Pentingnya Motivasi dalam Pandemi Berkepanjangan
loading...
A
A
A
Muhamad Ali
Pemerhati Human Capital Management
SEKARANG sudah satu tengah tahun. Dan kita masih berada dalam situasi yang sama. Bahkan lebih buruk. Informasi yang beredar di luaran sana, situasi makin mengkhawatirkan akibat penularan virus Covid-19 yang menggila di mana-mana.
Tingkat penularan bertambah cepat. Jumlah korban terpapar virus melesat pesat. Jumlah yang meninggal tak terselamatkan juga demikian. Rumah sakit dan tenaga medis kewalahan.
Dalam konteks bisnis, situasi tersebut juga sudah membunyikan alarm tanda siaga. Target-target usaha yang sudah dikoreksi pada perencanaan awal tahun, boleh jadi perlu direvisi kembali mengingat situasinya sudah berubah dari yang diprediksi.
Di awal tahun, sebagian besar mengira bahwa pandemi akan segera berakhir dengan beredarnya vaksinasi massal terbesar dalam sejarah yang melibatkan jumlah orang yang divaksin dalam angka yang juga paling besar, dengan keserentakan yang juga tidak pernah terjadi sebelumnya.
Sebagian organisasi maupun korporasi sudah memiliki pengalaman beradaptasi sepanjang setahun lebih berdampingan dengan kenyataan pandemi. Ini tentu membawa perubahan dalam pola penyesuaian dibandingkan dengan pada awal-awal terjadinya pandemi di tahun lalu. Kecepatan beradaptasi ini menjadi sangat penting bagi organisasi (bisnis maupun birokrasi) untuk dapat sekadar bertahan dari terpaan.
Motivasi sebagai Kunci
Bagi kita yang sudah terbiasa untuk bekerja secara virtual dengan koordinasi dan komunikasi yang juga berlangsung secara virtual, mengikuti ritme kerja yang demikian sesungguhnya telah menjadi suatu kebiasaan. Pembiasaan aktivitas sehingga menjadi habit, pada umumnya sudah dapat terbentuk ketika orang menjalani kegiatan yang sama secara berturut-turut dan konsisten selama 60 hari atau dua bulan. Artinya, dengan pandemi yang sudah memasuki bulan ke-16, kita telah delapan kali mengalami siklus pembiasaan.
Dalam pola kerja atau aktivitas yang berubah, pada umumnya yang diukur atas perubahan tersebut adalah output dan outcome yang dihasilkan oleh suatu unit kerja dalam organisasi atau korporasi. Output mengandaikan suatu hasil yang nyata dan dapat diukur, dikuantifikasi, dirasakan, dilihat, sehingga menghasilkan dampak yang lebih bersifat kualitatif.
Tantangannya adalah bagaimana menjaga supaya output atau outcome yang ditetapkan dapat dipenuhi oleh seorang pegawai atau pekerja, di tengah-tengah beban atau persoalan yang harus mereka tanggung selama menghadapi pandemi. Biaya kesehatan yang meningkat, pendapatan yang menurun, rasa cemas atau takut yang muncul, dan lebih jauh lagi masa depan yang terlihat muram.
Persoalannya, membangkitkan motivasi di tengah minimnya interaksi secara fisik sungguh tidak mudah. Suasana pandemi membuatnya makin muram. Tekanan emosional dan ekonomi sangatlah dominan di kalangan para pekerja atau pegawai, karena mereka sungguh-sungguh merasakan perbedaan yang ekstrem antara suasana sebelum dan pada saat pandemi.
Dalam kondisi seperti itu, apa yang ada dalam bayangan paling dekat adalah bagaimana supaya tidak kehilangan pekerjaan, bagaimana membayar tagihan dan pengeluaran ini itu, atau bagaimana melindungi diri mereka dan keluarga dengan proteksi kesehatan yang memadai.
Namun yang tidak mudah itu bukan berarti tidak mungkin. Bagaimana itu mungkin? Interaksi fisik yang minim, koordinasi yang serba terbatas dan komunikasi yang terhambat harus tetap menciptakan “Ruang Bermain” yang cukup bagi setiap pekerja atau pegawai.
Bagaimanapun ruang bermain adalah ruang ideal bagi setiap manusia, karena hanya pada ruang bermain inilah secara psikologis mereka terbebaskan dari tekanan-tekanan yang berat. Ruang bermain bukan berarti bekerja sambil main-main atau bekerja secara tidak serius.
Ruang bermain adalah ruang yang tercipta dalam suasana kerja yang bernuansa rekreatif. Dengan demikian, para pekerja tetap termotivasi sehingga menjadi stabil tingkat produktivitasnya.
Berikutnya adalah menciptakan “Ruang Kolaborasi” yang seluas-luasnya. Ruang itu dapat dibangun atau diciptakan secara horizontal di antara sesama pegawai dalam unit atau departemen yang sama, atau secara vertikal antara pegawai dengan atasan langsungnya maupun atasan-atasan tidak langsungnya.
Ruang kolaborasi akan memberikan kemungkinan setiap pegawai atau pekerja melakukan koordinasi dan komunikasi secara lebih intensif, dan dengan demikian menciptakan suasana untuk mengenal lebih jauh mereka yang selama ini tidak ada dalam jangkauan struktur organisasi mereka.
Para manajer dan pemimpin dalam unit organisasi dituntut untuk dapat menciptakan kreativitas-kreativitas bekerja yang lebih mendorong terciptanya ruang bermain dan ruang kolaborasi ini, sehingga para pekerja tidak mengalami overthinking atas situasi yang menekan mereka selama pandemi.
Oleh karena pendekatan ini pada umumnya merupakan hal baru di dalam organisasi, maka keberanian dan kebebasan untuk melakukan eksperimen atau percobaan dengan risiko gagal haruslah bersifat non-punishment. Pola trial-error and trial again menjadi relevan untuk diadopsi sebagai metode untuk menciptakan dua ruang tersebut.
Pemerhati Human Capital Management
SEKARANG sudah satu tengah tahun. Dan kita masih berada dalam situasi yang sama. Bahkan lebih buruk. Informasi yang beredar di luaran sana, situasi makin mengkhawatirkan akibat penularan virus Covid-19 yang menggila di mana-mana.
Tingkat penularan bertambah cepat. Jumlah korban terpapar virus melesat pesat. Jumlah yang meninggal tak terselamatkan juga demikian. Rumah sakit dan tenaga medis kewalahan.
Dalam konteks bisnis, situasi tersebut juga sudah membunyikan alarm tanda siaga. Target-target usaha yang sudah dikoreksi pada perencanaan awal tahun, boleh jadi perlu direvisi kembali mengingat situasinya sudah berubah dari yang diprediksi.
Di awal tahun, sebagian besar mengira bahwa pandemi akan segera berakhir dengan beredarnya vaksinasi massal terbesar dalam sejarah yang melibatkan jumlah orang yang divaksin dalam angka yang juga paling besar, dengan keserentakan yang juga tidak pernah terjadi sebelumnya.
Sebagian organisasi maupun korporasi sudah memiliki pengalaman beradaptasi sepanjang setahun lebih berdampingan dengan kenyataan pandemi. Ini tentu membawa perubahan dalam pola penyesuaian dibandingkan dengan pada awal-awal terjadinya pandemi di tahun lalu. Kecepatan beradaptasi ini menjadi sangat penting bagi organisasi (bisnis maupun birokrasi) untuk dapat sekadar bertahan dari terpaan.
Motivasi sebagai Kunci
Bagi kita yang sudah terbiasa untuk bekerja secara virtual dengan koordinasi dan komunikasi yang juga berlangsung secara virtual, mengikuti ritme kerja yang demikian sesungguhnya telah menjadi suatu kebiasaan. Pembiasaan aktivitas sehingga menjadi habit, pada umumnya sudah dapat terbentuk ketika orang menjalani kegiatan yang sama secara berturut-turut dan konsisten selama 60 hari atau dua bulan. Artinya, dengan pandemi yang sudah memasuki bulan ke-16, kita telah delapan kali mengalami siklus pembiasaan.
Dalam pola kerja atau aktivitas yang berubah, pada umumnya yang diukur atas perubahan tersebut adalah output dan outcome yang dihasilkan oleh suatu unit kerja dalam organisasi atau korporasi. Output mengandaikan suatu hasil yang nyata dan dapat diukur, dikuantifikasi, dirasakan, dilihat, sehingga menghasilkan dampak yang lebih bersifat kualitatif.
Tantangannya adalah bagaimana menjaga supaya output atau outcome yang ditetapkan dapat dipenuhi oleh seorang pegawai atau pekerja, di tengah-tengah beban atau persoalan yang harus mereka tanggung selama menghadapi pandemi. Biaya kesehatan yang meningkat, pendapatan yang menurun, rasa cemas atau takut yang muncul, dan lebih jauh lagi masa depan yang terlihat muram.
Persoalannya, membangkitkan motivasi di tengah minimnya interaksi secara fisik sungguh tidak mudah. Suasana pandemi membuatnya makin muram. Tekanan emosional dan ekonomi sangatlah dominan di kalangan para pekerja atau pegawai, karena mereka sungguh-sungguh merasakan perbedaan yang ekstrem antara suasana sebelum dan pada saat pandemi.
Dalam kondisi seperti itu, apa yang ada dalam bayangan paling dekat adalah bagaimana supaya tidak kehilangan pekerjaan, bagaimana membayar tagihan dan pengeluaran ini itu, atau bagaimana melindungi diri mereka dan keluarga dengan proteksi kesehatan yang memadai.
Namun yang tidak mudah itu bukan berarti tidak mungkin. Bagaimana itu mungkin? Interaksi fisik yang minim, koordinasi yang serba terbatas dan komunikasi yang terhambat harus tetap menciptakan “Ruang Bermain” yang cukup bagi setiap pekerja atau pegawai.
Bagaimanapun ruang bermain adalah ruang ideal bagi setiap manusia, karena hanya pada ruang bermain inilah secara psikologis mereka terbebaskan dari tekanan-tekanan yang berat. Ruang bermain bukan berarti bekerja sambil main-main atau bekerja secara tidak serius.
Ruang bermain adalah ruang yang tercipta dalam suasana kerja yang bernuansa rekreatif. Dengan demikian, para pekerja tetap termotivasi sehingga menjadi stabil tingkat produktivitasnya.
Berikutnya adalah menciptakan “Ruang Kolaborasi” yang seluas-luasnya. Ruang itu dapat dibangun atau diciptakan secara horizontal di antara sesama pegawai dalam unit atau departemen yang sama, atau secara vertikal antara pegawai dengan atasan langsungnya maupun atasan-atasan tidak langsungnya.
Ruang kolaborasi akan memberikan kemungkinan setiap pegawai atau pekerja melakukan koordinasi dan komunikasi secara lebih intensif, dan dengan demikian menciptakan suasana untuk mengenal lebih jauh mereka yang selama ini tidak ada dalam jangkauan struktur organisasi mereka.
Para manajer dan pemimpin dalam unit organisasi dituntut untuk dapat menciptakan kreativitas-kreativitas bekerja yang lebih mendorong terciptanya ruang bermain dan ruang kolaborasi ini, sehingga para pekerja tidak mengalami overthinking atas situasi yang menekan mereka selama pandemi.
Oleh karena pendekatan ini pada umumnya merupakan hal baru di dalam organisasi, maka keberanian dan kebebasan untuk melakukan eksperimen atau percobaan dengan risiko gagal haruslah bersifat non-punishment. Pola trial-error and trial again menjadi relevan untuk diadopsi sebagai metode untuk menciptakan dua ruang tersebut.
(poe)