Diaspora Indonesia Bertahan di Tengah Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Memasuki penghujung tahun 2019, masyarakat dunia dibuat gempar dengan kemunculan virus Corona atau Covid-19. Dalam waktu singkat, virus yang ditengarai berasal dari Wuhan, China ini menyebar ke banyak negara.
Berdasarkan data worldometers.info, per Kamis, 8 Juli 2021 tercatat jumlah kasus Covid di seluruh dunia telah mencapai 185.857.140. Dari jumlah tersebut, sebanyak 170.103.648 telah sembuh sedangkan 4.017.885 lainnya meninggal dunia. Sejak merebak pertama kali, pemerintah di seluruh negara langsung mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menghalau penyebaran virus ini.
Namun Satya mengaku bahwa situasi saat ini sudah lebih baik. "Sekarang sih sudah berangsur normal, dan sudah lumayan enak," ucapnya.
Selain itu, Diaspora Indonesia yang menetap di Lakewood, California, ini juga mengaku menyaksikan dan merasakan panic buying di awal kemunculan pandemi.
"Waktu itu di bulan Maret 2020, Presiden Trump mengeluarkan national emergency. Jadi, orang-orang semuanya panik, langsung beli tisu toilet, tisu basah dan kebutuhan lain. Melihat orang-orang kepanikan, saya juga ikut panik. Karena kebanyakan masyarakat di sini kan menggunakan tisu, jadi itu yang paling langka. Kemudian, masyarakat juga harus menggunakan masker dan menerapkan jaga jarak," ujar Satya.
Topan Renyaan, pekerja Indonesia yang bekerja di Thailand juga menceritakan kondisi terakhir negeri Gajah Putih tersebut. Menurut Topan yang sudah 5 bulan menetap di Thailand, di negara tersebut juga diterapkan PPKM atau pembatasan kegiatan sama seperti di Indonesia.
Dalam kebijakan itu, operasional kantor wajib mencapai 25% dari total kapasitas. Dengan adanya kebijakan ini, maka perusahaan-perusahaan disana kemudian menerapkan sistem bergilir. Meski begitu, Topan mengaku hal tersebut tidak merubah aktivitas kerja.
"Kalau waktu kerja ya tetap kerja, kita meeting secara online. Pelatihan juga kita lakukan seperti biasa dari jam 9 sampai jam 5," katanya.
Sedangkan untuk mal dan restoran, sama dengan yang berlaku di Indonesia. Diizinkan untuk tetap buka tapi hanya untuk pemesanan take away. "Kalau di sini pergerakan orang-orang, bisnis kantor serta mal dibatasi. Jalanan dan mal sepi, dan kalau kita ke beberapa tempat yang khususnya untuk wisata, itu juga kosong," tuturnya.
Jepang juga masih menerapkan sejumlah kebijakan pembatasan. Menurut Bagaspati Wasi, seorang Engineer di salah satu perusahaan, saat ini masih ada kebijakan pembatasan pembelian barang makanan yang menerapkan jatah per keluarga.
Selain itu Social distancing juga masih diterapkan dan berlaku sangat ketat. Menurutnya, ada beberapa toko yang bahkan menolak pelanggan jika pelanggan tidak mengenakan masker. Hal serupa juga diterapkan untuk operasional perkantoran.
"Kalau pas pandemi ada pembatasan karyawan kerja masuk di kantor, itu maksimal jumlah yang masuk di kantor 70%. Selain itu harus di rumah. Nah ini sempat berlaku lagi waktu corona naik banyak," tutupnya.
Berdasarkan data worldometers.info, per Kamis, 8 Juli 2021 tercatat jumlah kasus Covid di seluruh dunia telah mencapai 185.857.140. Dari jumlah tersebut, sebanyak 170.103.648 telah sembuh sedangkan 4.017.885 lainnya meninggal dunia. Sejak merebak pertama kali, pemerintah di seluruh negara langsung mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menghalau penyebaran virus ini.
Namun Satya mengaku bahwa situasi saat ini sudah lebih baik. "Sekarang sih sudah berangsur normal, dan sudah lumayan enak," ucapnya.
Selain itu, Diaspora Indonesia yang menetap di Lakewood, California, ini juga mengaku menyaksikan dan merasakan panic buying di awal kemunculan pandemi.
"Waktu itu di bulan Maret 2020, Presiden Trump mengeluarkan national emergency. Jadi, orang-orang semuanya panik, langsung beli tisu toilet, tisu basah dan kebutuhan lain. Melihat orang-orang kepanikan, saya juga ikut panik. Karena kebanyakan masyarakat di sini kan menggunakan tisu, jadi itu yang paling langka. Kemudian, masyarakat juga harus menggunakan masker dan menerapkan jaga jarak," ujar Satya.
Topan Renyaan, pekerja Indonesia yang bekerja di Thailand juga menceritakan kondisi terakhir negeri Gajah Putih tersebut. Menurut Topan yang sudah 5 bulan menetap di Thailand, di negara tersebut juga diterapkan PPKM atau pembatasan kegiatan sama seperti di Indonesia.
Dalam kebijakan itu, operasional kantor wajib mencapai 25% dari total kapasitas. Dengan adanya kebijakan ini, maka perusahaan-perusahaan disana kemudian menerapkan sistem bergilir. Meski begitu, Topan mengaku hal tersebut tidak merubah aktivitas kerja.
"Kalau waktu kerja ya tetap kerja, kita meeting secara online. Pelatihan juga kita lakukan seperti biasa dari jam 9 sampai jam 5," katanya.
Sedangkan untuk mal dan restoran, sama dengan yang berlaku di Indonesia. Diizinkan untuk tetap buka tapi hanya untuk pemesanan take away. "Kalau di sini pergerakan orang-orang, bisnis kantor serta mal dibatasi. Jalanan dan mal sepi, dan kalau kita ke beberapa tempat yang khususnya untuk wisata, itu juga kosong," tuturnya.
Jepang juga masih menerapkan sejumlah kebijakan pembatasan. Menurut Bagaspati Wasi, seorang Engineer di salah satu perusahaan, saat ini masih ada kebijakan pembatasan pembelian barang makanan yang menerapkan jatah per keluarga.
Selain itu Social distancing juga masih diterapkan dan berlaku sangat ketat. Menurutnya, ada beberapa toko yang bahkan menolak pelanggan jika pelanggan tidak mengenakan masker. Hal serupa juga diterapkan untuk operasional perkantoran.
"Kalau pas pandemi ada pembatasan karyawan kerja masuk di kantor, itu maksimal jumlah yang masuk di kantor 70%. Selain itu harus di rumah. Nah ini sempat berlaku lagi waktu corona naik banyak," tutupnya.
(maf)