Emansipatoris dalam Berkemanusiaan
loading...
A
A
A
Mega Waty
Direktur Program Indonesia Care
Ketua Umum PP Wanita Perisai
Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta
DUA tahun lamanya pandemi Covid-19 yang melanda dunia belum juga berakhir. Tak terkecuali, Indonesia menjadi negara penyumbang angka lonjakan pertumbuhan Covid-19 yang terus bertambah.
Pemberitaan media yang menurut LittleJohn sebagai komunikasi massa paling efektif dalam menyebarkan pesan kepada masyarakat, akhir-akhir ini fokus kepada angka penyebaran dan korban yang terpapar hingga meninggal akibat Covid-19. Hingar bingar politik ikut gaduh berkelakar ditengah pandemi yang belum tahu kapan berakhirnya.
Beberapa elit politik mengusul gagasan yang dinilai minim empati terhadap masyarakat yang turut terdampak Covid-19 secara luas. Belum lagi kondisi ekonomi yang melemahkan masyarakat menengah ke bawah. Tak luput kebijakan-kebijakan pemerintah yang memunculkan keresahan sosial, antara menekan laju pertumbuhan Covid-19 atau mengejar laju pertumbuhan ekonomi.
Beberapa gambaran kondisi diatas mungkin sedang kita rasakan bersama saat ini. Resah berkepanjangan mengisi pikiran dan hati, hingga terkadang telah sampai pada titik terendah. Rasanya ingin menyerah saja.
Lingkaran pertemanan dalam bentuk terkecil hingga terbesar, satu per satu terkena virus mematikan ini. Rumah sakit yang penuh dan oksigen yang langka dimana-mana seakan membawa kita untuk sama-sama membuka mata bahwa virus ini memang berbahaya dan kita harus tuntas dalam melawannya.
Beberapa suara lantang menyuarakan bahwa mereka lebih baik mati terpapar korona dibandingkan mati menahan lapar. Kondisi ini tentu sangat ironi bagi kita semua.
Benar adanya teori hierarki kebutuhan menurut Abraham Maslow, hierarki kebutuhan tingkat pertama yang harus dipenuhi adalah kebutuhan fisiologis berupa kebutuhan akan makanan, minuman, rumah, air, udara dan lain sebagainya. Lalu setelah itu ada hierarki kedua berupa keamanan dan keterjaminan.
Selanjutnya pada tingkat ketiga ada cinta dan kebersamaan, kemudian tingkat selanjutnya adalah penghargaan dan tingkatan terakhir adalah aktualisasi diri. Manusia membutuhkan lima kebutuhan tersebut. Tentu saja dengan melewati hierarki demi hierarki kebutuhan itu.
Tidak mungkin seorang manusia merasa aman dan terjamin jika hierarki kebutuhan paling dasarnya saja tidak terpenuhi. Dalam satu sisi mari kita tarik maklum yang panjang pada si penyuara lantang ini.
Kondisi mengharuskannya untuk memenuhi tingakatan kebutuhan yang paling dasar. Aturan atau kebijakan pemerintah tidak lagi menjadi sesuatu yang dapat diindahkan. Larangan dan sanksi tak menjadi soal asal perut dapat terisi kenyang.
Pada sisi yang lain, kita temui pemerintah dengan kebijakannya. Bukan tanpa maksud pastinya. Laju corona kian memusnahkan akal sehat bangsa. Wajar, jika segala upaya dilakukan demi mengentaskan wabah mematikan yang mendunia ini.
Tidak ada yang salah dengan vaksin, tidak ada yang salah dengan aturan ketat protokol kesehatan, tidak ada yang salah dengan pembatasan kegiatan darurat. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Paling tidak hal tersebut merupakan salah satu ikhtiar untuk menyempurnakan hasil.
Lantas bagaimana hasilnya? Kita tidak perlu menjadi seorang ahli ramal, mengandaikan sesuatu yang belum pasti terjadi. Pada dasarnya keinginan rakyat tentu sangat sederhana. Sesederhana perut kenyang yang harus terpenuhi, sesederhana dibolehkan mengais rezeki di tanah air sendiri, sesederhana keadilan yang harus diwujudkan dengan landasan butir-butir Pancasila yang menjadi dasar negara.
Saat ini kita telah berdiri diantara dua jurang pemisah yang jika kita tidak menjaga keseimbangan maka kita akan terjun bebas ke dalam salah satu jurang lainnya. Kita berdiri dengan dalih menyelamatkan ummat manusia dengan kontrol atas indikator kesehatan dan ekonomi secara bersamaan.
Perlu diingat, kebutuhan fisiologis manusia adalah hierarki dasar yang harus dituntaskan. Kesehatan dan ekonomi merupakan bagian dari kebutuhan fisiologis tersebut. Tidak dapat dipilih juga tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Kita tidak lagi membutuhkan proteksi image yang berlebihan. Tidak pula menjadikan image sebagai sarana bersaing untuk memperoleh keuntungan. Image tidak lagi menjadi barang mewah di tengah jutaan orang yang sekarat membutuhkan oksigen yang seharusnya gratis tetapi beralih fungsi menjadi kebutuhan mahal dan langka saat ini. Bukan lagi image yang dikonstruksi berulang kali oleh para elit kepentingan yang menjadikan bencana kemanusiaan ini sebagai panggung dalam menunjukkan eksploitasi terselubung.
Emansipasi kemanusiaan yang saat ini kita butuhkan. Tentu menjadikan diri bagian emansipatoris dalam berkemanusiaan tidaklah mudah. Kita harus benar-benar memaknai emansipasi yang dapat diukur dengan kesetaraan dan kemerdekaan atas hak yang kita miliki.
Kebebasan yang akan kita tukar menjadi sebanyak-banyaknya upaya saling memperbaiki, menguatkan dan menuntaskan masalah ini. Tidak cukup mengandalkan pemerintah. Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat, memang itulah tugas negara. Pemerintah selaku pengurus dalam suatu negara berkewajiban menuntaskannya. Negara harus menjamin kehidupan rakyatnya.
Emansipatoris dalam berkemanusiaan ini perlu didukung dan dilakukan oleh kemanusiaan kita sendiri tanpa terkecuali. Saling membantu dan menjaga empati harus menjadi modal utama dalam menggerakkan naluri dan langkah kita.
Kemerdekaan yang ada dalam diri kita, harus menjadi cambuk untuk keluar dari belenggu bencana kemanusiaan tak berkesudahan ini. Rakyat bantu rakyat. Itu adalah ungkapan yang tepat sebagai langkah awal memulai emansipatoris kemanusiaan kita. Tidak peduli apa, siapa dan bagaimana, kita harus saling menguatkan satu sama lain. Saling hibur, saling menebar energi positif dan saling menjaga harapan bahwa kita mampu melewatinya.
Dalam menjadi manusia kita harus mengemansipasi rasa kemanusiaan kita. Mencoba menempatkan seandainya saya menjadi dia, maka saya akan melakukan dan tidak boleh melakukan ini dan itu, adalah bentuk empati termudah namun butuh asah sepanjang usia.
Emansipasi membutuhkan daya juang dan trigger yang tepat sepanjang sejarah emansipasi dimulai. cukupkan kondisi pelik ini sebagai pemicu untuk kita bergerak bersama. Tentu dalam hal kemanusiaan, pemerintah dan pejabat publik sekalipun adalah manusia yang menghendaki rasa kemanusiaan kita terus bermetamorfosa, menjadi lebih sempurna.
Sejatinya, diri manusia memiliki kecenderungan kepada yang hanief. Terus pada kecenderungan untuk berbuat baik. Maka mulailah dari kemanusiaan kita terlebih dahulu. Emansipasi akan terus berlangsung sepanjang sejarah manusia yang mengkehendaki kemerdekaan dari belenggu apapun juga. Termasuk dogma dan belenggu yang memenjarakan kemanusiaan itu sendiri.
Lihat Juga: Dipimpin Gus Yaqut, Institute for Humanitarian Islam Bertekad Tebarkan Nilai Kemanusiaan di Dunia
Direktur Program Indonesia Care
Ketua Umum PP Wanita Perisai
Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta
DUA tahun lamanya pandemi Covid-19 yang melanda dunia belum juga berakhir. Tak terkecuali, Indonesia menjadi negara penyumbang angka lonjakan pertumbuhan Covid-19 yang terus bertambah.
Pemberitaan media yang menurut LittleJohn sebagai komunikasi massa paling efektif dalam menyebarkan pesan kepada masyarakat, akhir-akhir ini fokus kepada angka penyebaran dan korban yang terpapar hingga meninggal akibat Covid-19. Hingar bingar politik ikut gaduh berkelakar ditengah pandemi yang belum tahu kapan berakhirnya.
Beberapa elit politik mengusul gagasan yang dinilai minim empati terhadap masyarakat yang turut terdampak Covid-19 secara luas. Belum lagi kondisi ekonomi yang melemahkan masyarakat menengah ke bawah. Tak luput kebijakan-kebijakan pemerintah yang memunculkan keresahan sosial, antara menekan laju pertumbuhan Covid-19 atau mengejar laju pertumbuhan ekonomi.
Beberapa gambaran kondisi diatas mungkin sedang kita rasakan bersama saat ini. Resah berkepanjangan mengisi pikiran dan hati, hingga terkadang telah sampai pada titik terendah. Rasanya ingin menyerah saja.
Lingkaran pertemanan dalam bentuk terkecil hingga terbesar, satu per satu terkena virus mematikan ini. Rumah sakit yang penuh dan oksigen yang langka dimana-mana seakan membawa kita untuk sama-sama membuka mata bahwa virus ini memang berbahaya dan kita harus tuntas dalam melawannya.
Beberapa suara lantang menyuarakan bahwa mereka lebih baik mati terpapar korona dibandingkan mati menahan lapar. Kondisi ini tentu sangat ironi bagi kita semua.
Benar adanya teori hierarki kebutuhan menurut Abraham Maslow, hierarki kebutuhan tingkat pertama yang harus dipenuhi adalah kebutuhan fisiologis berupa kebutuhan akan makanan, minuman, rumah, air, udara dan lain sebagainya. Lalu setelah itu ada hierarki kedua berupa keamanan dan keterjaminan.
Selanjutnya pada tingkat ketiga ada cinta dan kebersamaan, kemudian tingkat selanjutnya adalah penghargaan dan tingkatan terakhir adalah aktualisasi diri. Manusia membutuhkan lima kebutuhan tersebut. Tentu saja dengan melewati hierarki demi hierarki kebutuhan itu.
Tidak mungkin seorang manusia merasa aman dan terjamin jika hierarki kebutuhan paling dasarnya saja tidak terpenuhi. Dalam satu sisi mari kita tarik maklum yang panjang pada si penyuara lantang ini.
Kondisi mengharuskannya untuk memenuhi tingakatan kebutuhan yang paling dasar. Aturan atau kebijakan pemerintah tidak lagi menjadi sesuatu yang dapat diindahkan. Larangan dan sanksi tak menjadi soal asal perut dapat terisi kenyang.
Pada sisi yang lain, kita temui pemerintah dengan kebijakannya. Bukan tanpa maksud pastinya. Laju corona kian memusnahkan akal sehat bangsa. Wajar, jika segala upaya dilakukan demi mengentaskan wabah mematikan yang mendunia ini.
Tidak ada yang salah dengan vaksin, tidak ada yang salah dengan aturan ketat protokol kesehatan, tidak ada yang salah dengan pembatasan kegiatan darurat. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Paling tidak hal tersebut merupakan salah satu ikhtiar untuk menyempurnakan hasil.
Lantas bagaimana hasilnya? Kita tidak perlu menjadi seorang ahli ramal, mengandaikan sesuatu yang belum pasti terjadi. Pada dasarnya keinginan rakyat tentu sangat sederhana. Sesederhana perut kenyang yang harus terpenuhi, sesederhana dibolehkan mengais rezeki di tanah air sendiri, sesederhana keadilan yang harus diwujudkan dengan landasan butir-butir Pancasila yang menjadi dasar negara.
Saat ini kita telah berdiri diantara dua jurang pemisah yang jika kita tidak menjaga keseimbangan maka kita akan terjun bebas ke dalam salah satu jurang lainnya. Kita berdiri dengan dalih menyelamatkan ummat manusia dengan kontrol atas indikator kesehatan dan ekonomi secara bersamaan.
Perlu diingat, kebutuhan fisiologis manusia adalah hierarki dasar yang harus dituntaskan. Kesehatan dan ekonomi merupakan bagian dari kebutuhan fisiologis tersebut. Tidak dapat dipilih juga tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Kita tidak lagi membutuhkan proteksi image yang berlebihan. Tidak pula menjadikan image sebagai sarana bersaing untuk memperoleh keuntungan. Image tidak lagi menjadi barang mewah di tengah jutaan orang yang sekarat membutuhkan oksigen yang seharusnya gratis tetapi beralih fungsi menjadi kebutuhan mahal dan langka saat ini. Bukan lagi image yang dikonstruksi berulang kali oleh para elit kepentingan yang menjadikan bencana kemanusiaan ini sebagai panggung dalam menunjukkan eksploitasi terselubung.
Emansipasi kemanusiaan yang saat ini kita butuhkan. Tentu menjadikan diri bagian emansipatoris dalam berkemanusiaan tidaklah mudah. Kita harus benar-benar memaknai emansipasi yang dapat diukur dengan kesetaraan dan kemerdekaan atas hak yang kita miliki.
Kebebasan yang akan kita tukar menjadi sebanyak-banyaknya upaya saling memperbaiki, menguatkan dan menuntaskan masalah ini. Tidak cukup mengandalkan pemerintah. Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat, memang itulah tugas negara. Pemerintah selaku pengurus dalam suatu negara berkewajiban menuntaskannya. Negara harus menjamin kehidupan rakyatnya.
Emansipatoris dalam berkemanusiaan ini perlu didukung dan dilakukan oleh kemanusiaan kita sendiri tanpa terkecuali. Saling membantu dan menjaga empati harus menjadi modal utama dalam menggerakkan naluri dan langkah kita.
Kemerdekaan yang ada dalam diri kita, harus menjadi cambuk untuk keluar dari belenggu bencana kemanusiaan tak berkesudahan ini. Rakyat bantu rakyat. Itu adalah ungkapan yang tepat sebagai langkah awal memulai emansipatoris kemanusiaan kita. Tidak peduli apa, siapa dan bagaimana, kita harus saling menguatkan satu sama lain. Saling hibur, saling menebar energi positif dan saling menjaga harapan bahwa kita mampu melewatinya.
Dalam menjadi manusia kita harus mengemansipasi rasa kemanusiaan kita. Mencoba menempatkan seandainya saya menjadi dia, maka saya akan melakukan dan tidak boleh melakukan ini dan itu, adalah bentuk empati termudah namun butuh asah sepanjang usia.
Emansipasi membutuhkan daya juang dan trigger yang tepat sepanjang sejarah emansipasi dimulai. cukupkan kondisi pelik ini sebagai pemicu untuk kita bergerak bersama. Tentu dalam hal kemanusiaan, pemerintah dan pejabat publik sekalipun adalah manusia yang menghendaki rasa kemanusiaan kita terus bermetamorfosa, menjadi lebih sempurna.
Sejatinya, diri manusia memiliki kecenderungan kepada yang hanief. Terus pada kecenderungan untuk berbuat baik. Maka mulailah dari kemanusiaan kita terlebih dahulu. Emansipasi akan terus berlangsung sepanjang sejarah manusia yang mengkehendaki kemerdekaan dari belenggu apapun juga. Termasuk dogma dan belenggu yang memenjarakan kemanusiaan itu sendiri.
Lihat Juga: Dipimpin Gus Yaqut, Institute for Humanitarian Islam Bertekad Tebarkan Nilai Kemanusiaan di Dunia
(poe)