Pesan ST Burhanuddin ke Jajarannya Soal Penegakan Hukum ke Rakyat Kecil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jaksa Agung, ST Burhanuddin menyampaikan pesan penting kepada jajarannya saat acara Peringatan Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-61 pada 22 Juli lalu. Bahwa dalam situasi sulit saat ini, hukum jangan menjadi alat pemiskinan bagi rakyat kecil.
Korps Adhyaksa diingatkan juga agar menggunakan hati nurani jika terpaksa harus menindak masyarakat yang tidak mematuhi ketentuan PPKM. “Kenakan sanksi yang tegas namun terukur dan pastikan sanksi mampu memberikan efek jera. Terapkanlah tuntutan yang proporsional berdasarkan hati nurani," tuturnya.
Dia menjelaskan, peran Kejaksaan sebagai aparat penegakan hukum semata-mata tidak lagi berorientasi pada kepastian dan keadilan, melainkan harus mampu memberikan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
Kata dia, kejaksaan dalam menjalankan kewenangan penegakan hukum tidak boleh terjebak dalam terali kepastian hukum dan keadilan prosedural semata sehingga mengabaikan keadilan substansial yang sejatinya menjadi tujuan utama dari hukum itu sendiri.
“Perlu diingat equm et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum),” kata Jaksa Agung.
Dia pun menekankan bahwa rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP ataupun KUHAP, melainkan ada dalam hati nurani. Pesan-pesan tersebut disampaikan Jaksa Agung dalam berbagai kesempatan dan diimplementasikan oleh jajaran Kejaksaan di seluruh daerah, antara lain kegiatan sosial, pembagian sembako, vaksinasi, hingga mengangkut tabung oksigen ke rumah sakit.
Langkah Burhanuddin menerapkan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perkara tindak pidana juga mencerminkan sisi humanis kejaksaan.
Definisi keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pada pembalasan.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, cepat sederhana dan biaya ringan.
Kebijakan Restorative Justice melalui Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 yang diundangkan pada 22 Juli 2021 diharapkan mampu menyelesaikan perkara tindak pidana ringan (Tipiring) selesai tanpa ke meja hijau.
Lebih dari 300 perkara telah dihentikan Jaksa di seluruh Tanah Air sejak dikeluarkannya Perja itu. Perja ini diterbitkan untuk merestorasi kondisi ke semula sebelum terjadi kerusakan yang ditimbulkan oleh perilaku seseorang (tersangka).
Adapun syarat-syarat bagi orang yang ‘berhak’ menerima restorative justice, yakni tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan, kerugian di bawah Rp2,5 juta, dan adanya kesepakatan antara pelaku dan korban.
Perja ini juga mencoba untuk meminimalisir over capacity Lapas yang menjadi momok bagi Lapas di Indonesia. Selain itu, muatan Perja ini terkandung tujuan untuk meminimalisir penyimpangan kekuasaan penuntutan serta memulihkan kondisi sosial secara langsung di masyarakat.
Ini juga menjadi salah satu kebijakan dalam menjawab keresahan publik tentang hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas yang selama ini seolah menjadi kelaziman. Peraturan ini adalah salah satu inovasi dari Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memberikan kepastian hukum bagi kalangan masyarakat biasa.
Kebijakan ini juga digaungkan ST Burhanuddin di level internasional. Dalam acara bertema Integrated Approaches to Challenges Facing the Criminal Justice System, ST Burhanuddin menyampaikan metode restorative justice dalam peradilan pidana Indonesia merupakan pendekatan terintegrasi dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga penjatuhan putusan pengadilan.
Dia menyampaikan bahwa restorative justice dapat mempersingkat proses peradilan yang berkepanjangan serta menyelesaikan isu kelebihan kapasitas narapidana di lembaga pemasyarakatan. Melihat capaian tersebut, pilar reformasi di tubuh Kejaksaan Agung kembali berdiri.
Kendati demikian, dibutuhkan peran serta masyarakat untuk mengawal kembalinya marwah kejaksaan. “Saya tidak menghendaki kalian melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP ataupun KUHAP melainkan ada dalam hati nurani kalian. Camkan itu!,” kata Burhanuddin. Baca juga: Kejagung Akan Beri Pendampingan Hukum ke Pelaksana Vaksinasi Berbayar
Itulah instruksi tegas Jaksa Agung ST Burhanuddin kepada segenap jajaran dan anak buahnya untuk dipedomani dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang penuntutannya.
Korps Adhyaksa diingatkan juga agar menggunakan hati nurani jika terpaksa harus menindak masyarakat yang tidak mematuhi ketentuan PPKM. “Kenakan sanksi yang tegas namun terukur dan pastikan sanksi mampu memberikan efek jera. Terapkanlah tuntutan yang proporsional berdasarkan hati nurani," tuturnya.
Dia menjelaskan, peran Kejaksaan sebagai aparat penegakan hukum semata-mata tidak lagi berorientasi pada kepastian dan keadilan, melainkan harus mampu memberikan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
Kata dia, kejaksaan dalam menjalankan kewenangan penegakan hukum tidak boleh terjebak dalam terali kepastian hukum dan keadilan prosedural semata sehingga mengabaikan keadilan substansial yang sejatinya menjadi tujuan utama dari hukum itu sendiri.
“Perlu diingat equm et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum),” kata Jaksa Agung.
Dia pun menekankan bahwa rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP ataupun KUHAP, melainkan ada dalam hati nurani. Pesan-pesan tersebut disampaikan Jaksa Agung dalam berbagai kesempatan dan diimplementasikan oleh jajaran Kejaksaan di seluruh daerah, antara lain kegiatan sosial, pembagian sembako, vaksinasi, hingga mengangkut tabung oksigen ke rumah sakit.
Langkah Burhanuddin menerapkan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perkara tindak pidana juga mencerminkan sisi humanis kejaksaan.
Definisi keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pada pembalasan.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, cepat sederhana dan biaya ringan.
Kebijakan Restorative Justice melalui Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 yang diundangkan pada 22 Juli 2021 diharapkan mampu menyelesaikan perkara tindak pidana ringan (Tipiring) selesai tanpa ke meja hijau.
Lebih dari 300 perkara telah dihentikan Jaksa di seluruh Tanah Air sejak dikeluarkannya Perja itu. Perja ini diterbitkan untuk merestorasi kondisi ke semula sebelum terjadi kerusakan yang ditimbulkan oleh perilaku seseorang (tersangka).
Adapun syarat-syarat bagi orang yang ‘berhak’ menerima restorative justice, yakni tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan, kerugian di bawah Rp2,5 juta, dan adanya kesepakatan antara pelaku dan korban.
Perja ini juga mencoba untuk meminimalisir over capacity Lapas yang menjadi momok bagi Lapas di Indonesia. Selain itu, muatan Perja ini terkandung tujuan untuk meminimalisir penyimpangan kekuasaan penuntutan serta memulihkan kondisi sosial secara langsung di masyarakat.
Ini juga menjadi salah satu kebijakan dalam menjawab keresahan publik tentang hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas yang selama ini seolah menjadi kelaziman. Peraturan ini adalah salah satu inovasi dari Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk memberikan kepastian hukum bagi kalangan masyarakat biasa.
Kebijakan ini juga digaungkan ST Burhanuddin di level internasional. Dalam acara bertema Integrated Approaches to Challenges Facing the Criminal Justice System, ST Burhanuddin menyampaikan metode restorative justice dalam peradilan pidana Indonesia merupakan pendekatan terintegrasi dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga penjatuhan putusan pengadilan.
Dia menyampaikan bahwa restorative justice dapat mempersingkat proses peradilan yang berkepanjangan serta menyelesaikan isu kelebihan kapasitas narapidana di lembaga pemasyarakatan. Melihat capaian tersebut, pilar reformasi di tubuh Kejaksaan Agung kembali berdiri.
Kendati demikian, dibutuhkan peran serta masyarakat untuk mengawal kembalinya marwah kejaksaan. “Saya tidak menghendaki kalian melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP ataupun KUHAP melainkan ada dalam hati nurani kalian. Camkan itu!,” kata Burhanuddin. Baca juga: Kejagung Akan Beri Pendampingan Hukum ke Pelaksana Vaksinasi Berbayar
Itulah instruksi tegas Jaksa Agung ST Burhanuddin kepada segenap jajaran dan anak buahnya untuk dipedomani dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang penuntutannya.
(kri)