dan prihatin masih muncul ancaman dan teror di era demokrasi seperti sekarang ini, apalagi forumnya adalah forum ilmiah yang dilakukan oleh Kampus. Kemana hadirnya negara? Kemana pemerintah? Apa tugas aparat keamanan untuk melindungi rakyatnya?" sambungnya.
Dia pun mengingatkan, salah satu transformasi besar bangsa Indonesia saat ini adalah stabilitas politik dan keamanan yang semula dengan pendekatan keamanan, kini sedang bertransformasi menuju penegakan hukum. Berkaca kejadian tersebut, Didik mengatakan, sungguh pukulan berat bagi pecinta demokrasi, potret yang sangat memilukan dan memalukan wajah Indonesia sebagai negara demokrasi.
"Untuk itu apabila Presiden masih menganggap demokrasi harus tetap dijaga kemurnian dan tujuannya, saya berharap Presiden, pemerintah dan aparat pemerintah untuk terus melindungi rakyatnya, dan segera menangkap serta menindak pelaku-pelaku teror ini. Jangan pernah ditoleransi sedikitpun teror terhadap demokrasi ini," tuturnya.
Dia menambahkan, kalau presiden, pemerintah dan aparat keamanan sudah tidak bisa lagi melindungi kebebasan dan HAM warga negaranya, secara logika bagaimana mungkin rakyat percaya sepenuhnya mampu melindungi negara dan kedaulatannya.
"Jikalau rakyat sudah merasa tidak mendapat perlindungan negara, tidak mendapat perlindungan dari Pemimpin dan Pemerintah serta aparatnya, jangan salahkan kalau rakyat bergerak bersama untuk menemukan keadilan dengan cara dan keyakinannya masing-masing," katanya.
Didik menuturkan, sebagai Konsekuensi Indonesia sebagai Negara Hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tidak ada seorangpun dan tidak ada satu lembaga manapun di Indnesia ini yang boleh melanggar Konstitusi. "Konstitusi adalah hukum dasar tertulis dalam pengelolaan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat," tuturnya.
Dia melanjutkan, dalam konteks kebebasan, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
"Berdasarkan hal tersebut di atas, tidak dibenarkan siapapun yang mengganggu, mengekang, mengancam, apalagi merenggut kebebasan tersebut, karena itu adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Negara harus hadir, pemerintah dan aparatnya harus memberikan perlindungan terhadap setiap ancaman terhadap Hak Asasi Manusia tersebut," bebernya.
Kemudian kata dia, lebih jauh dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menegaskan, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. "Standing Negara clear, kewajiban pemerintah jelas, dan hak warga negara sangat gamblang," pungkasnya.
Lihat Juga: Tampang 2 Tersangka Pembubaran Diskusi Din Syamsuddin Cs Dikomentari Netizen: Mukanya Masih Mulus
(Baca juga: ICJR Desak Polisi Lindungi Panitia dan Narsum Diskusi 'Pemberhentian Presiden')
Adapun serangan teror dan peretasan itu diduga karena diskusi yang rencananya digelar pada Jumat 29 Mei 2020 pukul 14.00 WIB - 16.00 WIB melalui aplikasi zoom meeting itu bertajuk Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan. Diskusi itu akhirnya dibatalkan.
"Hanya negara yang antidemokrasi dan pemimpin otoriter yang menggunakan pendekatan keamanan dan membiarkan terjadinya ancaman dan teror. Sungguh memprihatinkan kalau di negara demokrasi ini, pemikiran, diskursus, forum ilmiah, dan forum kampus dianggap sebagai sebuah ancaman," kata Didik dalam keterangan tertulis yang diterima oleh SINDOnews, Sabtu (30/5/2020).
"Saya sangat menyayangkan dan prihatin masih muncul ancaman dan teror di era demokrasi seperti sekarang ini, apalagi forumnya adalah forum ilmiah yang dilakukan oleh Kampus. Kemana hadirnya negara? Kemana pemerintah? Apa tugas aparat keamanan untuk melindungi rakyatnya?" sambungnya.
Dia pun mengingatkan, salah satu transformasi besar bangsa Indonesia saat ini adalah stabilitas politik dan keamanan yang semula dengan pendekatan keamanan, kini sedang bertransformasi menuju penegakan hukum. Berkaca kejadian tersebut, Didik mengatakan, sungguh pukulan berat bagi pecinta demokrasi, potret yang sangat memilukan dan memalukan wajah Indonesia sebagai negara demokrasi.
"Untuk itu apabila Presiden masih menganggap demokrasi harus tetap dijaga kemurnian dan tujuannya, saya berharap Presiden, pemerintah dan aparat pemerintah untuk terus melindungi rakyatnya, dan segera menangkap serta menindak pelaku-pelaku teror ini. Jangan pernah ditoleransi sedikitpun teror terhadap demokrasi ini," tuturnya.
Dia menambahkan, kalau presiden, pemerintah dan aparat keamanan sudah tidak bisa lagi melindungi kebebasan dan HAM warga negaranya, secara logika bagaimana mungkin rakyat percaya sepenuhnya mampu melindungi negara dan kedaulatannya.
"Jikalau rakyat sudah merasa tidak mendapat perlindungan negara, tidak mendapat perlindungan dari Pemimpin dan Pemerintah serta aparatnya, jangan salahkan kalau rakyat bergerak bersama untuk menemukan keadilan dengan cara dan keyakinannya masing-masing," katanya.
Didik menuturkan, sebagai Konsekuensi Indonesia sebagai Negara Hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tidak ada seorangpun dan tidak ada satu lembaga manapun di Indnesia ini yang boleh melanggar Konstitusi. "Konstitusi adalah hukum dasar tertulis dalam pengelolaan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat," tuturnya.
Dia melanjutkan, dalam konteks kebebasan, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyebutkan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
"Berdasarkan hal tersebut di atas, tidak dibenarkan siapapun yang mengganggu, mengekang, mengancam, apalagi merenggut kebebasan tersebut, karena itu adalah bagian dari Hak Asasi Manusia. Negara harus hadir, pemerintah dan aparatnya harus memberikan perlindungan terhadap setiap ancaman terhadap Hak Asasi Manusia tersebut," bebernya.
Kemudian kata dia, lebih jauh dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menegaskan, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. "Standing Negara clear, kewajiban pemerintah jelas, dan hak warga negara sangat gamblang," pungkasnya.
Lihat Juga: Tampang 2 Tersangka Pembubaran Diskusi Din Syamsuddin Cs Dikomentari Netizen: Mukanya Masih Mulus
(maf)