Banyak Salah Sasaran, DPR Minta Perbaiki Data Penerima Subsidi LPG 3 Kg
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Banggar (Banggar) DPR MH Said Abdullah meminta pemerintah melakukan perbaikan data penerima subsidi liquefied petroleum gas (LPG) 3 kilogram (kg) Penerima subsidi LPG selama ini dinilai tidak tepat sasaran.
Dari data yang ada, subsidi LPG ini hanya dinikmati masyarakat miskin sekitar 24% dari total penyaluran. Sementara sisanya, sebesar 76% justru masuk ke kantong orang kaya, para pejabat Pemerintah, dan anggota DPR.
"Masyarakat miskin dan rentan yang masuk dalam kelompok 40 persen hanya menikmati 26 persen dari subsidi listrik. Begitupula dengan LPG 3 Kg, 30 persen rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah hanya menikmati 24 persen dari subsidi LPG 3 Kg, sementara 76 persen dinikmati oleh kelompok yang lebih mampu," tutur Said.
Said mengatakan itu menyampaikan pidato pengantar Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Pemerintah dalam rangka Pembicaraan Pendahuluan dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2022 di Gedung DPR, Jakarta, Senin (31/5/2021).
Padahal, lanjut Said, konstitusi telah mengamanatkan bahwa penyaluran subsidi seharusnya bersifat tertutup (by name by address). Inilah yang harus diperbaiki pada tahun 2022.
Hal ini penting agar bisa memberikan rasa keadilan dan melindungi masyarakat miskin dan rentan yang berhak menerima subsidi. "Saya melihat, kebijakan manajemen pengelolaan subsidi yang digunakan selama ini masih memiliki kelemahan yang mendasar, mulai dari validitas data, pengendalian harga hingga volume," tuturnya.
Bahkan, kata dia, masih terdapat exclusion error dan inclusion error dalam realisasi pemberian subsidi. Indikasinya, masih banyak ditemukan pihak yang seharusnya berhak menerima subsidi, tetapi tidak menerima.
"Sedangkan pihak yang seharusnya tidak berhak menerima, tetapi ikut menerima subsidi," ucap Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian ini.
Dia juga meminta pemerintah melakukan perbaikan yang signifikan terhadap kebijakan sektor minyak dan gas (migas), baik dari sisi produksi (lifting) maupun penerimaan.
Hal ini krusial sehingga mampu meningkatkan pendapatan negara dari sektor Migas pada tahun 2022. Apalagi, produksi migas Indonesia terus mengalami tren penurunan yang berkelanjutan dalam dua dekade terakhir.
Dampak lanjutannya, penerimaan sektor migas juga mengalami kontraksi dalam tiga tahun terakhir. Kondisi ini tercermin dari pendapatan perpajakan (PPh) Migas dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas yang semakin menurun.
Selain itu, kata dia, penentuan skema gross split atau cost recovery yang sudah mengalami tiga kali perubahan juga menjadi persoalan di sektor migas. Perubahan ini menunjukkan, skema yang ditawarkan oleh Pemerintah, baik dalam bentuk cost recovery atau gross split, memiliki titik lemah baik bagi Pemerintah maupun investor sendiri.
Oleh sebab itu, perlu segera diperbaiki. "Saya juga berharap persoalan klasik yang selalu muncul, antara lain: sumur dan fasilitas produksi migas yang telah menua, aktivitas eksplorasi baru yang belum memadai, peralatan teknologi yang sudah ketinggalan hingga persoalan kebijakan dan kompleksitas birokrasi yang masih kurang efisien, bisa kita temukan solusinya, sehingga tidak menjadi masalah permanen yang tidak terselesaikan," tuturnya.
Dari data yang ada, subsidi LPG ini hanya dinikmati masyarakat miskin sekitar 24% dari total penyaluran. Sementara sisanya, sebesar 76% justru masuk ke kantong orang kaya, para pejabat Pemerintah, dan anggota DPR.
"Masyarakat miskin dan rentan yang masuk dalam kelompok 40 persen hanya menikmati 26 persen dari subsidi listrik. Begitupula dengan LPG 3 Kg, 30 persen rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah hanya menikmati 24 persen dari subsidi LPG 3 Kg, sementara 76 persen dinikmati oleh kelompok yang lebih mampu," tutur Said.
Said mengatakan itu menyampaikan pidato pengantar Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Pemerintah dalam rangka Pembicaraan Pendahuluan dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2022 di Gedung DPR, Jakarta, Senin (31/5/2021).
Padahal, lanjut Said, konstitusi telah mengamanatkan bahwa penyaluran subsidi seharusnya bersifat tertutup (by name by address). Inilah yang harus diperbaiki pada tahun 2022.
Hal ini penting agar bisa memberikan rasa keadilan dan melindungi masyarakat miskin dan rentan yang berhak menerima subsidi. "Saya melihat, kebijakan manajemen pengelolaan subsidi yang digunakan selama ini masih memiliki kelemahan yang mendasar, mulai dari validitas data, pengendalian harga hingga volume," tuturnya.
Bahkan, kata dia, masih terdapat exclusion error dan inclusion error dalam realisasi pemberian subsidi. Indikasinya, masih banyak ditemukan pihak yang seharusnya berhak menerima subsidi, tetapi tidak menerima.
"Sedangkan pihak yang seharusnya tidak berhak menerima, tetapi ikut menerima subsidi," ucap Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Perekonomian ini.
Baca Juga
Dia juga meminta pemerintah melakukan perbaikan yang signifikan terhadap kebijakan sektor minyak dan gas (migas), baik dari sisi produksi (lifting) maupun penerimaan.
Hal ini krusial sehingga mampu meningkatkan pendapatan negara dari sektor Migas pada tahun 2022. Apalagi, produksi migas Indonesia terus mengalami tren penurunan yang berkelanjutan dalam dua dekade terakhir.
Dampak lanjutannya, penerimaan sektor migas juga mengalami kontraksi dalam tiga tahun terakhir. Kondisi ini tercermin dari pendapatan perpajakan (PPh) Migas dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas yang semakin menurun.
Selain itu, kata dia, penentuan skema gross split atau cost recovery yang sudah mengalami tiga kali perubahan juga menjadi persoalan di sektor migas. Perubahan ini menunjukkan, skema yang ditawarkan oleh Pemerintah, baik dalam bentuk cost recovery atau gross split, memiliki titik lemah baik bagi Pemerintah maupun investor sendiri.
Oleh sebab itu, perlu segera diperbaiki. "Saya juga berharap persoalan klasik yang selalu muncul, antara lain: sumur dan fasilitas produksi migas yang telah menua, aktivitas eksplorasi baru yang belum memadai, peralatan teknologi yang sudah ketinggalan hingga persoalan kebijakan dan kompleksitas birokrasi yang masih kurang efisien, bisa kita temukan solusinya, sehingga tidak menjadi masalah permanen yang tidak terselesaikan," tuturnya.
(dam)