Komunitas Muslim Indonesia di Luar Negeri: Sebuah Introspeksi
loading...
A
A
A
Akibatnya ghibah, gossip bahkan fitnah menjadi sesuatu yang seolah biasa saja. Di zaman media sosial ini misalnya, gossip dan fitnah itu kerap berkeliaran secara liar. Bahkan dari orang yang terkadang harusnya menjadi tauladan bagi khalayak.
Keenam, bahwa Komunitas Indonesia, termasuk di dalamnya Komunitas Muslim, dalam bersikap secara komunal (jama’i) sangat diwarnai oleh warna komunal Kebangsaan kita di dalam negeri.
Ambillah sebagai contoh bagaimana pilpres yang mengkotak-kotakkan anggota masyarakat dalam negeri juga mewarnai hubungan antar anggota diaspora Indonesia di luar negeri. Bahkan terasa hingga ketika anggota diaspora menyikapi pilihan politik di Amerika itu sendiri.
Ada sejumlah anggota Komunitas Indonesia yang mendukung kandidat politik di Amerika karena sejalan dengan kandidat tertentu di Indonesia. Atau sebaliknya melakukan resistensi kepada kandidat tertentu karena kandidat itu dianggap berseberangan dengan pilihannya di dalam negeri Indonesia.
Ketujuh, dan ini realita yang paling nyata dan menyakitkan. Yaitu adanya penyakit “ghill” seperti pada ayat "wa laa taj’al fii quluubina ghillan lilladzina amanu" justeru kerap terjadi di kalangan masyarakat Indonesia di luar negeri, termasuk di dalamnya masyarakat Muslim Indonesia.
Akibatnya ketika ada di antara anggota Komunitas yang sedikit menonjol, anggaplah berhasil kecil pada bidang tertentu, ada-ada saja pihak yang berusaha menjegalnya dengan cara apa saja.
Saya tidak ingin menyebutkan contoh-contoh bagaimana upaya saling jegal menjegal di antara sesama itu. Tapi yang pasti hal ini sangat terasa di kalangan Komunitas Indonesia di luar negeri. Bahkan dalam urusan yang terkait dengan keagamaan sekali pun.
Dalam perspektif agama fenomena seperti ini lebih dikenal dengan sebutan "dengki" atau "iri hati" kepada sesama yang kebetulan mendapatkan karunia tertentu dari Allah. Orang yang berpenyakit hasad itu tidak saja "sakit hati" atas karunia yang Allah berikan kepada orang lain. Tapi berusaha agar karunia itu dicabut darinya. Bahkan orang lain tersebut, walau sesama anak bangsa bahkan seiman, perlu dirusak dan ditenggelamkan.
Inilah penyakit yang Rasulullah SAW ingatkan dalam sabdanya: "Hendaklah kalian berhati-hati dengan hasad. Karena sesungguhnya hasad menghabiskan kebaikan sebagaimana api menghanguskan kayu bakar".
Berhati-hatilah. Karena pelaku hasad selain kebaikannya bangkrut, juga yang bersangkutan akan hidup bagaikan cacing yang kepanasan.
Keenam, bahwa Komunitas Indonesia, termasuk di dalamnya Komunitas Muslim, dalam bersikap secara komunal (jama’i) sangat diwarnai oleh warna komunal Kebangsaan kita di dalam negeri.
Ambillah sebagai contoh bagaimana pilpres yang mengkotak-kotakkan anggota masyarakat dalam negeri juga mewarnai hubungan antar anggota diaspora Indonesia di luar negeri. Bahkan terasa hingga ketika anggota diaspora menyikapi pilihan politik di Amerika itu sendiri.
Ada sejumlah anggota Komunitas Indonesia yang mendukung kandidat politik di Amerika karena sejalan dengan kandidat tertentu di Indonesia. Atau sebaliknya melakukan resistensi kepada kandidat tertentu karena kandidat itu dianggap berseberangan dengan pilihannya di dalam negeri Indonesia.
Ketujuh, dan ini realita yang paling nyata dan menyakitkan. Yaitu adanya penyakit “ghill” seperti pada ayat "wa laa taj’al fii quluubina ghillan lilladzina amanu" justeru kerap terjadi di kalangan masyarakat Indonesia di luar negeri, termasuk di dalamnya masyarakat Muslim Indonesia.
Akibatnya ketika ada di antara anggota Komunitas yang sedikit menonjol, anggaplah berhasil kecil pada bidang tertentu, ada-ada saja pihak yang berusaha menjegalnya dengan cara apa saja.
Saya tidak ingin menyebutkan contoh-contoh bagaimana upaya saling jegal menjegal di antara sesama itu. Tapi yang pasti hal ini sangat terasa di kalangan Komunitas Indonesia di luar negeri. Bahkan dalam urusan yang terkait dengan keagamaan sekali pun.
Dalam perspektif agama fenomena seperti ini lebih dikenal dengan sebutan "dengki" atau "iri hati" kepada sesama yang kebetulan mendapatkan karunia tertentu dari Allah. Orang yang berpenyakit hasad itu tidak saja "sakit hati" atas karunia yang Allah berikan kepada orang lain. Tapi berusaha agar karunia itu dicabut darinya. Bahkan orang lain tersebut, walau sesama anak bangsa bahkan seiman, perlu dirusak dan ditenggelamkan.
Inilah penyakit yang Rasulullah SAW ingatkan dalam sabdanya: "Hendaklah kalian berhati-hati dengan hasad. Karena sesungguhnya hasad menghabiskan kebaikan sebagaimana api menghanguskan kayu bakar".
Berhati-hatilah. Karena pelaku hasad selain kebaikannya bangkrut, juga yang bersangkutan akan hidup bagaikan cacing yang kepanasan.