Vonis Ringan Bukan Ukuran Buruknya Kinerja KPK

Jum'at, 29 Mei 2020 - 18:41 WIB
loading...
Vonis Ringan Bukan Ukuran Buruknya Kinerja KPK
Ma’ruf Asni, Presidium Front Anti Korupsi Indonesia. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Ma’ruf Asni
Presidium Front Anti Korupsi Indonesia
Pegiat Anti Korupsi

MENGHORMATI putusan hakim terhadap suatu perkara hendaklah dihargai dan ditaati serta menjadi hal prinsipil yang mesti dipegang teguh oleh seluruh kalangan, termasuk masyarakat sipil (civil society). Mengapa demikian?

Satu hal yang mesti dimengerti dan dipahami adalah kekuasaan kehakiman memiliki indepedensi yang tidak dapat diintervensi oleh siapa pun. Entah itu individu dan/atau kelompok termasuk cabang kekuasaan tertentu.

Adalah suatu kekeliruan fatal manakala putusan hakim dipaksakan untuk mengikuti jumlah dukungan atau salah satu di antara yang berperkara. Hal itu dapat berimplikasi tercorengnya marwah kehakiman serta mencederai keadilan.

Kini waktunya bagi kita serta seluruh elemen bangsa bersinergi demi terjaganya soliditas dan tetap bersabar menerima berbagai macam komentar “miring” atas putusan hakim Tipikor Jakarta, Kamis (28/5/2020). Hakim menjatuhkan vonis 1 tahun 8 bulan penjara terhadap Saeful Bahri dalam kasus suap kepada Wahyu Setiawan saat menjabat anggota KPU.

Sungguh bukan perkara muda untuk membuat seluruh anak bangsa mengerti dan memahami bagaimana proses hukum yang berjalan. Kurang tepat bila kemudian vonis hakim terhadap Saeful turut dipandang mencerminkan bobroknya kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam aspek penuntutan.

Padahal kalau mencermati tuntutan jaksa KPK, justru relatif tinggi. Tentu hakim punya penilaian sendiri dalam mendedah suatu perkara dan karenanya putusan yang diorbitkan harus diterima secara konsekuen.

Dengan kata lain vonis hakim yang lebih ringan dari penuntut merupakan manifestasi dari indepedensi kekuasaan kehakiman. Hal ini sebagaimana dijamin UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang bebas dan merdeka.

Bila kita terjebak dengan persoalan vonis ringan yang senyatanya bukan hal baru – sebagaimana dalam kasus Imam Nahrawi yang diputus 1 tahun penjara atau Sofyan Basyir dan Safruddin Arsyad Temenggung yang diputus bebas oleh hakim – justru itu menunjukkan kegagapan dalam memahami kerja-kerja anti-korupsi yang lebih substansial.

Terlampau prematur manakala harus berkesimpulan vonis rendah terhadap pelaku kejahatan korupsi merefleksikan lemahnya kinerja penuntutan. Kesimpulan semacam itu tampak menunjukkan bila paradigma menghukum seberat-beratnya masih dominan dalam agenda antirasuah. Inilah yang mesti diubah, sebab ada tidaknya efek jerah pelaku korupsi parameternya bukan seberapa berat hukuman yang di terima.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1579 seconds (0.1#10.140)