Darurat Covid-19 Mengetuk Perikemanusiaan Kita
loading...
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum UNPAD
KETIKA sistem kesehatan berpotensi gagal memberi layanan kepada semua pasien akibat lonjakan jumlah orang sakit (functional collapse) di setiap rumah sakit, fakta ini menjadi pertanda bahwa situasinya benar-benar darurat. Suasana kebatinan pun begitu sulit dilukiskan dengan kata karena ratusan kematian per hari tak bisa dicegah, di tengah lonjakan kasus baru Covid-19 yang mencapai puluhan ribu. Krisis kesehatan yang tereskalasi sekarang ini hendaknya menjadi panggilan bagi semua orang sehat untuk mengejawantahkan perikemanusiaan bagi mereka yang menderita.
Situasi sekarang tak cukup disikapi dengan kepekaan dan prihatin, melainkan peduli dan keberanian siapa saja untuk segera bertindak atau menolong (sense of crisis). Agar semua orang mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang situasi darurat sekarang ini, patutlah untuk mengacu pada pengumuman kematian puluhan pasien Covid-19 di RSUP Sardjito, Yogyakarta, serta pesan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang potensi sistem kesehatan mengalami ketidakmampuan melayani semua pasien.
Sebagaimana laporan dan penjelasan resmi manajemen RSUP Dr Sardjito, terhitung sejak Sabtu (3/7) pukul 20.00 WIB sampai Minggu (4/7) pagi, tercatat 33 pasien Covid-19 meninggal karena RSUP itu kehabisan atau kekurangan stok oksigen. Sebelumnya, ada pasien di Jakarta pun tak tertolong karena terlambat mendapatkan perawatan akibat rumah sakit penuh disesaki pasien Covid-19. Fakta di RSUP Sardjito Yogyakarta itu praktis membenarkan pernyataan dan pesan dari IDI tentang lonjakan tajam jumlah pasien Covid-19 akhir-akhir ini yang sudah sangat membebani sistem kesehatan. IDI mengingatkan, situasi saat ini benar-benar mengkhawatirkan karena sejumlah fasilitas kesehatan berpotensi mengalami functional collapse atau tidak mampu memberi layanan kepada semua pasien.
Menanggapi keadaan itu, Presiden Joko Widodo menginstruksikan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah membuat tempat isolasi untuk pasien Covid-19. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga mendorong pemerintah daerah (pemda) mendirikan rumah sakit lapangan untuk menambah tempat perawatan pasien Covid-19. Kementerian PUPR kemudian menyiapkan 14 rumah sakit darurat sebagai tambahan.
Namun, gerak cepat dari pemerintah itu ternyata belum cukup untuk menutup semua kebutuhan yang sangat mendesak. Masalah dan tantangan riilnya bukan sekadar kebutuhan ruang dan tempat tidur untuk merawat pasien, tetapi juga menipisnya stok alat-alat kesehatan, obat-obatan, hingga jumlah dokter dan perawat yang nyata-nyata menjadi sangat terbatas, atau tidak berimbang, akibat lonjakan tajam jumlah pasien pada semua rumah sakit rujukan.
Maka, kejadian fatal sebagaimana yang terjadi di RSUP Sardjito pun tak terhindarkan. Situasi yang demikian menyebabkan angka kematian akibat Covid-19 di dalam negeri juga mengalami peningkatan. Pada 15-16 Juli 2021, misalnya, tercatat 1.205 orang pasien yang meninggal dunia karena Covid -19. Total pasien Covid-19 di Indonesia yang meninggal dunia sudah melampaui jumlah 70.000-an jiwa.
Kini, tantangan bersama di tengah darurat COVID-19 sudah jelas. Setelah pemerintah menambah belasan rumah sakit darurat, persoalan berikutnya yang harus segera dikerjakan adalah pengadaan alat-alat kesehatan dan obat-obatan dalam jumlah yang memadai. Siapa pun yang memiliki akses untuk pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan tentu sangat diharapkan kontribusinya. Selain itu, problem penambahan tenaga dokter dan tenaga perawat pun harus segera dicarikan jalan keluarnya. Ini problem nyata. Contoh kasusnya adalah keluhan Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Jumlah tenaga kesehatan (nakes) di Tangerang Selatan terus berkurang karena banyak nakes juga terpapar Covid-19 dan harus menjalani perawatan. Sekitar 33% atau 180 nakes di kota itu dilaporkan terinfeksi Covid-19. Sebelumnya, Pemkot Tangerang juga telah meminta bantuan pemerintah pusat untuk segera memasok obat-obatan dan oksigen.
Jadi, situasi sekarang memanggil semua orang yang sehat untuk memberi pertolongan kepada mereka yang menderita. Semua orang dipanggil untuk mengejawantahkan perikemanusiaan. Sekecil apa pun bantuan yang bisa diberikan pasti sangat bermanfaat bagi mereka yang menderita. Jumlah kasus Covid-19 di dalam negeri hingga Sabtu (17/7) terbilang 2,78 juta. Namun, jumlah orang yang menderita akibat sebaran kasus yang terus meluas mencapai puluhan juta orang, karena ragam kegiatan produktif masyarakat harus dihentikan sejalan dengan penerapan PPKM darurat.
Kalaupun tidak bisa membantu, minimal menunjukan empati kepada mereka yang menderita. Berempati pada penderitaan orang lain berarti mau menahan diri untuk tidak membuat gaduh ruang publik di tengah situasi darurat seperti sekarang. Tidak juga nyinyir atau menyemburkan kritik-kritik tidak proporsional hanya karena ingin menunjukkan diri sendiri paling benar. Sangat bijak jika semua pihak mau memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pemerintah, para dokter, nakes, dan para relawan untuk merespons situasi darurat sekarang ini sejalan dengan strategi yang sudah ditetapkan. Kalaupun ada kekurangan atau kelemahan, suarakanlah dengan kritik yang konstruktif dan solutif.
Para elite dan pemerhati mungkin layak memaknai aksi sejumlah orang biasa-biasa saja dalam merespons situasi darurat sekarang ini. Mereka tidak bersuara, tetapi lebih memilih langsung berbuat untuk menolong mereka yang menderita. Mereka adalah contoh orang biasa yang lebih mengedepankan naluri perikemanusiaannya.
Di Jakarta, seorang warga merelakan rumahnya di Cilandak Barat menjadi tempat Isolasi pasien Covid-19. Di Bandung, seorang warga di RW 1/RT 2 Kelurahan Kacapiring juga ikhlas memberi rumahnya untuk dijadikan tempat isolasi mandiri bagi warga sekitar yang terpapar Covid-19. Masih di Bandung, seorang pedagang bubur ayam menyediakan hidangan gratis bagi mereka yang menjalani isolasi mandiri. Pedagang bubur ini tergerak menolong setelah melihat ibu-ibu majelis taklim bergotong-royong menyediakan konsumsi bagi warga yang terpapar Covid-19.
Di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, para relawan dan ibu-ibu PKK bergotong-royong membangun dapur umum di tiga titik. Mereka menyediakan ribuan nasi kotak untuk diberikan kepada pasien Covid-19 yang tengah menjalani isolasi mandiri. Di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, seorang warga setempat pun terpanggil membantu sesama yang sedang menjalani isolasi mandiri. Dia menyiapkan dan mengirimkan makanan berupa soto untuk warga yang sedang menjalani isolasi mandiri. Tentu saja masih banyak aksi-aksi sosial yang dikerjakan masyarakat untuk menolong mereka yang menderita, namun tidak terekspos media. Mereka adalah orang kebanyakan yang oleh kearifan lokal terpanggil untuk mengejawantahkan perikemanusiaannya. Kita bersyukur karena tanpa diminta mereka memberi teladan yang baik untuk semua orang.
Ketua MPR RI/Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum UNPAD
KETIKA sistem kesehatan berpotensi gagal memberi layanan kepada semua pasien akibat lonjakan jumlah orang sakit (functional collapse) di setiap rumah sakit, fakta ini menjadi pertanda bahwa situasinya benar-benar darurat. Suasana kebatinan pun begitu sulit dilukiskan dengan kata karena ratusan kematian per hari tak bisa dicegah, di tengah lonjakan kasus baru Covid-19 yang mencapai puluhan ribu. Krisis kesehatan yang tereskalasi sekarang ini hendaknya menjadi panggilan bagi semua orang sehat untuk mengejawantahkan perikemanusiaan bagi mereka yang menderita.
Situasi sekarang tak cukup disikapi dengan kepekaan dan prihatin, melainkan peduli dan keberanian siapa saja untuk segera bertindak atau menolong (sense of crisis). Agar semua orang mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang situasi darurat sekarang ini, patutlah untuk mengacu pada pengumuman kematian puluhan pasien Covid-19 di RSUP Sardjito, Yogyakarta, serta pesan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang potensi sistem kesehatan mengalami ketidakmampuan melayani semua pasien.
Sebagaimana laporan dan penjelasan resmi manajemen RSUP Dr Sardjito, terhitung sejak Sabtu (3/7) pukul 20.00 WIB sampai Minggu (4/7) pagi, tercatat 33 pasien Covid-19 meninggal karena RSUP itu kehabisan atau kekurangan stok oksigen. Sebelumnya, ada pasien di Jakarta pun tak tertolong karena terlambat mendapatkan perawatan akibat rumah sakit penuh disesaki pasien Covid-19. Fakta di RSUP Sardjito Yogyakarta itu praktis membenarkan pernyataan dan pesan dari IDI tentang lonjakan tajam jumlah pasien Covid-19 akhir-akhir ini yang sudah sangat membebani sistem kesehatan. IDI mengingatkan, situasi saat ini benar-benar mengkhawatirkan karena sejumlah fasilitas kesehatan berpotensi mengalami functional collapse atau tidak mampu memberi layanan kepada semua pasien.
Menanggapi keadaan itu, Presiden Joko Widodo menginstruksikan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah membuat tempat isolasi untuk pasien Covid-19. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga mendorong pemerintah daerah (pemda) mendirikan rumah sakit lapangan untuk menambah tempat perawatan pasien Covid-19. Kementerian PUPR kemudian menyiapkan 14 rumah sakit darurat sebagai tambahan.
Namun, gerak cepat dari pemerintah itu ternyata belum cukup untuk menutup semua kebutuhan yang sangat mendesak. Masalah dan tantangan riilnya bukan sekadar kebutuhan ruang dan tempat tidur untuk merawat pasien, tetapi juga menipisnya stok alat-alat kesehatan, obat-obatan, hingga jumlah dokter dan perawat yang nyata-nyata menjadi sangat terbatas, atau tidak berimbang, akibat lonjakan tajam jumlah pasien pada semua rumah sakit rujukan.
Maka, kejadian fatal sebagaimana yang terjadi di RSUP Sardjito pun tak terhindarkan. Situasi yang demikian menyebabkan angka kematian akibat Covid-19 di dalam negeri juga mengalami peningkatan. Pada 15-16 Juli 2021, misalnya, tercatat 1.205 orang pasien yang meninggal dunia karena Covid -19. Total pasien Covid-19 di Indonesia yang meninggal dunia sudah melampaui jumlah 70.000-an jiwa.
Kini, tantangan bersama di tengah darurat COVID-19 sudah jelas. Setelah pemerintah menambah belasan rumah sakit darurat, persoalan berikutnya yang harus segera dikerjakan adalah pengadaan alat-alat kesehatan dan obat-obatan dalam jumlah yang memadai. Siapa pun yang memiliki akses untuk pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan tentu sangat diharapkan kontribusinya. Selain itu, problem penambahan tenaga dokter dan tenaga perawat pun harus segera dicarikan jalan keluarnya. Ini problem nyata. Contoh kasusnya adalah keluhan Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Jumlah tenaga kesehatan (nakes) di Tangerang Selatan terus berkurang karena banyak nakes juga terpapar Covid-19 dan harus menjalani perawatan. Sekitar 33% atau 180 nakes di kota itu dilaporkan terinfeksi Covid-19. Sebelumnya, Pemkot Tangerang juga telah meminta bantuan pemerintah pusat untuk segera memasok obat-obatan dan oksigen.
Jadi, situasi sekarang memanggil semua orang yang sehat untuk memberi pertolongan kepada mereka yang menderita. Semua orang dipanggil untuk mengejawantahkan perikemanusiaan. Sekecil apa pun bantuan yang bisa diberikan pasti sangat bermanfaat bagi mereka yang menderita. Jumlah kasus Covid-19 di dalam negeri hingga Sabtu (17/7) terbilang 2,78 juta. Namun, jumlah orang yang menderita akibat sebaran kasus yang terus meluas mencapai puluhan juta orang, karena ragam kegiatan produktif masyarakat harus dihentikan sejalan dengan penerapan PPKM darurat.
Kalaupun tidak bisa membantu, minimal menunjukan empati kepada mereka yang menderita. Berempati pada penderitaan orang lain berarti mau menahan diri untuk tidak membuat gaduh ruang publik di tengah situasi darurat seperti sekarang. Tidak juga nyinyir atau menyemburkan kritik-kritik tidak proporsional hanya karena ingin menunjukkan diri sendiri paling benar. Sangat bijak jika semua pihak mau memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pemerintah, para dokter, nakes, dan para relawan untuk merespons situasi darurat sekarang ini sejalan dengan strategi yang sudah ditetapkan. Kalaupun ada kekurangan atau kelemahan, suarakanlah dengan kritik yang konstruktif dan solutif.
Para elite dan pemerhati mungkin layak memaknai aksi sejumlah orang biasa-biasa saja dalam merespons situasi darurat sekarang ini. Mereka tidak bersuara, tetapi lebih memilih langsung berbuat untuk menolong mereka yang menderita. Mereka adalah contoh orang biasa yang lebih mengedepankan naluri perikemanusiaannya.
Di Jakarta, seorang warga merelakan rumahnya di Cilandak Barat menjadi tempat Isolasi pasien Covid-19. Di Bandung, seorang warga di RW 1/RT 2 Kelurahan Kacapiring juga ikhlas memberi rumahnya untuk dijadikan tempat isolasi mandiri bagi warga sekitar yang terpapar Covid-19. Masih di Bandung, seorang pedagang bubur ayam menyediakan hidangan gratis bagi mereka yang menjalani isolasi mandiri. Pedagang bubur ini tergerak menolong setelah melihat ibu-ibu majelis taklim bergotong-royong menyediakan konsumsi bagi warga yang terpapar Covid-19.
Di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, para relawan dan ibu-ibu PKK bergotong-royong membangun dapur umum di tiga titik. Mereka menyediakan ribuan nasi kotak untuk diberikan kepada pasien Covid-19 yang tengah menjalani isolasi mandiri. Di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, seorang warga setempat pun terpanggil membantu sesama yang sedang menjalani isolasi mandiri. Dia menyiapkan dan mengirimkan makanan berupa soto untuk warga yang sedang menjalani isolasi mandiri. Tentu saja masih banyak aksi-aksi sosial yang dikerjakan masyarakat untuk menolong mereka yang menderita, namun tidak terekspos media. Mereka adalah orang kebanyakan yang oleh kearifan lokal terpanggil untuk mengejawantahkan perikemanusiaannya. Kita bersyukur karena tanpa diminta mereka memberi teladan yang baik untuk semua orang.
(war)