TWK Sesuai Hukum Tata Negara, Pengamat: KPK-BKN Tak Usah Penuhi Panggilan Komnas HAM
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menonaktifkan 75 pegawainya setelah dinyatakan tidak lolos dalam Test Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam upaya alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Analis Konflik dan Keamanan Alto Labetubun menilai, sebenarnya polemik TWK tidak perlu terjadi. Sebab, TWK merupakan teknis aparatur negara dalam mengimplementasikan undang undang. ”TWK dimandatkan UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN dimana terdapat asas dan nilai dasar ASN antara lain meliputi kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI & Pemerintah. Selain itu terdapat UU No 19 Tahun 2019 Tentang KPK yang menyatakan pegawai KPK adalah ASN,” ujarnya.
Setelahnya, dikeluarkan aturan turunan yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 41 Tahun 2020 yang mengatur tentang pengalihan pegawai KPK menjadi ASN. Detail yang mengatur PP ini kemudian diterbitkan Perkom KPK No 1 Tahun 2021 yang mengatur tata cara dan mekanisme pengalihan status pegawai menjadi ASN yang di dalamnya secara jelas dan tegas mengatur syarat-syarat menjadi ASN KPK antara lain, bersedia menjadi ASN, setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintah yang sah dan tidak terlibat kegiatan organisasi terlarang yang kesemua itu bisa dipenuhi melalui asesmen TWK oleh KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN). ”Semua aturan perundangan di atas jelas dan tegas secara runut dan runtut mengatur bahwa TWK tidak ada masalah serta clear and clean secara hukum tata negara yang berlaku,” ucapnya.
Selanjutnya, BKN menggandeng pihak terkait yang dikenal kredible dan mumpuni melaksanakan test wawasan kebangsaan untuk menyelenggarakan asesmen sebagaimana juga diterapkan kepada semua calon ASN yakni Kemenpan RB, Kemenkumham, Pusintel TNI AD, PusPsikologi TNI AD dan BNPT. Dengan dasar aturan tersebut kemudian dilaksanakan TWK terhadap 1.351 pegawai KPK dan hasilnya 1.274 memenuhi syarat (MS) dan 75 orang Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Polemik kemudian muncul akibat 75 orang yang tidak lulus asesmen berafiliasi dengan kelompok tertentu yang selama ini memang dikenal publik selalu membela segelintir golongan dalam KPK secara membabi buta dengan bermanuver untuk mempermasalahkan TWK. ”Alih-alih taat asas hukum tata negara yang jika ada masalah dengan keputusan aparatur dalam menjalankan undang-undang maka saluran yang paling pas adalah gugat PTUN, tetapi mereka “mengibas sana sini” dengan melaporkan pimpinan KPK dan BKN ke ombudsman, sekelompok guru besar keblinger, Komnas perempuan, Pemuda Muhammadiyah, PGI, MUI dan terakhir melapor ke Komnas HAM,” ucapnya.
Berdasarkan data yang dirilis oleh pemerintah dan lembaga lainnya jelas dan nyata adanya ancaman ideologi bangsa dimana ada sekelompok warga yang berpaham selain Pancasila. Sejarah mencatat bahwa ada dua ideologi besar yang mengancam falsafah Pancasila yaitu ekstrem kiri dengan ideologi komunisnya dan ekstrem kanan dengan ideologi khilafahnya. Bukti nyata rongrongan ekstrem kiri adalah peristiwa PKI 1948 dan 1965. Sedangkan, gerakan ekstrem kanan dengan kejadian DI/TII dan NII di awal kemerdekaan.
”Tanpa menafikkan ekstrem kiri yang menurut data sudah tidak mungkin eksis ditandai dengan runtuhnya Uni Sovyet sebagai kiblat ideologi ini dan terbitnya TAP MPRS No 25/1966 yang secara tegas melarang pahamnya. Boleh dikatakan bahwa ancaman terbesar yang eksis saat ini tinggal dari ekstrem kanan dengan usulan ideologi khilafahnya. Paham transnasional ini dirasa sangat mengemuka di dasawarsa terakhir ditandai dengan kemunculan HTI dan kejadian-kejadian terorisme di Indonesia,” katanya.
Data menunjukkan perdebatan ideologi selain Pancasila sudah masuk sampai ke lembaga-lembaga negara. Keprihatinan ini kemudian menuntut negara dan pemerintah mengambil sikap untuk mencegah itu semua. Sisi positif TWK harusnya dilihat dalam konteks ini. Setiap calon ASN termasuk yang sudah ASN diwajibkan TWK untuk mencegah kontaminasi ideologi Pancasila seperti ideologi khilafah dan radikalisme termasuk paham komunisme.
”Kita tidak ingin membiarkan lembaga negara apalagi yang memiliki wewenang super dikuasai ASN yang anti-Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah. Kita ketahui bahwa 75 pegawai yang TMS TWK melaporkan pimpinan KPK ke Komnas HAM. Lalu dengan langkah seribu kemudian Komnas HAM memanggil pimpinan KPK termasuk BKN sebagai penyelenggara asesmen,” katanya.
Terkait pemanggilan Komnas HAM terhadap Pimpinan KPK, Alto menyarankan perlu untuk meminta informasi yang lebih lengkap dari Komnas HAM. “Semua pihak harus mendudukkan persoalan TWK ini apakah terkait dengan hukum tata negara atau masalah ham berat? TWK adalah urusan hukum tata negara. Lantas apa urusan Komnas HAM memanggil pimpinan KPK dan BKN? Dimana letak pelanggaran HAM berat dalam proses TWK ini? Apakah pimpinan KPK dan BKN menyelenggarakan asesmen TWK dalam rangka menjalankan amanat UU? dan kalau dalam menjalankan UU kok bisa dituduh melanggar HAM? Pertanyaan tersebut perlu dijawab Komnas HAM sebelum memanggil KPK dan BKN,” ucapnya.
Tanpa kejelasan ini, sambung Alto, pimpinan KPK dan BKN tidak perlu memenuhi panggilan karena masih banyak tugas-tugas pemberantasan korupsi yang lebih penting untuk dilakukan. ”Di waktu yang sama kita ketahui bahwa banyak kejadian HAM di negara ini yang perlu atensi dari Komnas HAM seperti pembantaian masyarakat sipil di Poso, di Papua, dan bahkan masalah unlawfull killing oleh penyidik KPK Novel Baswedan terhadap warga di Bengkulu terkait pencurian sarang burung walet yang sampai detik ini tidak jelas kelanjutannya. Publik memandang Komnas HAM absurd alias konyol,” paparnya.
Analis Konflik dan Keamanan Alto Labetubun menilai, sebenarnya polemik TWK tidak perlu terjadi. Sebab, TWK merupakan teknis aparatur negara dalam mengimplementasikan undang undang. ”TWK dimandatkan UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN dimana terdapat asas dan nilai dasar ASN antara lain meliputi kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI & Pemerintah. Selain itu terdapat UU No 19 Tahun 2019 Tentang KPK yang menyatakan pegawai KPK adalah ASN,” ujarnya.
Setelahnya, dikeluarkan aturan turunan yakni Peraturan Pemerintah (PP) No 41 Tahun 2020 yang mengatur tentang pengalihan pegawai KPK menjadi ASN. Detail yang mengatur PP ini kemudian diterbitkan Perkom KPK No 1 Tahun 2021 yang mengatur tata cara dan mekanisme pengalihan status pegawai menjadi ASN yang di dalamnya secara jelas dan tegas mengatur syarat-syarat menjadi ASN KPK antara lain, bersedia menjadi ASN, setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintah yang sah dan tidak terlibat kegiatan organisasi terlarang yang kesemua itu bisa dipenuhi melalui asesmen TWK oleh KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN). ”Semua aturan perundangan di atas jelas dan tegas secara runut dan runtut mengatur bahwa TWK tidak ada masalah serta clear and clean secara hukum tata negara yang berlaku,” ucapnya.
Selanjutnya, BKN menggandeng pihak terkait yang dikenal kredible dan mumpuni melaksanakan test wawasan kebangsaan untuk menyelenggarakan asesmen sebagaimana juga diterapkan kepada semua calon ASN yakni Kemenpan RB, Kemenkumham, Pusintel TNI AD, PusPsikologi TNI AD dan BNPT. Dengan dasar aturan tersebut kemudian dilaksanakan TWK terhadap 1.351 pegawai KPK dan hasilnya 1.274 memenuhi syarat (MS) dan 75 orang Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Polemik kemudian muncul akibat 75 orang yang tidak lulus asesmen berafiliasi dengan kelompok tertentu yang selama ini memang dikenal publik selalu membela segelintir golongan dalam KPK secara membabi buta dengan bermanuver untuk mempermasalahkan TWK. ”Alih-alih taat asas hukum tata negara yang jika ada masalah dengan keputusan aparatur dalam menjalankan undang-undang maka saluran yang paling pas adalah gugat PTUN, tetapi mereka “mengibas sana sini” dengan melaporkan pimpinan KPK dan BKN ke ombudsman, sekelompok guru besar keblinger, Komnas perempuan, Pemuda Muhammadiyah, PGI, MUI dan terakhir melapor ke Komnas HAM,” ucapnya.
Berdasarkan data yang dirilis oleh pemerintah dan lembaga lainnya jelas dan nyata adanya ancaman ideologi bangsa dimana ada sekelompok warga yang berpaham selain Pancasila. Sejarah mencatat bahwa ada dua ideologi besar yang mengancam falsafah Pancasila yaitu ekstrem kiri dengan ideologi komunisnya dan ekstrem kanan dengan ideologi khilafahnya. Bukti nyata rongrongan ekstrem kiri adalah peristiwa PKI 1948 dan 1965. Sedangkan, gerakan ekstrem kanan dengan kejadian DI/TII dan NII di awal kemerdekaan.
”Tanpa menafikkan ekstrem kiri yang menurut data sudah tidak mungkin eksis ditandai dengan runtuhnya Uni Sovyet sebagai kiblat ideologi ini dan terbitnya TAP MPRS No 25/1966 yang secara tegas melarang pahamnya. Boleh dikatakan bahwa ancaman terbesar yang eksis saat ini tinggal dari ekstrem kanan dengan usulan ideologi khilafahnya. Paham transnasional ini dirasa sangat mengemuka di dasawarsa terakhir ditandai dengan kemunculan HTI dan kejadian-kejadian terorisme di Indonesia,” katanya.
Data menunjukkan perdebatan ideologi selain Pancasila sudah masuk sampai ke lembaga-lembaga negara. Keprihatinan ini kemudian menuntut negara dan pemerintah mengambil sikap untuk mencegah itu semua. Sisi positif TWK harusnya dilihat dalam konteks ini. Setiap calon ASN termasuk yang sudah ASN diwajibkan TWK untuk mencegah kontaminasi ideologi Pancasila seperti ideologi khilafah dan radikalisme termasuk paham komunisme.
”Kita tidak ingin membiarkan lembaga negara apalagi yang memiliki wewenang super dikuasai ASN yang anti-Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah. Kita ketahui bahwa 75 pegawai yang TMS TWK melaporkan pimpinan KPK ke Komnas HAM. Lalu dengan langkah seribu kemudian Komnas HAM memanggil pimpinan KPK termasuk BKN sebagai penyelenggara asesmen,” katanya.
Terkait pemanggilan Komnas HAM terhadap Pimpinan KPK, Alto menyarankan perlu untuk meminta informasi yang lebih lengkap dari Komnas HAM. “Semua pihak harus mendudukkan persoalan TWK ini apakah terkait dengan hukum tata negara atau masalah ham berat? TWK adalah urusan hukum tata negara. Lantas apa urusan Komnas HAM memanggil pimpinan KPK dan BKN? Dimana letak pelanggaran HAM berat dalam proses TWK ini? Apakah pimpinan KPK dan BKN menyelenggarakan asesmen TWK dalam rangka menjalankan amanat UU? dan kalau dalam menjalankan UU kok bisa dituduh melanggar HAM? Pertanyaan tersebut perlu dijawab Komnas HAM sebelum memanggil KPK dan BKN,” ucapnya.
Tanpa kejelasan ini, sambung Alto, pimpinan KPK dan BKN tidak perlu memenuhi panggilan karena masih banyak tugas-tugas pemberantasan korupsi yang lebih penting untuk dilakukan. ”Di waktu yang sama kita ketahui bahwa banyak kejadian HAM di negara ini yang perlu atensi dari Komnas HAM seperti pembantaian masyarakat sipil di Poso, di Papua, dan bahkan masalah unlawfull killing oleh penyidik KPK Novel Baswedan terhadap warga di Bengkulu terkait pencurian sarang burung walet yang sampai detik ini tidak jelas kelanjutannya. Publik memandang Komnas HAM absurd alias konyol,” paparnya.
(cip)