Perluasan Barang Kena Cukai
loading...
A
A
A
Prof Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia
PANDEMI Covid 19 terjadi sejak 2020 mutlak memaksa porsi belanja pemerintah kian meningkat dan penerimaan mengalami tekanan. Akibatnya, pilihan kebijakan defisit pun tak terelakkan. Pada kondisi ekonomi yang tertekan akibat pandemi, pemerintah tidak akan bisa menekan belanja terutama untuk memberikan bantuan kepada masyarakat serta pelaku usaha yang terdampak Covid-19. Sebab, jika saat ini belanja dikurangi dengan pemberhentian proyek pemerintah maka stimulus ke perekonomian juga akan terhenti.
Di sisi lain, tekanan pandemi dengan berbagai pembatasan yang dilakukan akan berdampak ke sisi penerimaan sehingga menyebabkan perlambatan ekonomi dan menurunkan penerimaan negara, terutama pajak. Penerimaan pajak pada tahun 2020 mengalami penurunan yang mendalam hingga level terendah dalam lima tahun terakhir, yakni sebesar Rp 1.070 triliun. Kekurangan penerimaan atau shortfall mencapai Rp 128,8 triliun meski target telah dipangkas hingga dua kali mencapai Rp 443,8 triliun dari target awal APBN 2020.
Kini, meski perekonomian nasional berangsur pulih dan berhasil keluar dari jurang resesi, namun dilihat dari sisi penerimaan pajak masih belum seutuhnya mengalami pemulihan. Penerimaan pajak semester I-2021 tercatat Rp 557,8 triliun atau tumbuh 4,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Saat itu penerimaan pajak hanya Rp 531,8 triliun, lebih rendah dari capaian tahun 2019 yakni Rp604,3 triliun.
Sebaliknya, ketika terjadi pelemahan penerimaan pajak akibat pandemi, penerimaan kepabeanan dan cukai mencatatkan realisasi penerimaan 103,48% di sepanjang tahun 2020 yakni mencapai Rp212,85 triliun atau lebih tinggi dari targetnya dalam Perpres 72 yang sebesar Rp205,68 triliun. Kontribusi cukai terhadap penerimaan negara pada tahun 2020 sebesar 9,3% dari keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal itu menggambarkan bahwa penerimaan cukai tidak mengalami gangguan yang signifikan pada era pandemi Covid-19. Meski demikian, ekstensifikasi BKC diperlukan untuk menyeimbangkan struktur penerimaan cukai Indonesia. Pasalnya, selama ini sumber penerimaan cukai didominasi oleh Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Penerimaan CHT memiliki kontribusi sekitar 97% setiap tahun. Tingginya pemesanan pita cukai atau produksi tembakau pada Januari dan pengaruh kenaikan tarif yang berlaku di Februari turut mendorong capaian penerimaan CHT di perjalanan tahun ini.
IHT dan CHT di Masa Pandemi
Pandemi Covid -19 telah membuat banyak sektor industri terguncang, termasuk juga IHT di tanah air. Sebagaimana kondisi yang terjadi pada industri lainnya, IHT pun juga mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2020 (yoy). Data menunjukkan bahwa laju pertumbuhan PDB pada Industri pengolahan tembakau tercatat minus 5,78% sepanjang tahun 2020. Penurunan terbesar terjadi pada kuartal II-2020 sebesar minus 10,84% ketika pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan angka penyebaran Covid-19.
Industri Hasil Tembakau merupakan industri padat karya. Artinya, keberlangsungan operasional melibatkan banyak pekerja. Ada banyak buruh linting di sektor ini. Pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah tentu menjadi beban tersendiri bagi IHT. Industri pun harus mengatur strategi untuk dapat terus menjalankan produksi dan kewajiban perusahaan pada pekerjanya di tengah keterbatasan kondisi selama pandemi. Meski demikian, hal yang tidak bisa dihindari adalah efek ekonomis yang harus dihadapi para produsen IHT. Pada titik inilah IHT sebagai salah satu tiang ekonomi negara mulai sulit bernafas ketika beban cukai terus diberikan pada IHT yang kini juga tengah berjuang bertahan melawan pandemi.
Tarif CHT tak bisa hanya dilihat sebagai komponen penerimaan negara tanpa memperhatikan keberlangsungan industrinya. Industri perlu bertahan untuk memberikan penerimaan negara yang optimal melalui cukai. Kini IHT masih berada dalam masa pemulihan sebagaimana industri lainnya yang berjuang bertahan di tengah badai pandemi. Oleh sebab itu, saat ini tarif cukai menjadi hal krusial bagi IHT untuk dapat bernafas di tengah himpitan pandemi.
Staf Khusus Kementerian Keuangan Republik Indonesia
PANDEMI Covid 19 terjadi sejak 2020 mutlak memaksa porsi belanja pemerintah kian meningkat dan penerimaan mengalami tekanan. Akibatnya, pilihan kebijakan defisit pun tak terelakkan. Pada kondisi ekonomi yang tertekan akibat pandemi, pemerintah tidak akan bisa menekan belanja terutama untuk memberikan bantuan kepada masyarakat serta pelaku usaha yang terdampak Covid-19. Sebab, jika saat ini belanja dikurangi dengan pemberhentian proyek pemerintah maka stimulus ke perekonomian juga akan terhenti.
Di sisi lain, tekanan pandemi dengan berbagai pembatasan yang dilakukan akan berdampak ke sisi penerimaan sehingga menyebabkan perlambatan ekonomi dan menurunkan penerimaan negara, terutama pajak. Penerimaan pajak pada tahun 2020 mengalami penurunan yang mendalam hingga level terendah dalam lima tahun terakhir, yakni sebesar Rp 1.070 triliun. Kekurangan penerimaan atau shortfall mencapai Rp 128,8 triliun meski target telah dipangkas hingga dua kali mencapai Rp 443,8 triliun dari target awal APBN 2020.
Kini, meski perekonomian nasional berangsur pulih dan berhasil keluar dari jurang resesi, namun dilihat dari sisi penerimaan pajak masih belum seutuhnya mengalami pemulihan. Penerimaan pajak semester I-2021 tercatat Rp 557,8 triliun atau tumbuh 4,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Saat itu penerimaan pajak hanya Rp 531,8 triliun, lebih rendah dari capaian tahun 2019 yakni Rp604,3 triliun.
Sebaliknya, ketika terjadi pelemahan penerimaan pajak akibat pandemi, penerimaan kepabeanan dan cukai mencatatkan realisasi penerimaan 103,48% di sepanjang tahun 2020 yakni mencapai Rp212,85 triliun atau lebih tinggi dari targetnya dalam Perpres 72 yang sebesar Rp205,68 triliun. Kontribusi cukai terhadap penerimaan negara pada tahun 2020 sebesar 9,3% dari keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal itu menggambarkan bahwa penerimaan cukai tidak mengalami gangguan yang signifikan pada era pandemi Covid-19. Meski demikian, ekstensifikasi BKC diperlukan untuk menyeimbangkan struktur penerimaan cukai Indonesia. Pasalnya, selama ini sumber penerimaan cukai didominasi oleh Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Penerimaan CHT memiliki kontribusi sekitar 97% setiap tahun. Tingginya pemesanan pita cukai atau produksi tembakau pada Januari dan pengaruh kenaikan tarif yang berlaku di Februari turut mendorong capaian penerimaan CHT di perjalanan tahun ini.
IHT dan CHT di Masa Pandemi
Pandemi Covid -19 telah membuat banyak sektor industri terguncang, termasuk juga IHT di tanah air. Sebagaimana kondisi yang terjadi pada industri lainnya, IHT pun juga mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2020 (yoy). Data menunjukkan bahwa laju pertumbuhan PDB pada Industri pengolahan tembakau tercatat minus 5,78% sepanjang tahun 2020. Penurunan terbesar terjadi pada kuartal II-2020 sebesar minus 10,84% ketika pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan angka penyebaran Covid-19.
Industri Hasil Tembakau merupakan industri padat karya. Artinya, keberlangsungan operasional melibatkan banyak pekerja. Ada banyak buruh linting di sektor ini. Pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah tentu menjadi beban tersendiri bagi IHT. Industri pun harus mengatur strategi untuk dapat terus menjalankan produksi dan kewajiban perusahaan pada pekerjanya di tengah keterbatasan kondisi selama pandemi. Meski demikian, hal yang tidak bisa dihindari adalah efek ekonomis yang harus dihadapi para produsen IHT. Pada titik inilah IHT sebagai salah satu tiang ekonomi negara mulai sulit bernafas ketika beban cukai terus diberikan pada IHT yang kini juga tengah berjuang bertahan melawan pandemi.
Tarif CHT tak bisa hanya dilihat sebagai komponen penerimaan negara tanpa memperhatikan keberlangsungan industrinya. Industri perlu bertahan untuk memberikan penerimaan negara yang optimal melalui cukai. Kini IHT masih berada dalam masa pemulihan sebagaimana industri lainnya yang berjuang bertahan di tengah badai pandemi. Oleh sebab itu, saat ini tarif cukai menjadi hal krusial bagi IHT untuk dapat bernafas di tengah himpitan pandemi.