Tantangan Mengembangkan Energi Baru dan Terbarukan
loading...
A
A
A
Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) di masa mendatang menjadi suatu keniscayaan. Cepat atau lambat implementasi penggunaan energi bersih bakal terjadi seiring semakin berkurangnya cadangan bahan bakar fosil dari tahun ke tahun.
Di sisi lain, para pemimpin global melalui Paris Agreement telah bersepakat untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil dan faktor lainnya. Di Indonesia, pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% pada 2030.
Sektor energi yang merupakan salah satu penyumbang gas rumah kaca terbesar kedua di Indonesi setelah sektor kehutanan. Berdasarkan catatan kementerian energi dan sumber daya mineral (ESDM), sektor energi menghasilkan emisi GRK sebesar 453,2 juta ton CO2, di bawah sektor kehutanan yang sebesar 647 juta ton CO2.
Pemerintah telah menargetkan akan menurunkan emisi GRK sektor energi menjadi sebesar 314-398 juta ton CO2 pada sembilan tahun mendatang. Beberapa strategi dilakukan di antaranya dengan mengembangkan EBT, konservasi energi dan penerapan teknologi bersih.
Dari sisi pasokan, saat ini bauran energi nasional masih didominasi oleh bahan bakar fosil yakni batu-bara yang di antaranya untuk menyuplai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan porsi 38%, kemudian minyak bumi (31,6%), EBT (11,2%) dan gas alam (19,2%).
Masih rendahnya bauran EBT pada keseluruhan pasokan energi nasional memerlukan upaya keras untuk meningkatkannya. Apalagi lama kelamaan, masyarakat kian sadar akan pentinynya energi bersih dan ramah lingkungan.
Selain itu, menilik potensi EBT yang ada di Tanah Air, bukan mustahil penggunaan energi hijau ke rumah-rumah tangga maupun industri bakal semakin besar. Lihat saja misalnya potensi panas bumi yang mencapai 23.900 mega watt (MW) baru termanfaatkan sebesar 2.130 MW atau sekitar 8,9% saja.
Begitupun tenaga matahari sampai saat ini baru termanfaatkan 182,3 MW dari potensi yang ada sebesar 207.800 MW. Pasokan EBT dari samudera seperti arus laut juga bahkan sama sekali belum dimanfaatkan meski potensinya lumayan besar yakni sekitar 17.900 MW.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah memang telah mulai memanfaatkan potensi EBT dari angin dan sampah. Namun, kedua sumber energi ini masih belum dominan. Angin yang dimanfatkan melalui PLTB baru sekitar 154 MW, sedangkan sampah baru sekitar 1.916 MW. Bandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang sudah mampu memproduksi listrik sebesar 34.668 MW. Jumlah tersebut berpotensi terus bertamhah karena sejumlah pembangkit baru termasuk dari pembangkit listrik swasta (IPP) yang bermunculan dan akan memasuki tahapan komersial.
Kondisi ini tentu saja harus disikapi dengan adanya regulasi yang yang mendukung serta konsistensi kebijakan agar tujuan menjadikan lingkungan bersih bisa terwujud. Memang tidak mudah karena ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi para pemangku kepentingan.
Di sisi lain, para pemimpin global melalui Paris Agreement telah bersepakat untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil dan faktor lainnya. Di Indonesia, pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% pada 2030.
Sektor energi yang merupakan salah satu penyumbang gas rumah kaca terbesar kedua di Indonesi setelah sektor kehutanan. Berdasarkan catatan kementerian energi dan sumber daya mineral (ESDM), sektor energi menghasilkan emisi GRK sebesar 453,2 juta ton CO2, di bawah sektor kehutanan yang sebesar 647 juta ton CO2.
Pemerintah telah menargetkan akan menurunkan emisi GRK sektor energi menjadi sebesar 314-398 juta ton CO2 pada sembilan tahun mendatang. Beberapa strategi dilakukan di antaranya dengan mengembangkan EBT, konservasi energi dan penerapan teknologi bersih.
Dari sisi pasokan, saat ini bauran energi nasional masih didominasi oleh bahan bakar fosil yakni batu-bara yang di antaranya untuk menyuplai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan porsi 38%, kemudian minyak bumi (31,6%), EBT (11,2%) dan gas alam (19,2%).
Masih rendahnya bauran EBT pada keseluruhan pasokan energi nasional memerlukan upaya keras untuk meningkatkannya. Apalagi lama kelamaan, masyarakat kian sadar akan pentinynya energi bersih dan ramah lingkungan.
Selain itu, menilik potensi EBT yang ada di Tanah Air, bukan mustahil penggunaan energi hijau ke rumah-rumah tangga maupun industri bakal semakin besar. Lihat saja misalnya potensi panas bumi yang mencapai 23.900 mega watt (MW) baru termanfaatkan sebesar 2.130 MW atau sekitar 8,9% saja.
Begitupun tenaga matahari sampai saat ini baru termanfaatkan 182,3 MW dari potensi yang ada sebesar 207.800 MW. Pasokan EBT dari samudera seperti arus laut juga bahkan sama sekali belum dimanfaatkan meski potensinya lumayan besar yakni sekitar 17.900 MW.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah memang telah mulai memanfaatkan potensi EBT dari angin dan sampah. Namun, kedua sumber energi ini masih belum dominan. Angin yang dimanfatkan melalui PLTB baru sekitar 154 MW, sedangkan sampah baru sekitar 1.916 MW. Bandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang sudah mampu memproduksi listrik sebesar 34.668 MW. Jumlah tersebut berpotensi terus bertamhah karena sejumlah pembangkit baru termasuk dari pembangkit listrik swasta (IPP) yang bermunculan dan akan memasuki tahapan komersial.
Kondisi ini tentu saja harus disikapi dengan adanya regulasi yang yang mendukung serta konsistensi kebijakan agar tujuan menjadikan lingkungan bersih bisa terwujud. Memang tidak mudah karena ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi para pemangku kepentingan.