Satgas Harus Beri Informasi Jelas dan Jamin Ketersediaan Obat Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah melalui Satgas Covid-19 diminta memberikan informasi yang jelas dan konsisten mengenai obat terapi Covid-19 kepada masyarakat. Sebab, sebagian besar penderita melakukan perawatan atau isolasi mandiri di rumah dan membutuhkan obat yang terjangkau.
Menurut politikus Partai Gerindra Bambang Haryo Soekartono, selama ini masyarakat kurang mendapatkan informasi yang jelas mengenai obat Covid-19 dari pemerintah dan Satgas Covid-19, sehingga mencari sendiri informasi obat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
"Penderita Covid-19 yang dirawat di rumah sakit hanya sebagian kecil, 85 persen penderita melakukan isolasi mandiri atau pengobatan sendiri di rumah. Pemerintah harus memperhatikan mereka dengan memberikan informasi obat yang jelas dan obat yang selalu tersedia serta terjangkau," katanya, Kamis (8/7/2021).
Dari 85 persen itu, tutur Bambang Haryo, diperkirakan hanya 5 persen yang mengetahui obat terapi Covid-19, tetapi yang bisa mendapatkan obatnya tidak lebih 50 persen. "Yang lainnya sulit mendapatkan obat itu karena langka atau mahal. Inilah yang harus segera ditangani oleh pemerintah melalui Satgas Covid-19," ujarnya.
Bambang Haryo juga menyoroti kelangkaan peralatan penanganan Covid-19, termasuk gas oksigen. Dia mengingatkan bahwa gas oksigen tidak hanya dibutuhkan rumah sakit, tetapi juga masyarakat yang melakukan perawatan di rumah.
Dia mengatakan, kelangkaan itu seharusnya tidak terjadi apabila pemerintah bersama Satgas Covid-19 bekerja maksimal untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19. "Satgas harus menjamin ketersediaan obat Covid-19 dengan harga terjangkau serta memberikan informasi yang jelas dan konsisten," ungkap Bambang Haryo, sambil menambahkan bahwa Satgas Covid-19 harus diberikan kewenangan untuk menindak tegas penimbun obat seperti Satgas Pangan.
Untuk mengantisipasi kasus Covid-19 yang terus melonjak, dia meminta pemerintah mengerahkan seluruh aparatur sipil Negara (ASN) yang jumlahnya lebih dari 4 juta orang untuk melayani masyarakat. Jangan hanya pemimpinnya saja yang melakukan pencitraan, tetapi seluruh ASN harus dilibatkan karena kondisi saat ini sudah darurat.
"Seluruh ASN harus dilibatkan untuk melakukan pencegahan dan sosialisasi kepada masyarakat serta menegakkan protokol kesehatan secara terus menerus. Berdayakan Puskesmas di seluruh Indonesia semaksimal mungkin, jangan ditutup tetapi harus aktif melakukan tracking dan tracing, memonitor kasus Covid-19 di wilayahnya," ujarnya.
Bambang Haryo juga mengingatkan pemerintah agar mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan untuk mengantisipasi bencana non-alam, seperti Covid-19 ini di masa mendatang. "Tenaga kesehatan kita kurang untuk mengantisipasi darurat Covid-19 seperti sekarang. Jumlah dokter di Indonesia diperkirakan hanya 1:5.000 jumlah penduduk, terendah di Asia Tenggara bahkan di bawah Timor Leste, sehingga banyak daerah kekurangan dokter. Begitu juga SDM untuk perawat dan nakes lainnya," paparnya.
Menurut dia, pendidikan kedokteran di Indonesia terkesan dipersulit dan mahal sehingga masyarakat kurang berminat. Biaya pendidikan kedokteran hingga selesai diperkirakan lebih dari Rp1 miliar, padahal Indonesia membutuhkan 5 kali dari jumlah dokter saat ini. "Banyak yang berminat pendidikan kedokteran tetapi biayanya mahal. Pemerintah harus bantu dan permudah untuk mengantisipasi bencana kesehatan di masa mendatang."
Menurut politikus Partai Gerindra Bambang Haryo Soekartono, selama ini masyarakat kurang mendapatkan informasi yang jelas mengenai obat Covid-19 dari pemerintah dan Satgas Covid-19, sehingga mencari sendiri informasi obat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
"Penderita Covid-19 yang dirawat di rumah sakit hanya sebagian kecil, 85 persen penderita melakukan isolasi mandiri atau pengobatan sendiri di rumah. Pemerintah harus memperhatikan mereka dengan memberikan informasi obat yang jelas dan obat yang selalu tersedia serta terjangkau," katanya, Kamis (8/7/2021).
Dari 85 persen itu, tutur Bambang Haryo, diperkirakan hanya 5 persen yang mengetahui obat terapi Covid-19, tetapi yang bisa mendapatkan obatnya tidak lebih 50 persen. "Yang lainnya sulit mendapatkan obat itu karena langka atau mahal. Inilah yang harus segera ditangani oleh pemerintah melalui Satgas Covid-19," ujarnya.
Bambang Haryo juga menyoroti kelangkaan peralatan penanganan Covid-19, termasuk gas oksigen. Dia mengingatkan bahwa gas oksigen tidak hanya dibutuhkan rumah sakit, tetapi juga masyarakat yang melakukan perawatan di rumah.
Dia mengatakan, kelangkaan itu seharusnya tidak terjadi apabila pemerintah bersama Satgas Covid-19 bekerja maksimal untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19. "Satgas harus menjamin ketersediaan obat Covid-19 dengan harga terjangkau serta memberikan informasi yang jelas dan konsisten," ungkap Bambang Haryo, sambil menambahkan bahwa Satgas Covid-19 harus diberikan kewenangan untuk menindak tegas penimbun obat seperti Satgas Pangan.
Untuk mengantisipasi kasus Covid-19 yang terus melonjak, dia meminta pemerintah mengerahkan seluruh aparatur sipil Negara (ASN) yang jumlahnya lebih dari 4 juta orang untuk melayani masyarakat. Jangan hanya pemimpinnya saja yang melakukan pencitraan, tetapi seluruh ASN harus dilibatkan karena kondisi saat ini sudah darurat.
"Seluruh ASN harus dilibatkan untuk melakukan pencegahan dan sosialisasi kepada masyarakat serta menegakkan protokol kesehatan secara terus menerus. Berdayakan Puskesmas di seluruh Indonesia semaksimal mungkin, jangan ditutup tetapi harus aktif melakukan tracking dan tracing, memonitor kasus Covid-19 di wilayahnya," ujarnya.
Bambang Haryo juga mengingatkan pemerintah agar mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan untuk mengantisipasi bencana non-alam, seperti Covid-19 ini di masa mendatang. "Tenaga kesehatan kita kurang untuk mengantisipasi darurat Covid-19 seperti sekarang. Jumlah dokter di Indonesia diperkirakan hanya 1:5.000 jumlah penduduk, terendah di Asia Tenggara bahkan di bawah Timor Leste, sehingga banyak daerah kekurangan dokter. Begitu juga SDM untuk perawat dan nakes lainnya," paparnya.
Menurut dia, pendidikan kedokteran di Indonesia terkesan dipersulit dan mahal sehingga masyarakat kurang berminat. Biaya pendidikan kedokteran hingga selesai diperkirakan lebih dari Rp1 miliar, padahal Indonesia membutuhkan 5 kali dari jumlah dokter saat ini. "Banyak yang berminat pendidikan kedokteran tetapi biayanya mahal. Pemerintah harus bantu dan permudah untuk mengantisipasi bencana kesehatan di masa mendatang."
(zik)