Otto Usulkan Munas Peradi Digelar Bersama, Suhadi: Ini Sejarah Officium Nobile

Senin, 23 Agustus 2021 - 22:25 WIB
loading...
Otto Usulkan Munas Peradi Digelar Bersama, Suhadi: Ini Sejarah Officium Nobile
Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan mengajak semua advokat untuk mengikuti Munas Peradi bersama. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Beredarnya surat dari Peradi Soho No 330 tertanggal 8 Agustus 2021 yang mengajak Luhut Pengaribuan dari Peradi RBA dan Juniver Girsang dari SAI untuk mengadakan Munas Peradi bersama mendapat tanggapan positif.

Surat yang ditandatangani langsung Ketua Umum Otto Hasibuan dan Sekjen Herman Dulaimi ini harus diapresiasi sebagai upaya untuk mempersatukan Peradi. "Ajakan yang dipelopori oleh Otto Hasibuan untuk mengadakan Munas bersama, adalah suatu langkah yang layak diapresiasi demi bersatunya Peradi, yang dahulunya suatu perkumpulan para organ Advokat yang terdiri dari: Ikadin, AAI, IPHI, SPI dan lain-lain," tutur advokat C Suhadi, Senin (23/8/2021).

Sebelum berfusi ke dalam wadah Peradi, organisasi advokat (OA) masih bersifat Multi Bar atau banyak OA yang menaungi para Advokat. Kemudian para tokoh advokat bersepakat untuk menyatukan OA ke dalam satu organ besar yang bernama Peradi, karena dengan bersatunya OA kedalam rumah besar (Peradi), maka Advokat menjadi suatu kekuatan baru di dunia hukum.

Hal ini mempunyai nilai tawar besar sebagai bargaining kepada penegakan hukum maupun pemerintah. "Karena dengan begitu para Advokat bukan hanya bicara pada tataran cari uang atau cuap-cuap di meja pengadilan sebagai seorang penasihat hukum, tapi konteksnya pada kemaslahatan bangsa khususnya di dunia hukum," tuturnya.

Pada awal terbentuknya Peradi sebagai rumah besar OA yang digawangi Otto Hasibuan sebagai Ketum Peradi. Kehadirannya benar-benar terasa, karena seseorang untuk menjadi advokat bukan perkara remeh temeh seperti terjadi sekarang di beberapa OA di luar Peradi. Barangkali tanpa ujian dan lain-lain maka kartu advokat berikut Berita Acara Sumpah akan dapat diraih.

"Untuk menjadi advokat Peradi kala itu, harus melalui PKPA, Ujian dan Magang dan dilanjutkan Sumpah. Apabila ketiga syarat (atau ke empat) itu dapat dilalui maka seseorang baru dapat dikatakan Advokat yang boleh beracara di Pengadilan. Dan perkara ujian bukan perkara mudah kala itu, karena kelulusan menjadi barang mahal, karena prosesnya terukur karena atas dasar ke ilmuan yang terukur, baru dapat lolos menempuh kelulusan," tuturnya.

Lambat laun nama Peradi di bawah Komando Otto Hasibuan dan Hari Pontoh, kala itu semakin diperhitungkan baik di luar dan dalam pengadilan. ”Ini tentunya suatu poin besar yang harus kita kenang sebagai tonggak sejarah kejayaan Peradi kala itu. Capaian kesuksesan dalam membesarkan nama Peradi di kacah dunia advokasi, ternyata tidak selalu berbuah manis. Karena Peradi yang sudah menjadi primadona, ternyata banyak diincar orang untuk menjadi ketua umum," katanya.

Tak elak, Munas Peradi Makassar telah menjadi bagian mimpi buruk dalam pejalanan panjang sejarah Peradi. Dari Munas Makassar Peradi yang menjadi rumah besar advokat, hanya tinggal kenangan. Karena dari situ Peradi bukan lagi satu, akan tetapi terbelah menjadi tiga, sekalipun Munas Makassar tidak ada amanat munas yang signifikan berbicara tentang Peradi secara organ, kecuali kelompok kecil yang terus membakar semangat perpecahan.

Selain itu, dampak yang paling besar yang sangat memukul OA Peradi adalah keluarnya, SEMA 73 tahun 2015. Dalam SEMA itu selain memberangus kedudukan Peradi sebagai wadah tunggal OA yang diakui oleh lembaga Peradilan sebagaimana SEMA No.89/KMA/VI/2010, tanggal 25 Juli 2010 dicabut.

Hal itu artinya marwah Peradi sebagai OA yang diakui tidak lagi menjadi pegangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia. Sehingga lambat laun Peradi tidak punya kekuatan penuh dalam mengelola OA. "Karena di banyak tempat OA lahir bukan untuk melahirkan advokat yang berkualitas, itu terlihat dari masalah ujian advokat yang ditempatkan pada skala kesekian, karena tujuannya bukan pada kualitas akan tetapi kuantitas. Belum lagi masalah etik, dengan banyaknya OA masalah etik wilayah yang sulit dijamah, bukan itu saja kadang apabila advokat melakukan pelanggaran, kita bingung ke OA mana seseorang kita adukan karena tidak jelasnya kedudukan OA orang tersebut,” katanya.

Padahal dalam kedudukannya advokat itu menyandang Officium Nobile, artinya pekerjaan advokat adalah pekerjaan yang terhormat dan mulia. Oleh karena itu dalam UU Advokat No. 18 tahun 2001, sebagaimana di atur dalam pasal 5 ayat 1, Advokat mempunyai kedudukan yang sama dengan Penegak hukum lainnya, seperti ; Hakim, Jaksa dan lain lain.

Juga yang tidak kalah penting Advokat mempunyai hak imunitas atau kekebalan dalam menjalankan tugas. Hal ini seperti diatur dalam pasal 16 UU Advokat. Selain mengatur rumusan hak dan kewajiban Advokat, sebenarnya UU Advokat secara limitatif peraturan telah menganut single bar, bukan multi seperti sekarang ini.

Ketentuan UU Advokat mengatur Single Bar seperti terurai dalam pasal 28 ayat (1) Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri. "Selanjutnya kita dukung ajakan Otto Hasibuan dan Herman Dulaimi sebagai Ketua Umum dan Sekjen Peradi Soho untuk menyelenggarakan Munas bersama advokat. Ajakan ini mulia agar advokat masuk dalam kekuatan baru sejarah Officium Nobile," imbuhnya.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1493 seconds (0.1#10.140)