PDIP Ingin Pilpres 2024 Cuma Diikuti 2 Paslon, Pengamat Sarankan Konvensi Capres
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sikap PDI Perjuangan (PDIP) yang menginginkan agar Pilpres 2024 hanya diikuti dua pasang calon (paslon) dianggap efektif dan efisien dari aspek penyelenggaraan pemilu. Namun, hendaknya hal itu dilakukan setelah koalisi parpol melakukan konvensi capres .
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) Nyarwi Ahmad, adanya dua paslon dalam pilpres efektif dan efisen karena proses pemilu berlangsung hanya satu tahap dan jangka waktunya lebih pendek dan juga menghemat biaya dan sumber daya penyelenggaraan pemilu.
Kendati begitu, kata Nyarwi, dari aspek inklusivitas peluang para elite yang potensial untuk maju dalam Pilpres 2024 dan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat, namun berpotensi tidak diajukan oleh parpol dalam bursa pilpres mendatang, sehingga ide tersebut berdampak negatif ke mereka.
Karena, bukan tidak mungkin, Nyarwi melihat panggung Pilpres 2024 hanya menjadi ruang kompetisi untuk segelintir elite yang berkuasa di parpol atau kalangan tertentu yang mendapatkan dukungan kuat serta memiliki kedekatan personal dengan elit-elit kunci di parpol.
"Selain itu, sebagaimana pengalaman kita sebelumnya dalam Pilpres 2014 dan 2019 lalu, pertarungan sengit antar dua pasangan capres-cawapres membuka peluang menguatnya arus polarisasi politik, khususnya berbasis agama," katanya, Rabu (2/6/2021).
Menurut Nyarwi, adanya dua pasangan yang bertarung dalam Pilpres 2024 sebenarnya tidak masalah, asal parpol-parpol pengusung atau koalisi parpol pengusung masing-masing pasangan, melakukan proses seleksi pasangan capres-cawapres tersebut secara terbuka atau transparan, inklusif, dan demokratis dengan mengakomodasi pendapat publik.
"Hal ini misalnyal bisa dilakukan dengan model konvensi. Bedanya dengan model-model konvensi yang sebelumnya pernah terjadi dalam Pilpres 2004 dan 2009 lalu, konvensi capres ini tidak dilakukan pada level organisasi parpol, seperti yang pernah terjadi dan dilakukan oleh Partai Golkar dalam Pilpres 2004 dan Partai Demokrat dalam Pilpres 2009 lalu. Namun, konvensi dilakukan oleh koalisi parpol yang hendak mengusung pasangan capres," papar dia.
Lebih lanjut pakar komunikasi politik UGM itu mengatakan, konvensi yang dilakukan oleh koalisi parpol perlu dilakukan dengan mengedepankan keenam hal. Pertama, konvensi dilakukan tidak ditujukan untuk menutup peluang publik untuk mendapatkan
sosok pasangan terbaik yang diinginkannya dalam Pilpres 2024.
Kedua, lanjut dia, proses seleksi dalam konvensi dilakukan berbasis indikator-indikator tertentu, seperti tingkat kecocokan antara orientasi ideologi personal kandidat dengan orientasi ideologi parpol, potensi kontribusi kandidat tersebut untuk mewujudkan cita-cita ideologi dan kebijakan-kebijakan publik yang menjadi prioritas parpol, dan lain sebagainya. "Indikator-indikator tersebut juga perlu diketahui oleh publik secara luas," jelasnya.
Ketiga, kata Nyarwi, setiap tahapan yang dijalankan dalam konvensi tersebut juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Keempat, konvensi tersebut dijalankan dengan mempertimbangkan dinamika pendapat publik, khususnya terkait dengan profil personal, karakter dan kapasitas pasangan capres cawapres yang berpartisipasi dalam konvensi tersebut.
Kelima, mekanisme konvensi capres cawapres dilakukan dengan berbasis pada prinsip-prinsip demokratis dan juga mengedepankan inklusivitas sehingga memberikan peluang pada semua kader parpol yang potensial ataupun public figure yang memiliki track record dan kinerja yang bagus dalam kepemimpinan organisasi, khususnya di lembaga Negara/Pemerintahan, untuk maju dan memenangkan konvensi tersebut.
"Keenam, konvensi tersebut diarahkan untuk memilih para kandidat capres dan cawapres terbaik yang memiliki profil personal, karakter, integritas dan kompetensi yang bagus dan pengalaman yang memadai dalam mengelola pemerintahan serta memiliki basis ideologis dan elektoral yang luas dan inklusif, agar dapat diterima di berbagai kalangan ketika kelak dia terpilih setelah pilpres dilakukan."
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) Nyarwi Ahmad, adanya dua paslon dalam pilpres efektif dan efisen karena proses pemilu berlangsung hanya satu tahap dan jangka waktunya lebih pendek dan juga menghemat biaya dan sumber daya penyelenggaraan pemilu.
Kendati begitu, kata Nyarwi, dari aspek inklusivitas peluang para elite yang potensial untuk maju dalam Pilpres 2024 dan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat, namun berpotensi tidak diajukan oleh parpol dalam bursa pilpres mendatang, sehingga ide tersebut berdampak negatif ke mereka.
Karena, bukan tidak mungkin, Nyarwi melihat panggung Pilpres 2024 hanya menjadi ruang kompetisi untuk segelintir elite yang berkuasa di parpol atau kalangan tertentu yang mendapatkan dukungan kuat serta memiliki kedekatan personal dengan elit-elit kunci di parpol.
"Selain itu, sebagaimana pengalaman kita sebelumnya dalam Pilpres 2014 dan 2019 lalu, pertarungan sengit antar dua pasangan capres-cawapres membuka peluang menguatnya arus polarisasi politik, khususnya berbasis agama," katanya, Rabu (2/6/2021).
Menurut Nyarwi, adanya dua pasangan yang bertarung dalam Pilpres 2024 sebenarnya tidak masalah, asal parpol-parpol pengusung atau koalisi parpol pengusung masing-masing pasangan, melakukan proses seleksi pasangan capres-cawapres tersebut secara terbuka atau transparan, inklusif, dan demokratis dengan mengakomodasi pendapat publik.
"Hal ini misalnyal bisa dilakukan dengan model konvensi. Bedanya dengan model-model konvensi yang sebelumnya pernah terjadi dalam Pilpres 2004 dan 2009 lalu, konvensi capres ini tidak dilakukan pada level organisasi parpol, seperti yang pernah terjadi dan dilakukan oleh Partai Golkar dalam Pilpres 2004 dan Partai Demokrat dalam Pilpres 2009 lalu. Namun, konvensi dilakukan oleh koalisi parpol yang hendak mengusung pasangan capres," papar dia.
Lebih lanjut pakar komunikasi politik UGM itu mengatakan, konvensi yang dilakukan oleh koalisi parpol perlu dilakukan dengan mengedepankan keenam hal. Pertama, konvensi dilakukan tidak ditujukan untuk menutup peluang publik untuk mendapatkan
sosok pasangan terbaik yang diinginkannya dalam Pilpres 2024.
Kedua, lanjut dia, proses seleksi dalam konvensi dilakukan berbasis indikator-indikator tertentu, seperti tingkat kecocokan antara orientasi ideologi personal kandidat dengan orientasi ideologi parpol, potensi kontribusi kandidat tersebut untuk mewujudkan cita-cita ideologi dan kebijakan-kebijakan publik yang menjadi prioritas parpol, dan lain sebagainya. "Indikator-indikator tersebut juga perlu diketahui oleh publik secara luas," jelasnya.
Ketiga, kata Nyarwi, setiap tahapan yang dijalankan dalam konvensi tersebut juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Keempat, konvensi tersebut dijalankan dengan mempertimbangkan dinamika pendapat publik, khususnya terkait dengan profil personal, karakter dan kapasitas pasangan capres cawapres yang berpartisipasi dalam konvensi tersebut.
Kelima, mekanisme konvensi capres cawapres dilakukan dengan berbasis pada prinsip-prinsip demokratis dan juga mengedepankan inklusivitas sehingga memberikan peluang pada semua kader parpol yang potensial ataupun public figure yang memiliki track record dan kinerja yang bagus dalam kepemimpinan organisasi, khususnya di lembaga Negara/Pemerintahan, untuk maju dan memenangkan konvensi tersebut.
"Keenam, konvensi tersebut diarahkan untuk memilih para kandidat capres dan cawapres terbaik yang memiliki profil personal, karakter, integritas dan kompetensi yang bagus dan pengalaman yang memadai dalam mengelola pemerintahan serta memiliki basis ideologis dan elektoral yang luas dan inklusif, agar dapat diterima di berbagai kalangan ketika kelak dia terpilih setelah pilpres dilakukan."
(zik)