RUU Otsus Cuma Direvisi 2 Pasal, Masyarakat Papua Ajukan Keberatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (RUU Otsus Papua) di Panitia Khusus (Pansus) DPR bersama dengan pemerintah, tengah menjadi sorotan publik. Khususnya mengenai 2 pasal yang akan direvisi.
Perwakilan masyarakat Papua merasa keberatan jika hanya 2 Pasal yang direvisi dalam RUU tersebut. Hal ini disampaikan perwakilan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP) saat audiensi dengan MPR RI.
"Kita memberikan apresiasi keinginan untuk melakukan perubahan UU Otsus karena UU itu tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan sosial politik di Papua. Tapi ketika pembahasannya hanya dua pasal, itu menurut kami yang masih perlu kita diskusikan, saya anggap sangat sayang momen yang terbaik ini kita hanya memberikan dua pasal," kata Asisten II Sekda Pemprov Papua, Mohammad Musa'ad seusai audiensi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (10/6/2021).
Musa'ad menguraikan, ada lima kerangka yang usulan dalam RUU Otsus Papua. Yakni, kewenangannya harus diperbaiki; kewenangan perlu diperjelas; soal kelembagaannya, hubungan provinsi, kabupaten, DPR Papua (DPRP) dan MRP; kebijakan pembangunannya; dan soal politik hukum dan HAM. "Itu lah kepentingan kita datang ke MPR untuk menyampaikan ini, nanti secara tertulis kita sampaikan. Teman-teman MRP yang sudah melakukan RDP di berbagai lini stekholder, DPRP juga ada pansusnya," terangnya.
Senada, Ketua MPRP Timotius Murib menjelaskan pada hari ini unsur pimpinan dan anggota dari tim RUU Otsus dari MRP menghadiri undangan dari MPR for Papua di mana terkait dinamika proses revisi kedua UU Nomor 21/2001 yang sedang diegelar DPR RI hari ini. MRP mempertanyakan proses dan mekanisme yang dilakukan dalam revisi tersebut, karena secara konstitusi Pasal 77 UU Otsus Papua Nomor 21 tahun 2001 itu menghendaki usul perubahan itu dilakukan oleh rakyat Papua melalui DPRP dan MRP kepada pemerintah dan DPR sesuai peraturan UU yang berlaku. "Itu amanat itu seprti itu tapi kemudian hari ini sesuai dengan Supres pada 4 Desember 2020, disampaikan kepada DPR untuk segera melakukan revisi UU Otsus," kata Timotius di kesempatan sama.
Kemudian, dia melanjutkan, hari ini perubahan itu hanya dua pasal dari 79 pasal. Padahal menurut rakyat Papua, semua pasal itu perlu dievaluasi sesuai dengan arahan presiden pada 11 Februari 2020 bahwa evaluasi UU Otsus Papua harus dilakukan secara menyeluruh. Tapi yang terjadi hanya dua pasal.
"Oleh karena itu, MRP mempertanyakan kenapa hanya dua pasal yang dibicarakan. Sementara implementasi otsus sudah 20 tahun. Ini waktu yang cukup panjang dan lama, karena perubahan ini dilakukan untuk 20 tahun ke depan. Saya kira waktu 20 tahun ke depan itu waktu yang cukup panjang dan menentukan kehidupan rakyat di tanah Papua, perubahan ini harus dilakukan secara menyeluruh dan berbagai aspek yang kita lihat karena mrp juga aspek hukum kita di tanah papua hari ini sangat buruk. Ini yang harus diperbaiki," imbuh Timotius.
Karena, dia mengungkap, dua pasal iti Pasal 34 tentang Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pasal 76 terkait pemekaran. Sedangkan Pasal 76 itu MPR mempertanyakan korelasi dan urgensinya apa. Dengan demikian semua kegiatan yang dilakukan pemerintah pusat, kalau ada pemekaran, maka harus memperbaiki dulu infrastruktur dan hukum agar baik, supaya walaupun ada pemekaran juga lebih baik. "Kalau hari ini infrastruktur kita masih buruk, kalau bicara pemekaran saya kira akan bermasalah. Kalau ada pemekaran tanpa ada perbaikan hukum di Papua saya pikir belum saatnya kita bicara pemekaran," tandasnya.
Perwakilan masyarakat Papua merasa keberatan jika hanya 2 Pasal yang direvisi dalam RUU tersebut. Hal ini disampaikan perwakilan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP) saat audiensi dengan MPR RI.
"Kita memberikan apresiasi keinginan untuk melakukan perubahan UU Otsus karena UU itu tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan sosial politik di Papua. Tapi ketika pembahasannya hanya dua pasal, itu menurut kami yang masih perlu kita diskusikan, saya anggap sangat sayang momen yang terbaik ini kita hanya memberikan dua pasal," kata Asisten II Sekda Pemprov Papua, Mohammad Musa'ad seusai audiensi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (10/6/2021).
Musa'ad menguraikan, ada lima kerangka yang usulan dalam RUU Otsus Papua. Yakni, kewenangannya harus diperbaiki; kewenangan perlu diperjelas; soal kelembagaannya, hubungan provinsi, kabupaten, DPR Papua (DPRP) dan MRP; kebijakan pembangunannya; dan soal politik hukum dan HAM. "Itu lah kepentingan kita datang ke MPR untuk menyampaikan ini, nanti secara tertulis kita sampaikan. Teman-teman MRP yang sudah melakukan RDP di berbagai lini stekholder, DPRP juga ada pansusnya," terangnya.
Senada, Ketua MPRP Timotius Murib menjelaskan pada hari ini unsur pimpinan dan anggota dari tim RUU Otsus dari MRP menghadiri undangan dari MPR for Papua di mana terkait dinamika proses revisi kedua UU Nomor 21/2001 yang sedang diegelar DPR RI hari ini. MRP mempertanyakan proses dan mekanisme yang dilakukan dalam revisi tersebut, karena secara konstitusi Pasal 77 UU Otsus Papua Nomor 21 tahun 2001 itu menghendaki usul perubahan itu dilakukan oleh rakyat Papua melalui DPRP dan MRP kepada pemerintah dan DPR sesuai peraturan UU yang berlaku. "Itu amanat itu seprti itu tapi kemudian hari ini sesuai dengan Supres pada 4 Desember 2020, disampaikan kepada DPR untuk segera melakukan revisi UU Otsus," kata Timotius di kesempatan sama.
Kemudian, dia melanjutkan, hari ini perubahan itu hanya dua pasal dari 79 pasal. Padahal menurut rakyat Papua, semua pasal itu perlu dievaluasi sesuai dengan arahan presiden pada 11 Februari 2020 bahwa evaluasi UU Otsus Papua harus dilakukan secara menyeluruh. Tapi yang terjadi hanya dua pasal.
"Oleh karena itu, MRP mempertanyakan kenapa hanya dua pasal yang dibicarakan. Sementara implementasi otsus sudah 20 tahun. Ini waktu yang cukup panjang dan lama, karena perubahan ini dilakukan untuk 20 tahun ke depan. Saya kira waktu 20 tahun ke depan itu waktu yang cukup panjang dan menentukan kehidupan rakyat di tanah Papua, perubahan ini harus dilakukan secara menyeluruh dan berbagai aspek yang kita lihat karena mrp juga aspek hukum kita di tanah papua hari ini sangat buruk. Ini yang harus diperbaiki," imbuh Timotius.
Karena, dia mengungkap, dua pasal iti Pasal 34 tentang Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pasal 76 terkait pemekaran. Sedangkan Pasal 76 itu MPR mempertanyakan korelasi dan urgensinya apa. Dengan demikian semua kegiatan yang dilakukan pemerintah pusat, kalau ada pemekaran, maka harus memperbaiki dulu infrastruktur dan hukum agar baik, supaya walaupun ada pemekaran juga lebih baik. "Kalau hari ini infrastruktur kita masih buruk, kalau bicara pemekaran saya kira akan bermasalah. Kalau ada pemekaran tanpa ada perbaikan hukum di Papua saya pikir belum saatnya kita bicara pemekaran," tandasnya.
(cip)