Kasus Jiwasraya, Majelis Hakim Dinilai Keliru Tafsirkan Pasal 19 UU Tipikor

Selasa, 20 Juli 2021 - 21:17 WIB
loading...
Kasus Jiwasraya, Majelis Hakim Dinilai Keliru Tafsirkan Pasal 19 UU Tipikor
Majelis hakim PN Tipikor dinilai keliru menafsirkan Pasal 19 UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi, yang mengatur perlindungan hukum pihak ketiga. Foto/SINDOnews/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Majelis hakim PN Tipikor dinilai keliru dalam menafsirkan Pasal 19 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, yang mengatur soal perlindungan hukum pihak ketiga yang beritikad baik dalam suatu tindak pidana korupsi.



Alasan penolakan majelis hakim karena gugatan-gugatan keberatan tersebut dianggap prematur, dimana putusan perkara pokok belum memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht).

"Jadi dalam hal ini majelis hakim menafsirkan permohonan keberatan baru bisa diajukan setelah adanya keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap," ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Surabaya itu, saat dihubungi Selasa (20/07/2021).

Padahal, dalam pasal 19 UU Tipikor ayat 2 disebutkan bahwa gugatan keberatan pihak ketiga yang beritikad baik, bisa diajukan paling lambat 2 bulan setelah putusan pengadilan “dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum”.

Dalam konteks hukum acara pidana, kalimat “dibacakan” mengacu pada sidang perkara pokok pidana di Pengadilan Negeri. Sedangkan putusan pengadilan tinggi dan kasasi menggunakan istilah "diberitahukan".

“Selain itu dalam putusan banding ataupun kasasi tidak ada sidang pengadilan (terbuka) seperti di pengadilan negeri,” ujarnya.

Diakui penggunaan pasal 19 UU Tipikor termasuk hal yang baru dalam praktek peradilan di Indonesia. Sehingga dalam penerapannya pun bisa menimbulkan multitafsir.

Namun yang jelas, menurutnya, pengertian dalam ayat 2 pasal 19 UU Tipikor mengacu pada putusan sidang pengadilan tingkat pertama atau pengadilan negeri.

“Sebab bisa terjadi misalnya, dalam hal ini jaksa maupun terdakwa (dalam perkara pokok) tidak mengajukan banding, dengan sendirinya putusan tersebut menjadi Inkracht. Sepanjang tidak melewati 2 bulan, pihak ketiga dapat mengajukan permohonan keberatan,” tambahnya.

Di sisi lain, jika gugatan keberatan hanya bisa diajukan setelah adanya kekuatan hukum tetap, artinya pengadilan telah merampas atau mengurangi hak pihak ketiga untuk menikmati atau menggunakan aset-asetnya.

“Dengan menunggu putusan inkracht untuk mengajukan keberatan, berarti majelis hakim di pengadilan telah mengurangi hak pihak ketiga untuk menikmati barang miliknya sendiri,” tambahnya.

Perkara gugatan keberatan oleh pihak ketiga kembali mencuat setelah majelis hakim PN Tipikor menolak seluruh gugatan keberatan yang diajukan pihak ketiga dalam kasus megakorupsi Jiwasraya.

Terakhir, pada hari Senin 19 Juli kemarin PN Tipikor juga menolak gugatan dari sejumlah pihak yang merasa dirugikan dalam kasus Jiwasraya.

Setidaknya ada lebih dari 100 gugatan keberatan yang masuk ke PN Tipikor. Termasuk gugatan yang dilayangkan oleh ribuan nasabah pemegang polis asuransi Wana Artha yang sub rekening efek-nya ikut disita penyidik kejaksaan.

Para penggugat, yakni pihak ketiga yang dinilai tidak terkait dengan perkara ini mengajukan keberatan karena merasa dirugikan setelah asetnya ikut disita dalam perkara korupsi Jiwasraya.

Terhadap putusan penolakan oleh majelis hakim tipikor ini, Profesor Nur Basuki mengatakan, pihak ketiga yang mengajukan keberatan bisa mengajukan kasasi untuk memperjuangkan haknya.

Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam ayat 5 pasal 19 UU Tipikor dimana penetapan hakim atas surat keberatan tersebut, dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pemohon maupun penuntut umum.

Namun ini pun berpotensi menimbulkan masalah baru. Apakah misalnya putusan kasasi ini akan membatalkan putusan PN. Dan bagaimana hakim pengadilan kasasi melakukan penilaian karena putusan majelis hakim PN tipikor itu sendiri belum memeriksa alat bukti yang diajukan pemohon maupun termohon.

Sebab diakui memang belum ada ketentuan dan aturan yang lebih jelas terkait pelaksanaan hal itu.
Karena itu saran saya, dalam hal ini kita harus memahami secara komprehensif ketentuan dalam pasal 19 UU Tipikor ini, dimana pasal ini dibuat untuk melindungi hak pihak ketiga yang beriktikad baik atas aset mereka yang ikut tersita dalam suatu perkara tindak pidana korupsi, tutupnya.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1537 seconds (0.1#10.140)