Menjaga Keseimbangan di Antara Hegemoni AS-China
loading...
A
A
A
Mohammad Anthoni
Pengamat Hubungan Internasional
PERSAINGAN perebutan pengaruh atau hegemoni antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat China (RRC) di kawasan Asia Pasifik semakin tampak jelas dan menarik serta menjadi topik pembahasan dalam seminar oleh berbagai pusat kajian dan tulisan telaah.Misalnya, Pusat Studi Asia Tenggara (Center for Southeast Asian Studies/CSEAS) Indonesia, baru-baru ini menggelar webinar terkait potensi ancaman politik, ekonomi, dan keamanan terhadap negara-negara Asia seiring dengan meningkatnya hegemoni China. Webinar internasional itu bertema,”China’s Hegemony: Potential Political, Economic and Security Threats to Asian Countries”.
Para pakar dan pengamat mengemukakan pendapatnya bahwa AS yang selama in mengalami surplus power secara perlahan menurun sementara China naik secara sistematis. Proses pergeseran kekuasaan antara kedua negara itu seperti ayunan yang bergerak.
Dalam rentang tiga dekade belakangan, China telah berkembang dari negara terbelakang menuju posisi terdepan dalam urusan-urusan dunia. Tampak jelas negara ini berada di lintasan untuk meraih posisinya yang bersejarah sebagai ekonomi terbesar, menyingkirkan AS. China terus mengancam hegemoni AS di dunia secara umum dan di kawasan Asia Timur atau Asia Pasifik khususnya.
Senior Research Fellow dari CSEAS Veeramalla Anjaiah memaparkan sejarah pembentukan Partai Komunis China (CCP) 100 tahun lalu (23 Juli 1921) dan para tokohnya termasuk Mao Zedong. Tetapi CCP di bawah Presiden Xi Jinping merayakan ulang tahun ke-100 pada 1 Juli 2021.
Selama 72 tahun terakhir CCP telah mentransformasi China dari salah satu negara termiskin menjadi ekonomi terbesar kedua terbesar di dunia, kekuatan militer terbesar ketiga dan hegemoni global. Sebagai satu adidaya global yang sedang muncul, China, yang berpenduduk terbesar di dunia dengan 1,44 miliar jiwa, menjadi penantang dominasi AS sebagai adidaya saat ini.
Selama kurun waktu dari 1927 hingga 1979 China terlibat dalam berbagai konflik dan perang.
Menurut Anjaiah, kekayaan dalam bidang ekonomi tidak mengubah perilaku CCP. Aksi protes mahasiswa di Lapangan Tiananmen tahun 1989 ditumpas secara brutal. Jutaan Muslim Uighur dijebloskan ke dalam kamp-kamp konsentrasi dan gerakan demokratik juga dilibas di Hongkong.
“Dengan kekayaan dan kekuatan militer, China ingin mendominasi dunia dengan memperluas kekuatan dan pengaruhnya,” katanya. Dia merujuk kepada Belt and Road Initiative (BRI) yang mencakup 68 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan dengan rencana investasi ditaksir sebesar 1 juta triliun. Berdasarkan program BRI China dengan agresif menyediakan pinjaman dan menanam modal dalam berbagai proyek infrastruktur di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya di bawah program BRI. Dikatakannya, Indonesia harus hati-hati untuk menghindari pengalaman-pengalaman Sri Lanka, Pakistan dan Kamboja.
Kini China mulai secara terbuka menyatakan bahwa dengan kekuatan ekonominya, ia akan berupaya mendapatkan status sebagai great power. China berhasil membuktikan bahwa pemerintahannya sangat stabil dengan jaringan diplomatik dan ekonomi globalnya yang menjelajah dunia.
Paradoks
Terdapat paradoks menarik dalam hubungan rivalitas antara AS dan China selama ini. Apabila dibandingkan dengan masa Perang Dingin, kontestasi politik dan ideologi antara AS dan Uni Soviet dahulu berlangsung secara transparan. Artinya masing-masing negara memang secara terbuka menyatakan terdapat “benturan kepentingan” satu sama lain.
Hal yang berbeda justru terjadi dengan China. AS selalu menempatkan China dalam posisi “mitra strategis” perdagangan dan kerja sama ekonomi internasional sekaligus juga di sisi yang lain dianggap menjadi “ancaman” dalam kepentingan keamanan. Paradoks ini bisa terlihat sejak kebijakan Asia Pivot pada masa pemerintahan Obama.Obama berulang kali menyatakan bahwa Asia Pivot akan merupakan strategi untuk menahan pengaruh China di kawasan. Di sisi lain, para pejabat China juga menyatakan berulang kali bahwa mereka tidak punya niat untuk menghalangi kepentingan AS di Asia (Bendini 2016).
Kedua negara bagaimanapun tentu memiliki starategi politik yang berbeda dan tampaknya cenderung “menyembunyikan”adanya kepentingan yang berbeda tersebut.
Beberapa contoh kebijakan AS lain juga mencerminkan paradoks ini. Pengerahan pasukan militer AS secara permanen di Australia serta upaya AS untuk mendiskusikan masalah Laut China Selatan dalam forum multilateral ASEAN Summit dianggap merupakan upaya untuk “membendung” China. Selain itu penguatan kapabilitas militer lima negara aliansi di kawasan Asia-Pasifik serta penyesuaian posisi pangkalan militer di sekitar wilayah China untuk menyangkal bahwa kebijakan ini tidak mengarah kepada upaya pembendungan kekuatan China.
Dengan kebangkitan China, hubungan Sino-AS telah menjadi semakin penting dan mungkin berbahaya bagi stabilitas keamanan kawasan. Kontestasi politik dan keamanan yang sudah usai dengan berakhirnya Perang Dingin, secara langsung belum mampu – secara lama – menjadikan AS sebagai negara adi daya yang selalu bisa mangatur dunia secara “tunggal”. Hadinya China memberikan alternatif dalam interaksi keamanan regional. Akibatnya pergeseran ini memicu perdebatan kontemporer bagaimana mengelola konflik dan hegemoni antar dua kekuatan tersebut (Al Syahrin, 2018).
Director of the New Zealand Contemporary China Research Center, Victoria University, Dr Jason Young mengatakan dalam webinar CSEAS, karena persaingan antara China dan AS untuk hegemoni regional di Asia, negara-negara Asia tidak boleh bergabung hanya dengan satu kekuatan besar. Mereka harus melibatkan keduanya dan menjaga keseimbangan.
"Ancaman terhadap negara-negara Asia, dalam hal munculnya China sebagai kekuatan besar dan persaingan kekuatan besar untuk hegemoni di kawasan, adalah jika Asia menjadi Asia tanpa Amerika Serikat, itu akan menjadi luar biasa bermasalah. Karena tidak akan ada kekuatan besar untuk menyeimbangkan China,” kata Young.
Peningkatan persaingan perebutan pengaruh di Asia Pasifik antara AS dan China hendaknya tidak mengurangi atau mengubah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
Sikap Indonesia, sebagai salah satu negara di Asia harus jelas jangan terperangkap sampai masuk dalam kekuatan baik China maupun AS, tanpa mengurangi manfaat ekonomi bagi Indonesia dari persaingan pengaruh tersebut.
Pengamat Hubungan Internasional
PERSAINGAN perebutan pengaruh atau hegemoni antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat China (RRC) di kawasan Asia Pasifik semakin tampak jelas dan menarik serta menjadi topik pembahasan dalam seminar oleh berbagai pusat kajian dan tulisan telaah.Misalnya, Pusat Studi Asia Tenggara (Center for Southeast Asian Studies/CSEAS) Indonesia, baru-baru ini menggelar webinar terkait potensi ancaman politik, ekonomi, dan keamanan terhadap negara-negara Asia seiring dengan meningkatnya hegemoni China. Webinar internasional itu bertema,”China’s Hegemony: Potential Political, Economic and Security Threats to Asian Countries”.
Para pakar dan pengamat mengemukakan pendapatnya bahwa AS yang selama in mengalami surplus power secara perlahan menurun sementara China naik secara sistematis. Proses pergeseran kekuasaan antara kedua negara itu seperti ayunan yang bergerak.
Dalam rentang tiga dekade belakangan, China telah berkembang dari negara terbelakang menuju posisi terdepan dalam urusan-urusan dunia. Tampak jelas negara ini berada di lintasan untuk meraih posisinya yang bersejarah sebagai ekonomi terbesar, menyingkirkan AS. China terus mengancam hegemoni AS di dunia secara umum dan di kawasan Asia Timur atau Asia Pasifik khususnya.
Senior Research Fellow dari CSEAS Veeramalla Anjaiah memaparkan sejarah pembentukan Partai Komunis China (CCP) 100 tahun lalu (23 Juli 1921) dan para tokohnya termasuk Mao Zedong. Tetapi CCP di bawah Presiden Xi Jinping merayakan ulang tahun ke-100 pada 1 Juli 2021.
Selama 72 tahun terakhir CCP telah mentransformasi China dari salah satu negara termiskin menjadi ekonomi terbesar kedua terbesar di dunia, kekuatan militer terbesar ketiga dan hegemoni global. Sebagai satu adidaya global yang sedang muncul, China, yang berpenduduk terbesar di dunia dengan 1,44 miliar jiwa, menjadi penantang dominasi AS sebagai adidaya saat ini.
Selama kurun waktu dari 1927 hingga 1979 China terlibat dalam berbagai konflik dan perang.
Menurut Anjaiah, kekayaan dalam bidang ekonomi tidak mengubah perilaku CCP. Aksi protes mahasiswa di Lapangan Tiananmen tahun 1989 ditumpas secara brutal. Jutaan Muslim Uighur dijebloskan ke dalam kamp-kamp konsentrasi dan gerakan demokratik juga dilibas di Hongkong.
“Dengan kekayaan dan kekuatan militer, China ingin mendominasi dunia dengan memperluas kekuatan dan pengaruhnya,” katanya. Dia merujuk kepada Belt and Road Initiative (BRI) yang mencakup 68 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan dengan rencana investasi ditaksir sebesar 1 juta triliun. Berdasarkan program BRI China dengan agresif menyediakan pinjaman dan menanam modal dalam berbagai proyek infrastruktur di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya di bawah program BRI. Dikatakannya, Indonesia harus hati-hati untuk menghindari pengalaman-pengalaman Sri Lanka, Pakistan dan Kamboja.
Kini China mulai secara terbuka menyatakan bahwa dengan kekuatan ekonominya, ia akan berupaya mendapatkan status sebagai great power. China berhasil membuktikan bahwa pemerintahannya sangat stabil dengan jaringan diplomatik dan ekonomi globalnya yang menjelajah dunia.
Paradoks
Terdapat paradoks menarik dalam hubungan rivalitas antara AS dan China selama ini. Apabila dibandingkan dengan masa Perang Dingin, kontestasi politik dan ideologi antara AS dan Uni Soviet dahulu berlangsung secara transparan. Artinya masing-masing negara memang secara terbuka menyatakan terdapat “benturan kepentingan” satu sama lain.
Hal yang berbeda justru terjadi dengan China. AS selalu menempatkan China dalam posisi “mitra strategis” perdagangan dan kerja sama ekonomi internasional sekaligus juga di sisi yang lain dianggap menjadi “ancaman” dalam kepentingan keamanan. Paradoks ini bisa terlihat sejak kebijakan Asia Pivot pada masa pemerintahan Obama.Obama berulang kali menyatakan bahwa Asia Pivot akan merupakan strategi untuk menahan pengaruh China di kawasan. Di sisi lain, para pejabat China juga menyatakan berulang kali bahwa mereka tidak punya niat untuk menghalangi kepentingan AS di Asia (Bendini 2016).
Kedua negara bagaimanapun tentu memiliki starategi politik yang berbeda dan tampaknya cenderung “menyembunyikan”adanya kepentingan yang berbeda tersebut.
Beberapa contoh kebijakan AS lain juga mencerminkan paradoks ini. Pengerahan pasukan militer AS secara permanen di Australia serta upaya AS untuk mendiskusikan masalah Laut China Selatan dalam forum multilateral ASEAN Summit dianggap merupakan upaya untuk “membendung” China. Selain itu penguatan kapabilitas militer lima negara aliansi di kawasan Asia-Pasifik serta penyesuaian posisi pangkalan militer di sekitar wilayah China untuk menyangkal bahwa kebijakan ini tidak mengarah kepada upaya pembendungan kekuatan China.
Dengan kebangkitan China, hubungan Sino-AS telah menjadi semakin penting dan mungkin berbahaya bagi stabilitas keamanan kawasan. Kontestasi politik dan keamanan yang sudah usai dengan berakhirnya Perang Dingin, secara langsung belum mampu – secara lama – menjadikan AS sebagai negara adi daya yang selalu bisa mangatur dunia secara “tunggal”. Hadinya China memberikan alternatif dalam interaksi keamanan regional. Akibatnya pergeseran ini memicu perdebatan kontemporer bagaimana mengelola konflik dan hegemoni antar dua kekuatan tersebut (Al Syahrin, 2018).
Director of the New Zealand Contemporary China Research Center, Victoria University, Dr Jason Young mengatakan dalam webinar CSEAS, karena persaingan antara China dan AS untuk hegemoni regional di Asia, negara-negara Asia tidak boleh bergabung hanya dengan satu kekuatan besar. Mereka harus melibatkan keduanya dan menjaga keseimbangan.
"Ancaman terhadap negara-negara Asia, dalam hal munculnya China sebagai kekuatan besar dan persaingan kekuatan besar untuk hegemoni di kawasan, adalah jika Asia menjadi Asia tanpa Amerika Serikat, itu akan menjadi luar biasa bermasalah. Karena tidak akan ada kekuatan besar untuk menyeimbangkan China,” kata Young.
Peningkatan persaingan perebutan pengaruh di Asia Pasifik antara AS dan China hendaknya tidak mengurangi atau mengubah politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
Sikap Indonesia, sebagai salah satu negara di Asia harus jelas jangan terperangkap sampai masuk dalam kekuatan baik China maupun AS, tanpa mengurangi manfaat ekonomi bagi Indonesia dari persaingan pengaruh tersebut.
(bmm)