Polemik Alih Status Pegawai KPK ke ASN, MAKI Gugat UU KPK ke MK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan kekisruhan pengalihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Aparatus Sipil Negara (ASN).
Dalam website resmi MK di berkas nomor 3026, selain MAKI permohonan juga diajukan oleh Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI). Mereka sama-sama memohon untuk uji materi yang sama.
"Hendak mengajukan pengujian Pasal 69B ayat (1) dan pasal 69C Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) terhadap Undang-undang Dasar 1945," tulis permohonan tersebut sebagaimana dilansir MNC Portal Indonesia, Jakarta, Sabtu (5/6/2021).
Sebagiaman termaktub, para pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil atas Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C Undang-undang nomor 19 Tahun 2019 yang menyebutkan:
Pasal 69B
(1) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai Aparatur Sipil Negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai Aparatur Sipil Negar sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69C
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai Aparatur Sipil Negar dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku diangkat menjadi pegawai Aparatur Sipil Negar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahwa 69B ayat (1) dan pasal 69C Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 sebagaimana dimaksud di atas bertentangan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, khususnya Pasal 27 (1), yang menyatakan, Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D, yang menyatakan (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
"Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo," bunyi permohonan itu.
Pemohon menyatakan jika mencermati bunyi konsideran dan penjelasan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019, terlihat bahwa sejak awal pembentuk undang-undang menyadari bahwa pelanggaran etik yang dilakukan oleh Pimpinan KPK adalah salah satu alasan diperlukannya revisi kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pengaturan status kepegawaian pegawai KPK menjadi ASN justru tidak ada dasar pemikiran dan alasan mengapa pegawai KPK harus berstatus sebagai ASN.
Dalam website resmi MK di berkas nomor 3026, selain MAKI permohonan juga diajukan oleh Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI). Mereka sama-sama memohon untuk uji materi yang sama.
"Hendak mengajukan pengujian Pasal 69B ayat (1) dan pasal 69C Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6409) terhadap Undang-undang Dasar 1945," tulis permohonan tersebut sebagaimana dilansir MNC Portal Indonesia, Jakarta, Sabtu (5/6/2021).
Sebagiaman termaktub, para pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil atas Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C Undang-undang nomor 19 Tahun 2019 yang menyebutkan:
Pasal 69B
(1) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai Aparatur Sipil Negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai Aparatur Sipil Negar sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 69C
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai Aparatur Sipil Negar dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku diangkat menjadi pegawai Aparatur Sipil Negar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahwa 69B ayat (1) dan pasal 69C Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 sebagaimana dimaksud di atas bertentangan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, khususnya Pasal 27 (1), yang menyatakan, Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D, yang menyatakan (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
"Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo," bunyi permohonan itu.
Pemohon menyatakan jika mencermati bunyi konsideran dan penjelasan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019, terlihat bahwa sejak awal pembentuk undang-undang menyadari bahwa pelanggaran etik yang dilakukan oleh Pimpinan KPK adalah salah satu alasan diperlukannya revisi kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pengaturan status kepegawaian pegawai KPK menjadi ASN justru tidak ada dasar pemikiran dan alasan mengapa pegawai KPK harus berstatus sebagai ASN.
(kri)