Penjualan Obat di Platform Online Harus Diawasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gelombang kedua pandemi Covid-19 sontak membuat masyarakat panik dan resah. Seolah tak mau tertular dan menjadi korban virus korona, masyarakat mulai membekali diri dengan beragam jenis obat mulai dari vitamin, multivitamin, hingga obat-obat lain yang dianggap mampu meningkatkan imunitas tubuh.
Fenomena ini tak hanya di Jakarta, di kota-kota besar hingga daerah, masyarakat berbondong-bondong berburu obat-obatan tersebut. Bahkan, tak jarang mereka membeli obat-obatan kategori obat keras yang seharusnya hanya bisa dibeli dengan resep dokter seperti antibiotik, kortikosteroid, hingga antivirus.
Dalam beberapa tahun terakhir, penjualan obat-obatan tak lagi mengandalkan apotek atau toko. Sebagian penjual telah beralih memasarkan obat-obatan melalui lokapasar (e-commerce), media sosial (medsos), bahkan aplikasi pesan singkat.
Baca juga: Gencarkan Lobi, Ini 3 Obat Covid-19 yang Diburu Indonesia di Luar Negeri
Sekjen Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia Andreas Bayu Aji mengatakan, pihaknya senang kalau semakin banyak jalur distribusi. Namun, GP Farmasi menolak pendistribusian dan penjualan secara serampangan.
Dia menilai, para penjual obat daring tidak menaati aturan. Sebagian apotek ada juga yang menjual secara online. Khusus untuk penjualan secara online, tetap membutuhkan izin dan mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah.
“Jika tidak ada izin, sudah pasti tidak boleh (berjualan obat),” cetusnya.
Andreas menyatakan, praktik penjualan obat-obatan khususnya golongan obat keras sejatinya merugikan masyarakat dan industri farmasi, terutama dalam kasus obat-obatan untuk pasien Covid-19.
Kerugian pertama, perusahaan farmasi mendapatkan kesan negatif karena dianggap menaikkan harga. Kedua, perusahaan farmasi dianggap menjual obat secara sembarangan. “Saya sudah cek ke anggota, tidak ada yang jual ke e-commerce seperti itu,” tuturnya.
Fenomena ini tak hanya di Jakarta, di kota-kota besar hingga daerah, masyarakat berbondong-bondong berburu obat-obatan tersebut. Bahkan, tak jarang mereka membeli obat-obatan kategori obat keras yang seharusnya hanya bisa dibeli dengan resep dokter seperti antibiotik, kortikosteroid, hingga antivirus.
Dalam beberapa tahun terakhir, penjualan obat-obatan tak lagi mengandalkan apotek atau toko. Sebagian penjual telah beralih memasarkan obat-obatan melalui lokapasar (e-commerce), media sosial (medsos), bahkan aplikasi pesan singkat.
Baca juga: Gencarkan Lobi, Ini 3 Obat Covid-19 yang Diburu Indonesia di Luar Negeri
Sekjen Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia Andreas Bayu Aji mengatakan, pihaknya senang kalau semakin banyak jalur distribusi. Namun, GP Farmasi menolak pendistribusian dan penjualan secara serampangan.
Dia menilai, para penjual obat daring tidak menaati aturan. Sebagian apotek ada juga yang menjual secara online. Khusus untuk penjualan secara online, tetap membutuhkan izin dan mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah.
“Jika tidak ada izin, sudah pasti tidak boleh (berjualan obat),” cetusnya.
Andreas menyatakan, praktik penjualan obat-obatan khususnya golongan obat keras sejatinya merugikan masyarakat dan industri farmasi, terutama dalam kasus obat-obatan untuk pasien Covid-19.
Kerugian pertama, perusahaan farmasi mendapatkan kesan negatif karena dianggap menaikkan harga. Kedua, perusahaan farmasi dianggap menjual obat secara sembarangan. “Saya sudah cek ke anggota, tidak ada yang jual ke e-commerce seperti itu,” tuturnya.