Kapal Otonom dan Disrupsi Sektor Maritim

Senin, 21 Juni 2021 - 07:29 WIB
loading...
Kapal Otonom dan Disrupsi Sektor Maritim
Kapal Otonom dan Disrupsi Sektor Maritim
A A A
Muhammad Dzar Azhari

Direktur Kajian Maritim CELIOS

Terdapat sebuah kemajuan pesat dalam bidang kapal laut tanpa awak atau yang sering disebut kapal otonom. Layaknya mobil yang dapat berjalan sendiri tanpa sopir, ternyata industri perkapalan juga bergerak menuju arah yang sama. Kapal ukuran raksasa yang mengangkut logistik dapat bergerak dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain tanpa nakhoda manual sama sekali. Seluruh sistem diatur menggunakan kendali jarak jauh, bahkan terdapat teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mengarahkan kapal sampai ke titik yang diinginkan.

Perkembangan Kapal Otonom

Teknologi kapal otonom sendiri telah dikembangkan secara masif dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, pada 2019, beberapa proyek pengembangan MASS (Maritime Autonomous Surface Ships) telah dikembangkan dan salah satu yang paling terkenal adalah MV Yara Birkeland. Kesuksesan pengembangan kapal otonom membuka perdebatan berikutnya terkait regulasi karena kapal otonom merupakan hal yang baru di dunia maritim. Pada Mei 2021, Maritime Safety Committee (MSC), bagian dari International Maritime Organization (IMO) selesai menyusun arah pandang tentang regulasi untuk Maritime Autonomous Surface Ships (MASS) atau dapat disebut sebagai kapal otonom.

Norwegia sebagai salah satu negara anggota organisasi maritim internasional bahkan sudah membuat regulasi untuk mengakomodasi perkembangan kapal otonom. Garis besar kapal otonom tertuang dalam Regulatory Scoping sehingga menjadi petunjuk bagi negara lain untuk mengadopsi aturan kapal otonom sesuai konteks lokal. Terkait regulasi terdapat setidaknya empat tingkat yang menunjukkan tahap adopsi teknologi kapal otonom di dunia. Tingkat pertama adalah kapal berawak dengan proses otomatis dan alat dukung pengambilan keputusan; tingkat kedua, kapal yang dikendalikan dari jarak jauh dengan pelaut di dalamnya; tingkat ketiga, kapal yang dikendalikan dari jarak jauh tanpa pelaut di atas kapal; dan tingkat keempat, kapal yang sepenuhnya otonom. Melihat dari upaya pemisahan tingkat tersebut, tampak diskursus internasional soal kapal otonom cukup sadar akan potensi teknologi otonom ini. Dalam kondisi existing, biaya perkapalan salah satunya muncul karena membutuhkan tenaga manusia yang tidak sedikit.

Dalam suatu kapal untuk dapat beroperasi, kapal harus memiliki nakhoda, navigator, teknisi, dan ABK (Anak Buah Kapal) lainnya. Tenaga dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengoperasikan suatu kapal dengan baik dan aman tidaklah sedikit. Otomatis efisiensi menjadi strategi bertahan bagi pelaku industri logistik laut. Kondisi di industri logistik laut jelas berbeda dengan moda transportasi yang lain.

Sebagai negara dengan potensi maritim yang besar, Indonesia diperkirakan akan mengadopsi teknologi perkapalan otonom karena merupakan keniscayaan. Sama halnya dengan transformasi industri manufaktur menjadi AI (artificial intelligence) atau lebih spesifiknya mobil listrik yang mengarah pada autonomus vehicle (mobil otonom). Tetapi, transisi karena pengaruh teknologi akan membawa dampak terhadap jutaan tenaga kerja yang bergantung pada rantai pasok industri logistik laut.

Disrupsi Tenaga Kerja

Poin yang perlu sangat diperhatikan dalam regulasi kapal otonom ini sendiri adalah pada awak di atas kapal. Semakin tinggi tingkatan otonom kapal, maka akan semakin sedikit tenaga kerja manual di atas kapal. Semakin sedikit tenaga kerja di atas kapal, semakin berkurang lapangan kerja. Pemahaman efek sebab-akibat yang sangat mudah untuk dipahami, tetapi dalam kehidupan sosial dapat menimbulkan efek yang berkepanjangan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1330 seconds (0.1#10.140)