Anggota DPD RI Minta Polemik Putusan Banding Pinangki Disudahi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komite 1 DPD RI, Abdul Rachman Thaha berharap polemik tentang putusan banding perkara Pinangki Sirna Malasari tidak berlarut-larut yang akhirnya membuat kegaduhan dalam penegakan hukum.
"Saya menganggap bahwasannya silakan saja berpendapat dan itu sah-sah saja, tapi jangan justru menimbulkan multitafsir dan berujung membuat kegaduhan dalam penegakan hukum," Abdul Rachman Thaha dalam keterangan tertulisnya, Selasa (6/7/2021).
Menurutnya, putusan banding merupakan kewenangan hakim pengadilan tinggi. Secara teknis, apa yang telah diputus hakim Pengadilan Tinggi sudah sama dengan tuntutan Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan.
Baca juga: Ini Alasan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Sunat Vonis Jaksa Pinangki
"Dalam hal ini, apa yang yang menjadi pertimbangan Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan telah diambilalih sepenuhnya oleh hakim tingkat Banding. Artinya, hakim Tingkat Banding sependapat dengan argumentasi Penuntut Umum sehingga putusan judex factie (putusan pengadilan tingkat pertama dan banding) ialah sudah tepat," kata doktor di bidang hukum ini.
Abdul Rachman Thaha menjelaskan bahwa KUHAP tidak mengatur adanya keharusan bagi Penuntut Umum
mengajukan kasasi terkait straftmacht (penjatuhan hukum). Pada prinsipnya pengajuan Kasasi dimaksudkan untuk mengoreksi putusan judex factie apabila ada kekeliruan dalam penerapan hukum guna menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
"Dalam pengajuan kasasi tidak boleh keluar dari koridor Pasal 244 KUHAP yang berbunyi 'Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas," paparnya.
Baca juga: Hukuman Pinangki Disunat Jadi 4 Tahun, Kajari Jakpus: JPU Akan Pelajari Dulu
Selain itu, kata Abdul Rachman, alasan pengajuan kasasi secara limitatif sudah diatur secara jelas dalam Pasal 253 KUHAP. Pasal itu berbunyi pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan olehMahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan: a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidaksebagaimana mestinya. b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Mendasar hal tersebut, tidak ada alasan yang sangat fundamental dan prinsipal bagi Penuntut Umum untuk berkewajiban mengajukan Kasasi atas putusan banding perkara Pinangki. Di samping, penerapan hukum judect factie ialah sudah tepat.
"Apabila Penuntut Umum mengajukan kasasi dapat menjadi preseden buruk. Hal itu, menunjukan tidak adanya independensi Penuntut Umum dan terkesan Penuntut Umum tidak konsisten dengan apa yang telah dituntut dalam Surat Tuntutan sebelumnya," katanya.
"Saya menganggap bahwasannya silakan saja berpendapat dan itu sah-sah saja, tapi jangan justru menimbulkan multitafsir dan berujung membuat kegaduhan dalam penegakan hukum," Abdul Rachman Thaha dalam keterangan tertulisnya, Selasa (6/7/2021).
Menurutnya, putusan banding merupakan kewenangan hakim pengadilan tinggi. Secara teknis, apa yang telah diputus hakim Pengadilan Tinggi sudah sama dengan tuntutan Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan.
Baca juga: Ini Alasan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Sunat Vonis Jaksa Pinangki
"Dalam hal ini, apa yang yang menjadi pertimbangan Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan telah diambilalih sepenuhnya oleh hakim tingkat Banding. Artinya, hakim Tingkat Banding sependapat dengan argumentasi Penuntut Umum sehingga putusan judex factie (putusan pengadilan tingkat pertama dan banding) ialah sudah tepat," kata doktor di bidang hukum ini.
Abdul Rachman Thaha menjelaskan bahwa KUHAP tidak mengatur adanya keharusan bagi Penuntut Umum
mengajukan kasasi terkait straftmacht (penjatuhan hukum). Pada prinsipnya pengajuan Kasasi dimaksudkan untuk mengoreksi putusan judex factie apabila ada kekeliruan dalam penerapan hukum guna menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
"Dalam pengajuan kasasi tidak boleh keluar dari koridor Pasal 244 KUHAP yang berbunyi 'Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas," paparnya.
Baca juga: Hukuman Pinangki Disunat Jadi 4 Tahun, Kajari Jakpus: JPU Akan Pelajari Dulu
Selain itu, kata Abdul Rachman, alasan pengajuan kasasi secara limitatif sudah diatur secara jelas dalam Pasal 253 KUHAP. Pasal itu berbunyi pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan olehMahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan: a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidaksebagaimana mestinya. b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Mendasar hal tersebut, tidak ada alasan yang sangat fundamental dan prinsipal bagi Penuntut Umum untuk berkewajiban mengajukan Kasasi atas putusan banding perkara Pinangki. Di samping, penerapan hukum judect factie ialah sudah tepat.
"Apabila Penuntut Umum mengajukan kasasi dapat menjadi preseden buruk. Hal itu, menunjukan tidak adanya independensi Penuntut Umum dan terkesan Penuntut Umum tidak konsisten dengan apa yang telah dituntut dalam Surat Tuntutan sebelumnya," katanya.
(abd)