Normal Baru dalam Bisnis dan Aktivitas Masyarakat

Selasa, 26 Mei 2020 - 17:17 WIB
loading...
A A A
Dalam kurun waktu lebih dari 3 bulan, kita menyaksikan bahwa upaya pengendalian penyebaran virus cenderung makin longgar atau dilonggarkan. Hal itu sesungguhnya mengirimkan pesan lain bahwa pelonggaran tersebut merupakan respons para pengambil kebijakan, baik di dalam pemerintahan atau bisnis, bahwa setelah 3 bulan situasi pandemi masih belum dapat dikendalikan 100%, tetapi kehidupan harus tetap berjalan terus.

Keputusan yang membuat sebagian warga berdebar tersebut juga merupakan respons psikologi normal masyarakat bahwa mereka juga semakin tertekan berada dalam situasi penuh keterbatasan. Ya keterbatasan gerak, maupun keterbatasan akibat makin menipisnya logisitik maupun finansial.

Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization) mengirimkan pesan yang masih sama. Negara-negara harus melanjutkan tindakan berbasis bukti-bukti di lapangan dan melakukan berbagai assessment yang menyangkut kesehatan dan kondisi sosial masyarakatnya.

Fokus harus diarahkan pada epidemiologi lokal dari Covid-19 untuk terus mengidentifikasi titik-titik panas baru penyebaran dan klaster-klaster baru yang muncul, dan meningkatkan kapasitas sistem perlindungan untuk menemukan, mengisolasi, sampai dengan mengarantina kontak-kontak yang muncul dari titik dan klaster baru tersebut. Demikian WHO mengingatkan.

Ketika negara-negara –termasuk Indonesia—mulai mendorong kondisi menuju “Normal Baru” yang menekankan pada aspek ekonomi dan sosial, para pengambil keputusan bisnis dan pemerintahan yang paling berpengaruh dalam menciptakan kondisi “Normal Baru” seharusnya telah memastikan bahwa protokol kesehatan tetap terpenuhi dan sekaligus memberikan dukungan terhadap anggota masyarakat dan para pekerjanya untuk kembali dapat bekerja secara normal. Yaitu dalam Normal Baru.

Pandemi Covid-19, dengan demikian, merupakan upaya dari setiap pengambil kebijakan untuk menata suatu ekosistem bekerja yang sama sekali baru, dalam upaya mereka untuk menggerakkan aktivitas ekonomi, mulai dari produksi, distribusi, sampai dengan konsumsi. Contoh yang paling nyata dari pandemi adalah perubahan pola kerja yang semula bersifat sentralistik dalam klaster-klaster bisnis dan pemerintahan di satu kawasan, menjadi terdesentralisasi dalam kantong-kantong hunian baik kawasan perumahan biasa maupun kawasan hunian vertikal.

Pola koordinasi dan komunikasi antara pegawai dengan pegawai lainnya, antara pegawai dengan atasan, atau produsen dengan distributor dan konsumen, sekarang telah berubah sama sekali sejak pandemi ini terjadi. Penggunaan perangkat komunikasi virtual seperti Zoom, Google Meet, Google Hangout, Slack, Lark, dan semacamnya, telah menggantikan koordinasi dan komunikasi fisik dalam bentuk rapat, seminar, diskusi, atau layanan konsumen.

Oleh karena itu, proses koordinasi dan komunikasi yang dilakukan secara virtual sepanjang masa pandemi ini harus menjadi bagian dari restrukturisasi bisnis proses di level organisasi bisnis maupun pemerintahan. Mengabaikan perubahan ini pada kondisi Normal Baru dan memaksakan proses koordinasi dan komunikasi menggunakan pola lama akan membuat setiap entitas organisasi kehilangan relevansi, karena koordinasi dan komunikasi virtual sudah menjadi bagian dari proses bekerja.

Justru banyak orang merasakan efektivitas dan produktivitas bekerja secara virtual ini. Mereka dapat bekerja tanpa harus kehilangan waktu menempuh perjalanan dari rumah ke kantor.

Dalam konteks Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia, itu berarti mereka bisa menghemat 2-5 jam sehari, tergantung jarak dan kemacetan di jalanan. Yang lebih penting lagi, mereka dapat melakukan pekerjaan secara paralel dalam satu waktu, sehingga tidak perlu menumpuk pekerjaan yang pada akhirnya sering tidak dapat diselesaikan dan terus menggunung dari waktu ke waktu.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1641 seconds (0.1#10.140)