Jangan Lengah! Corona Kini Masuk ke Desa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Saat bangun pagi di hari minggu pekan kedua Juni lalu, tubuh Sonya Sanjaya Nainggolan terasa pegal. Ia menganggap itu sesuatu yang biasa, karena sejak pandemi Covid-19 ia sudah lama tak beraktivitas. Cara sederhana diambilnya, minum obat warung untuk membuat badannya bugar kembali. Namun, sakitnya tak kunjung hilang.
Keesokan harinya, ia memutuskan berobat ke dokter di kampungnya di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Diagnosa dokter, Sonya hanya kelelahan. Dengan menggenggam obat dari dokter, ia berharap fisiknya segera pulih. Menjelang tengah malam, ia malah muntah-muntah. “Seumur hidup, baru kali ini sakit sampai muntah,” kenangnya saat berbincang dengan Koran SINDO, belum lama ini.
Sonya mengaku tak tau persis kapan dan di mana ia ketularan Covid-19. Sebagai Ketua Karang Taruna dirinya memang cukup aktif melakukan bakti sosial (baksos), membagikan masker, dan mengedukasi masyarakat untuk taat prokes. Pada masa awal pandemi, Desa Setu membagikan 5.000 masker. Gelombang kedua dan ketiga sebanyak 3.000 dan 1.500 buah. Pembagian dilakukan melalui perangkat rukun warga dan tetangga. Sebagian lagi, perangkat desa dan karang taruna membagikan di jalanan desa dan door to door ke rumah warga.
Setelah dirunut-runut, pria lulusan Universitas Pendidikan Bandung (UPI) Bandung itu menduga virus Sars Cov-II menjangkiti tubuhnya saat melakukan baksos di kecamatan tetangga, Cigudeg, untuk membantu warga korban banjir bandang pada 6 Juni 2021. Berdasarkan data Pikobar besutan Pemprov Jabar, total yang terkonfirmasi positif di wilayah itu sebanyak 217 orang dan 24 di antaranya kasus aktif. “Di situ ruang lingkupnya banyak berinteraksi dengan orang luar,” katanya.
Sonya bercerita, dirinya terdeteksi Covid-19 pada 16 Juni, saat ia dibawa orang tuanya ke klinik di Kota Bogor, yang berjarak sekitar 40 kilometer (km) dari kediamannya. “Selama 1,5 jam perjalanan, sekujur tubuh terasa ngilu dan kepala pusing seperti ditusuk-tusuk,” ucapnya.
Awalnya, dokter menduga Sonya menderita sakit tipes. Namun, dokter meminta pemeriksaan lanjutan, darah dan swab antigen. Rasa was-was mulai menghampiri. Terbayang sakitnya mulai mengarah ke Covid-19. Benar saja, selepas 30 menit menunggu, dokter menyatakan Sonya positif Covid-19.
Dengan segala pertimbangan, kedua orang tuanya meminta izin kepada dokter, agar Sonya bisa melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah. Dokter pun mengizinkan dengan catatan harus disiplin menggunakan masker, pakaian, tempat makan, dan minum terpisah.
Dokter membekali Sonya beberapa obat, seperti antibiotik, penurun panas, dan vitamin. Satu kemewahannya, kamar mandi di rumahnya ada dua jadi bisa terpisah dengan orang tua dan kedua adiknya. “Kalau saya mau ke kamar mandi, yang lain masuk kamar. Mereka baru keluar setelah 10-15 menit kemudian,” tuturnya.
Guru di SMAN I Jasinga ini mengaku sempat cemas saat memutuskan isoman. Alasannya, jauh dari peralatan medis dan tenaga kesehatan (nakes). Kedua orang tuanya pun saat melapor ke puskesmas setempat, pihak puskesmas hanya melakukan pendataan saja. Tidak melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
Selama menjalani isoman, seolah dunia Sonya terhenti. Ia hanya bisa berkutat di kamar berukuran 3x4 meter. Sepanjang mata memandang hanya ada dinding tembok, lemari, beberapa foto keluarga, dan jam dinding. Sumpek. Hiburan kecilnya hanya memandang ke luar jendela melihat tanaman yang biasa ia rawat. “Beratnya melawan jenuh,” ujarnya. Berselancar di dunia maya melalui ponsel pintar merupakan caranya membunuh sepi di tengah perlawanannya terhadap Covid-19.
Untuk mempercepat pemulihan, segala cara dilakukan di luar obat dari dokter. Kedua orang tuanya saban hari memasok aneka makanan dan minuman yang dipercaya bisa membantu penyembuhan, salah satunya, air kelapa dicampur madu dan lemon. “Ini juga berat karena lidah tak bisa merasakan apapun yang dikunyah,” keluhnya.
Untungnya, Juni itu kegiatan belajar mengajar (KBM) daring telah selesai. Tinggal penilaian terhadap hasil belajar para muridnya selama semester genap. Karena kondisi yang tak memungkinkan, tugasnya itu pun diambil alih oleh rekan kerjanya. Seminggu menjalani isoman, kondisi tubuhnya mulai membaik. Lidahnya mulai bisa merasakan makanan lagi.
Sempat berpikir untuk melakukan pemeriksaan kesehatan pada hari itu juga. Setelah mengontak klinik, ternyata dokter yang memeriksanya sedang isoman. Ia pun mengurungkan niat dan menambah isoman selama tiga hari lagi. Setelah 10 hari terkurung dalam kamar, Sonya menjalani tes antigen lagi dan dinyatakan negatif.
Baca juga: Tips Cari Hotel Saat Pandemi: Prokes Ketat dan Bebas Tamu Isoman
Dengan kesadaran diri, ia menambah waktu isoman selama sepekan, hingga kondisinya benar-benar kembali pulih dan beraktivitas seperti biasanya. Tentunya tetap dengan menerapkan prokes penanganan Covid-19 secara ketat.
“Kadang-kadang masyarakat sudah takut duluan kalau ada yang Covid-19. Ternyata ada caranya, (masyarakat diberitahu) bagaimana menanganinya. Kemudian, (perangkat desa) keliling desa dan masjid diminta untuk mengingatkan warga agar selalu menggunakan masker ketika keluar rumah dan tidak berkerumun,” ujar dia.
Berbekal pengalamannya terkena Covid-19 itulah, Sonya Sanjaya kemudian berinisiatif untuk berkeliling desa sambil mengdukasi masyarakat tentang pentingnya protokol kesehatan. Aktivitas ini dijalaninya denganmenggunakan kendaraan bak terbuka, denganbersepeda motor ataukadang berjalan kaki.Selain dengan rekan karang taruna, Sonya juga menyosialisasikan Covid-19, pentingnya vaksinasi dan protokol kesehatan, bersama mahasiswa KKN dari salah satu kampus di Bandung, Jawa Barat.
Keesokan harinya, ia memutuskan berobat ke dokter di kampungnya di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Diagnosa dokter, Sonya hanya kelelahan. Dengan menggenggam obat dari dokter, ia berharap fisiknya segera pulih. Menjelang tengah malam, ia malah muntah-muntah. “Seumur hidup, baru kali ini sakit sampai muntah,” kenangnya saat berbincang dengan Koran SINDO, belum lama ini.
Sonya mengaku tak tau persis kapan dan di mana ia ketularan Covid-19. Sebagai Ketua Karang Taruna dirinya memang cukup aktif melakukan bakti sosial (baksos), membagikan masker, dan mengedukasi masyarakat untuk taat prokes. Pada masa awal pandemi, Desa Setu membagikan 5.000 masker. Gelombang kedua dan ketiga sebanyak 3.000 dan 1.500 buah. Pembagian dilakukan melalui perangkat rukun warga dan tetangga. Sebagian lagi, perangkat desa dan karang taruna membagikan di jalanan desa dan door to door ke rumah warga.
Setelah dirunut-runut, pria lulusan Universitas Pendidikan Bandung (UPI) Bandung itu menduga virus Sars Cov-II menjangkiti tubuhnya saat melakukan baksos di kecamatan tetangga, Cigudeg, untuk membantu warga korban banjir bandang pada 6 Juni 2021. Berdasarkan data Pikobar besutan Pemprov Jabar, total yang terkonfirmasi positif di wilayah itu sebanyak 217 orang dan 24 di antaranya kasus aktif. “Di situ ruang lingkupnya banyak berinteraksi dengan orang luar,” katanya.
Sonya bercerita, dirinya terdeteksi Covid-19 pada 16 Juni, saat ia dibawa orang tuanya ke klinik di Kota Bogor, yang berjarak sekitar 40 kilometer (km) dari kediamannya. “Selama 1,5 jam perjalanan, sekujur tubuh terasa ngilu dan kepala pusing seperti ditusuk-tusuk,” ucapnya.
Awalnya, dokter menduga Sonya menderita sakit tipes. Namun, dokter meminta pemeriksaan lanjutan, darah dan swab antigen. Rasa was-was mulai menghampiri. Terbayang sakitnya mulai mengarah ke Covid-19. Benar saja, selepas 30 menit menunggu, dokter menyatakan Sonya positif Covid-19.
Dengan segala pertimbangan, kedua orang tuanya meminta izin kepada dokter, agar Sonya bisa melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah. Dokter pun mengizinkan dengan catatan harus disiplin menggunakan masker, pakaian, tempat makan, dan minum terpisah.
Dokter membekali Sonya beberapa obat, seperti antibiotik, penurun panas, dan vitamin. Satu kemewahannya, kamar mandi di rumahnya ada dua jadi bisa terpisah dengan orang tua dan kedua adiknya. “Kalau saya mau ke kamar mandi, yang lain masuk kamar. Mereka baru keluar setelah 10-15 menit kemudian,” tuturnya.
Guru di SMAN I Jasinga ini mengaku sempat cemas saat memutuskan isoman. Alasannya, jauh dari peralatan medis dan tenaga kesehatan (nakes). Kedua orang tuanya pun saat melapor ke puskesmas setempat, pihak puskesmas hanya melakukan pendataan saja. Tidak melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
Selama menjalani isoman, seolah dunia Sonya terhenti. Ia hanya bisa berkutat di kamar berukuran 3x4 meter. Sepanjang mata memandang hanya ada dinding tembok, lemari, beberapa foto keluarga, dan jam dinding. Sumpek. Hiburan kecilnya hanya memandang ke luar jendela melihat tanaman yang biasa ia rawat. “Beratnya melawan jenuh,” ujarnya. Berselancar di dunia maya melalui ponsel pintar merupakan caranya membunuh sepi di tengah perlawanannya terhadap Covid-19.
Untuk mempercepat pemulihan, segala cara dilakukan di luar obat dari dokter. Kedua orang tuanya saban hari memasok aneka makanan dan minuman yang dipercaya bisa membantu penyembuhan, salah satunya, air kelapa dicampur madu dan lemon. “Ini juga berat karena lidah tak bisa merasakan apapun yang dikunyah,” keluhnya.
Untungnya, Juni itu kegiatan belajar mengajar (KBM) daring telah selesai. Tinggal penilaian terhadap hasil belajar para muridnya selama semester genap. Karena kondisi yang tak memungkinkan, tugasnya itu pun diambil alih oleh rekan kerjanya. Seminggu menjalani isoman, kondisi tubuhnya mulai membaik. Lidahnya mulai bisa merasakan makanan lagi.
Sempat berpikir untuk melakukan pemeriksaan kesehatan pada hari itu juga. Setelah mengontak klinik, ternyata dokter yang memeriksanya sedang isoman. Ia pun mengurungkan niat dan menambah isoman selama tiga hari lagi. Setelah 10 hari terkurung dalam kamar, Sonya menjalani tes antigen lagi dan dinyatakan negatif.
Baca juga: Tips Cari Hotel Saat Pandemi: Prokes Ketat dan Bebas Tamu Isoman
Dengan kesadaran diri, ia menambah waktu isoman selama sepekan, hingga kondisinya benar-benar kembali pulih dan beraktivitas seperti biasanya. Tentunya tetap dengan menerapkan prokes penanganan Covid-19 secara ketat.
“Kadang-kadang masyarakat sudah takut duluan kalau ada yang Covid-19. Ternyata ada caranya, (masyarakat diberitahu) bagaimana menanganinya. Kemudian, (perangkat desa) keliling desa dan masjid diminta untuk mengingatkan warga agar selalu menggunakan masker ketika keluar rumah dan tidak berkerumun,” ujar dia.
Berbekal pengalamannya terkena Covid-19 itulah, Sonya Sanjaya kemudian berinisiatif untuk berkeliling desa sambil mengdukasi masyarakat tentang pentingnya protokol kesehatan. Aktivitas ini dijalaninya denganmenggunakan kendaraan bak terbuka, denganbersepeda motor ataukadang berjalan kaki.Selain dengan rekan karang taruna, Sonya juga menyosialisasikan Covid-19, pentingnya vaksinasi dan protokol kesehatan, bersama mahasiswa KKN dari salah satu kampus di Bandung, Jawa Barat.
(ynt)