Jangan Lengah! Corona Kini Masuk ke Desa
loading...
A
A
A
Guru di SMAN I Jasinga ini mengaku sempat cemas saat memutuskan isoman. Alasannya, jauh dari peralatan medis dan tenaga kesehatan (nakes). Kedua orang tuanya pun saat melapor ke puskesmas setempat, pihak puskesmas hanya melakukan pendataan saja. Tidak melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
Selama menjalani isoman, seolah dunia Sonya terhenti. Ia hanya bisa berkutat di kamar berukuran 3x4 meter. Sepanjang mata memandang hanya ada dinding tembok, lemari, beberapa foto keluarga, dan jam dinding. Sumpek. Hiburan kecilnya hanya memandang ke luar jendela melihat tanaman yang biasa ia rawat. “Beratnya melawan jenuh,” ujarnya. Berselancar di dunia maya melalui ponsel pintar merupakan caranya membunuh sepi di tengah perlawanannya terhadap Covid-19.
Untuk mempercepat pemulihan, segala cara dilakukan di luar obat dari dokter. Kedua orang tuanya saban hari memasok aneka makanan dan minuman yang dipercaya bisa membantu penyembuhan, salah satunya, air kelapa dicampur madu dan lemon. “Ini juga berat karena lidah tak bisa merasakan apapun yang dikunyah,” keluhnya.
Untungnya, Juni itu kegiatan belajar mengajar (KBM) daring telah selesai. Tinggal penilaian terhadap hasil belajar para muridnya selama semester genap. Karena kondisi yang tak memungkinkan, tugasnya itu pun diambil alih oleh rekan kerjanya. Seminggu menjalani isoman, kondisi tubuhnya mulai membaik. Lidahnya mulai bisa merasakan makanan lagi.
Sempat berpikir untuk melakukan pemeriksaan kesehatan pada hari itu juga. Setelah mengontak klinik, ternyata dokter yang memeriksanya sedang isoman. Ia pun mengurungkan niat dan menambah isoman selama tiga hari lagi. Setelah 10 hari terkurung dalam kamar, Sonya menjalani tes antigen lagi dan dinyatakan negatif.
Baca juga: Tips Cari Hotel Saat Pandemi: Prokes Ketat dan Bebas Tamu Isoman
Dengan kesadaran diri, ia menambah waktu isoman selama sepekan, hingga kondisinya benar-benar kembali pulih dan beraktivitas seperti biasanya. Tentunya tetap dengan menerapkan prokes penanganan Covid-19 secara ketat.
“Kadang-kadang masyarakat sudah takut duluan kalau ada yang Covid-19. Ternyata ada caranya, (masyarakat diberitahu) bagaimana menanganinya. Kemudian, (perangkat desa) keliling desa dan masjid diminta untuk mengingatkan warga agar selalu menggunakan masker ketika keluar rumah dan tidak berkerumun,” ujar dia.
Berbekal pengalamannya terkena Covid-19 itulah, Sonya Sanjaya kemudian berinisiatif untuk berkeliling desa sambil mengdukasi masyarakat tentang pentingnya protokol kesehatan. Aktivitas ini dijalaninya denganmenggunakan kendaraan bak terbuka, denganbersepeda motor ataukadang berjalan kaki.Selain dengan rekan karang taruna, Sonya juga menyosialisasikan Covid-19, pentingnya vaksinasi dan protokol kesehatan, bersama mahasiswa KKN dari salah satu kampus di Bandung, Jawa Barat.
Selama menjalani isoman, seolah dunia Sonya terhenti. Ia hanya bisa berkutat di kamar berukuran 3x4 meter. Sepanjang mata memandang hanya ada dinding tembok, lemari, beberapa foto keluarga, dan jam dinding. Sumpek. Hiburan kecilnya hanya memandang ke luar jendela melihat tanaman yang biasa ia rawat. “Beratnya melawan jenuh,” ujarnya. Berselancar di dunia maya melalui ponsel pintar merupakan caranya membunuh sepi di tengah perlawanannya terhadap Covid-19.
Untuk mempercepat pemulihan, segala cara dilakukan di luar obat dari dokter. Kedua orang tuanya saban hari memasok aneka makanan dan minuman yang dipercaya bisa membantu penyembuhan, salah satunya, air kelapa dicampur madu dan lemon. “Ini juga berat karena lidah tak bisa merasakan apapun yang dikunyah,” keluhnya.
Untungnya, Juni itu kegiatan belajar mengajar (KBM) daring telah selesai. Tinggal penilaian terhadap hasil belajar para muridnya selama semester genap. Karena kondisi yang tak memungkinkan, tugasnya itu pun diambil alih oleh rekan kerjanya. Seminggu menjalani isoman, kondisi tubuhnya mulai membaik. Lidahnya mulai bisa merasakan makanan lagi.
Sempat berpikir untuk melakukan pemeriksaan kesehatan pada hari itu juga. Setelah mengontak klinik, ternyata dokter yang memeriksanya sedang isoman. Ia pun mengurungkan niat dan menambah isoman selama tiga hari lagi. Setelah 10 hari terkurung dalam kamar, Sonya menjalani tes antigen lagi dan dinyatakan negatif.
Baca juga: Tips Cari Hotel Saat Pandemi: Prokes Ketat dan Bebas Tamu Isoman
Dengan kesadaran diri, ia menambah waktu isoman selama sepekan, hingga kondisinya benar-benar kembali pulih dan beraktivitas seperti biasanya. Tentunya tetap dengan menerapkan prokes penanganan Covid-19 secara ketat.
“Kadang-kadang masyarakat sudah takut duluan kalau ada yang Covid-19. Ternyata ada caranya, (masyarakat diberitahu) bagaimana menanganinya. Kemudian, (perangkat desa) keliling desa dan masjid diminta untuk mengingatkan warga agar selalu menggunakan masker ketika keluar rumah dan tidak berkerumun,” ujar dia.
Berbekal pengalamannya terkena Covid-19 itulah, Sonya Sanjaya kemudian berinisiatif untuk berkeliling desa sambil mengdukasi masyarakat tentang pentingnya protokol kesehatan. Aktivitas ini dijalaninya denganmenggunakan kendaraan bak terbuka, denganbersepeda motor ataukadang berjalan kaki.Selain dengan rekan karang taruna, Sonya juga menyosialisasikan Covid-19, pentingnya vaksinasi dan protokol kesehatan, bersama mahasiswa KKN dari salah satu kampus di Bandung, Jawa Barat.
(ynt)