PPKM Darurat Dinilai Tidak Efektif Redam Lonjakan Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat menilai PPKM Darurat tidak efektif meredam Covid-19 varian Delta. Menurutnya, hal ini terjadi karena pemerintah tidak memaksimalkan tiga instrumen kekuasaan.
"Pemberlakuan PPKM Darurat terindikasi gagal redam lonjakan Covid-19 varian Delta karena pemerintah tidak maksimal menggunakan tiga instrumen kekuasaan yaitu instrumen law enforcement, instrumen keuangan, dan instrumen leadership," kata Hidayat dalam rilisnya, Selasa (6/7/2021).
Pendiri Narasi Institute ini mengatakan PPKM Darurat terindikasi gagal karena belum memberikan hasil berupa melambatnya laju kematian dan laju kasus aktif sebagaimana PSBB di awal pandemi 2020.
Dia juga menilai PPKM Darurat Jawa-Bali kurang disertai dengan instrumen penegakan hukum (law enforcement) dibandingkan PSBB lalu. "Di lapangan banyak perusahaan non- esensial dan non-kritikal yang tidak mematuhi aturan PPKM. Mereka memaksa karyawan masuk ke kantor. Mereka tidak dihukum tegas. Karyawan mereka bisa lolos dari pos penyekatan PPKM Darurat karena aparat keamanan tidak bisa membendung mereka yang penuh datang ke kantor," jelasnya.
Hidayat melihat lemahnya law enforcement dalam PPKM Darurat terjadi karena tidak dilibatkannya Menko Polhukam Mahfud MD dan jajarannya dalam gugus tugas PPKM Darurat. "Penunjukan Pak Luhut Menko Marves adalah penunjukan yang tidak dilandasi perencanaan matang, akibatnya ada yang miss calculation terkait law enforcement," katanya.
Dia juga melihat adanya krisis oksigen dan krisis harga obat seperti Ivermectin dan 10 obat lainnya karenanya lemahnya law enforcement. "Kewibawaan hukum begitu lemah dari PPKM Darurat kali ini. Oknum pencari untung dari krisis oksigen dan Ivermectin tetap merajalela meski pemerintah sudah menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Intinya aturan terasa tidak hadir dilapangan karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum."
Hidayat juga melihat, selain lemahnya instrumen law enforcement, instrumen keuangan juga tidak dikuatkan dalam PPKM Darurat kali ini. Meskipun Menko Perekonomian telah mengusulkan tambahan Rp225,4 triliun untuk penanganan pandemi dari sisi kesehatan dan perlindungan sosial masuk dalam program PEN, implementasinya pasti memerlukan waktu 1-2 minggu paling cepat untuk administrasinya dan butuh waktu 1 bulan paling cepat untuk implementasi lapangannya. "Sementara PPKM Darurat berakhir 20 Juli, dukungan keuangan terlambat," katanya.
Mantan ketua BEM UI ini melihat kebijakan PPKM Darurat ini adalah contoh bagaimana kebijakan penanganan pandemi tidak terstruktur. Pemerintah gagap dan tidak belajar selama satu tahun kemarin.
"Saya kaget karena penambahan anggaran baru diusulkan setelah PPKM Darurat berjalan tiga hari, padahal RS sudah bleeding keuangannya. Pembayaran kurang bayar penanganan Covid-19 di tahun 2020 perlu dibayar segera untuk membantu rumah sakit. Insentif tenaga kesehatan dan anggaran penambahan obat-obatan tidak bisa menunggu birokrasi administrasi yang panjang," jelasnya.
Dia menyarankan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil langsung Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menyusun draf perubahan dari Perpres No.113 Tahun 2020. Tanpa perubahan payung hukum Perpres No.113 Tahun 2020, APBN 2021 tidak bisa diubah begitu saja untuk membantu penanganan kesehatan dan bantuan sosial kepada masyarakat.
"APBN 2021 tidak didesain mengantisipasi varian Delta Covid-19, karena itu perlu disesuaikan dengan APBN-P 2021 dengan memasukkan tambahan anggaran untuk kesehatan dan bantuan sosial yang besar. Penyesuaian perlu dilakukan dengan revisi Perpres No.113/2020. Bila tidak, negara tidak memiliki payung hukum untuk perubahan APBN 2021 tersebut."
Patut diingat APBN tidak lagi memerlukan persetujuan DPR, pemerintah menetapkan Perpres No.113/2020 merupakan payung hukum perencanaan, penetapan, dan pelaksanaan APBN tahun 2021. Karena itu perubahan APBN 2021 cukup dilakukan perubahan Perpres No.113/2020.
Dia memandang bahwa ada gap besar antara kecepatan laju kematian imbas Covid-19 dengan kecepatan koordinasi dan kepemimpinan pemerintah dalam penanganan Covid-19, koordinasi perlu langsung di tangan Presiden.
"Untuk mempersempit gap leadership, PPKM Darurat tidak bisa dikoordinasikan oleh selain Presiden. Bila varian Delta diibaratkan sebagai serangan masif terhadap publik Indonesia, maka Presiden lah yang harus memimpin counter attack dari serangan tersebut, bukan pembantu Presiden," tegasnya.
Menurutnya, kepemimpinan Presiden inilah yang akan mampu meredam harga oksigen dan obat-obatan, memimpin penegakan hukum bagi perusahaan non esensial dan non kritikal pelanggar PPKM Darurat, mengatur anggaran untuk membantu RS dan menyediakan bantuan sosial bagi mereka yang membutuhkannya.
"Hanya perintah Presiden yang mampu meredam karena sejumlah kemewahan eksekutif yang dimilikinya. Termasuk hanya Presiden yang bisa menutup gerbang pintu masuk Indonesia dari warga asing," pungkasnya.
"Pemberlakuan PPKM Darurat terindikasi gagal redam lonjakan Covid-19 varian Delta karena pemerintah tidak maksimal menggunakan tiga instrumen kekuasaan yaitu instrumen law enforcement, instrumen keuangan, dan instrumen leadership," kata Hidayat dalam rilisnya, Selasa (6/7/2021).
Pendiri Narasi Institute ini mengatakan PPKM Darurat terindikasi gagal karena belum memberikan hasil berupa melambatnya laju kematian dan laju kasus aktif sebagaimana PSBB di awal pandemi 2020.
Dia juga menilai PPKM Darurat Jawa-Bali kurang disertai dengan instrumen penegakan hukum (law enforcement) dibandingkan PSBB lalu. "Di lapangan banyak perusahaan non- esensial dan non-kritikal yang tidak mematuhi aturan PPKM. Mereka memaksa karyawan masuk ke kantor. Mereka tidak dihukum tegas. Karyawan mereka bisa lolos dari pos penyekatan PPKM Darurat karena aparat keamanan tidak bisa membendung mereka yang penuh datang ke kantor," jelasnya.
Hidayat melihat lemahnya law enforcement dalam PPKM Darurat terjadi karena tidak dilibatkannya Menko Polhukam Mahfud MD dan jajarannya dalam gugus tugas PPKM Darurat. "Penunjukan Pak Luhut Menko Marves adalah penunjukan yang tidak dilandasi perencanaan matang, akibatnya ada yang miss calculation terkait law enforcement," katanya.
Dia juga melihat adanya krisis oksigen dan krisis harga obat seperti Ivermectin dan 10 obat lainnya karenanya lemahnya law enforcement. "Kewibawaan hukum begitu lemah dari PPKM Darurat kali ini. Oknum pencari untung dari krisis oksigen dan Ivermectin tetap merajalela meski pemerintah sudah menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Intinya aturan terasa tidak hadir dilapangan karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum."
Hidayat juga melihat, selain lemahnya instrumen law enforcement, instrumen keuangan juga tidak dikuatkan dalam PPKM Darurat kali ini. Meskipun Menko Perekonomian telah mengusulkan tambahan Rp225,4 triliun untuk penanganan pandemi dari sisi kesehatan dan perlindungan sosial masuk dalam program PEN, implementasinya pasti memerlukan waktu 1-2 minggu paling cepat untuk administrasinya dan butuh waktu 1 bulan paling cepat untuk implementasi lapangannya. "Sementara PPKM Darurat berakhir 20 Juli, dukungan keuangan terlambat," katanya.
Mantan ketua BEM UI ini melihat kebijakan PPKM Darurat ini adalah contoh bagaimana kebijakan penanganan pandemi tidak terstruktur. Pemerintah gagap dan tidak belajar selama satu tahun kemarin.
"Saya kaget karena penambahan anggaran baru diusulkan setelah PPKM Darurat berjalan tiga hari, padahal RS sudah bleeding keuangannya. Pembayaran kurang bayar penanganan Covid-19 di tahun 2020 perlu dibayar segera untuk membantu rumah sakit. Insentif tenaga kesehatan dan anggaran penambahan obat-obatan tidak bisa menunggu birokrasi administrasi yang panjang," jelasnya.
Dia menyarankan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanggil langsung Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menyusun draf perubahan dari Perpres No.113 Tahun 2020. Tanpa perubahan payung hukum Perpres No.113 Tahun 2020, APBN 2021 tidak bisa diubah begitu saja untuk membantu penanganan kesehatan dan bantuan sosial kepada masyarakat.
"APBN 2021 tidak didesain mengantisipasi varian Delta Covid-19, karena itu perlu disesuaikan dengan APBN-P 2021 dengan memasukkan tambahan anggaran untuk kesehatan dan bantuan sosial yang besar. Penyesuaian perlu dilakukan dengan revisi Perpres No.113/2020. Bila tidak, negara tidak memiliki payung hukum untuk perubahan APBN 2021 tersebut."
Patut diingat APBN tidak lagi memerlukan persetujuan DPR, pemerintah menetapkan Perpres No.113/2020 merupakan payung hukum perencanaan, penetapan, dan pelaksanaan APBN tahun 2021. Karena itu perubahan APBN 2021 cukup dilakukan perubahan Perpres No.113/2020.
Dia memandang bahwa ada gap besar antara kecepatan laju kematian imbas Covid-19 dengan kecepatan koordinasi dan kepemimpinan pemerintah dalam penanganan Covid-19, koordinasi perlu langsung di tangan Presiden.
"Untuk mempersempit gap leadership, PPKM Darurat tidak bisa dikoordinasikan oleh selain Presiden. Bila varian Delta diibaratkan sebagai serangan masif terhadap publik Indonesia, maka Presiden lah yang harus memimpin counter attack dari serangan tersebut, bukan pembantu Presiden," tegasnya.
Menurutnya, kepemimpinan Presiden inilah yang akan mampu meredam harga oksigen dan obat-obatan, memimpin penegakan hukum bagi perusahaan non esensial dan non kritikal pelanggar PPKM Darurat, mengatur anggaran untuk membantu RS dan menyediakan bantuan sosial bagi mereka yang membutuhkannya.
"Hanya perintah Presiden yang mampu meredam karena sejumlah kemewahan eksekutif yang dimilikinya. Termasuk hanya Presiden yang bisa menutup gerbang pintu masuk Indonesia dari warga asing," pungkasnya.
(zik)