Menyiasati Ancaman bagi Jakarta pada 2050
loading...
A
A
A
Marselinus Nirwan Luru
Staf Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Jakarta, dan Ketua Ikatan Alumni Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta.
LEMBAGA riset Verisk Maplecroft dalam laporan bertajuk “Environmental Risk Outlook 2021” yang dirilis pada 13 Mei 2021 menempatkan Jakarta sebagai kota paling terancam risiko lingkungan. Paling santer adalah Jakarta dinyatakan akan tenggelam pada 2050. Publikasi ilmiah tersebut tidak mengagetkan, malah mengafirmasi beberapa hasil penelitian terdahulu dari lembaga riset ternama lain.
Lebih dari satu hasil penelitian ilmiah yang tak saling menegasikan ibarat alarm yang terus berbunyi kencang seyogianya membangunkan pengelola dan penghuni Ibu Kota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat patut bergerak cepat soal masa depan DKI Jakarta, berpacu dengan waktu yang terus bergulir mendekati 2050.
Mesti memang diakui bahwa Jakarta saat ini sedang mengidap ketelanjuran pembangunan atas sejarah dan citranya sebagai kota multifungsi sejak beberapa dekade terakhir. Sesungguhnya ketelanjuran yang sedang diratapi telah diantisipasi sejak awal melalui produk penataan ruang demi tertibnya pemanfaatan ruang kota.
Rencana Induk 1965-1985 adalah dokumen penataan ruang pertama yang mengatur pengembangan kota ke segala arah dalam radius 15 kilometer dari Monas. Menyadari pembangunan semakin pesat, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 1985-2005 mengatur kembali pengembangan kota ke barat dan timur Jakarta untuk mengurangi pembangunan di utara yang terancam bencana kenaikan permukaan air laut. Sementara pembangunan di wilayah selatan dibatasi karena merupakan daerah resapan air.
Seiring perkembangan Jakarta yang semakin pesat, kebijakan perencanaan seakan tak kuat menahan arus pembangunan. Rencana tata ruang DKI Jakarta 2010 kembali direvisi. Kali ini keran pembangunan diarahkan ke utara yang sebelumnya terbatas karena alasan rentan risiko bencana, mulai dibuka perlahan. Dokumen tersebut masih berlanjut dan menjadi acuan untuk RTRW 2030 dengan penekanan tetap membatasi pertumbuhan di selatan Jakarta serta pembangunan diarahkan secara vertikal.
Perubahan-perubahan tersebut sedikit-banyak menyumbang perkiraan soal kondisi Jakarta pada 2050 di atas. Walaupun secara perlahan saat ini bencana ekologis sudah acapkali menghampiri Jakarta seperti banjir. Dari enam wilayah administratif Ibu Kota, Jakarta Utara adalah wilayah yang paling terdampak. Apabila sebagian besar wilayah Jakarta mengalami banjir tahunan, sebaliknya sebagian wilayah utara Jakarta dihampiri banjir rob bulanan akibat kenaikan permukaan air laut (Jakarta Open Data 2020).
Satu faktor paling dominan adalah laju penurunan muka tanah yang diprediksi berakibat pada kenaikan permukaan air laut sekitar 125,4-154 cm dalam kurun waktu 2020-2025 (Afifah, dkk, 2017). Lebih lanjut, apabila faktor penurunan muka tanah dihilangkan dari karakteristik bahaya, maka rentang kenaikan tinggi muka air laut yang dihasilkan mengalami penurunan, berkisar antara 59,5 – 159,3 cm dalam kurun waktu yang sama.
Langkah jangka pendek untuk hasil jangka panjang yang disuarakan pemerhati lingkungan adalah menghentikan eksploitasi air tanah. Saran ini ditanggapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan mengatur pemungutan pajak dan membatasi jumlah maksimum pengambilan air tanah melalui Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2017.
Meski demikian, pajak dan pembatasan rasanya tidak efektif jika belum disertai penyediaan air bersih perpipaan. PAM Jaya mencatat, air bersih di Ibu Kota defisit sebanyak 4.500 liter per detik dari jumlah kebutuhan masyarakat Jakarta yang saat ini mencapai 22.500 liter per detik. Sedangkan air bersih yang dikelola oleh Pam Jaya hanya sebanyak 18.000 liter per detik. Adapun kajian Indonesia Water Institute(IWI) pada 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 50% wilayah Jakarta mengalami kesulitan air bersih dan diproyeksikan akan mengalami defisit air bersih hingga 2030.
Staf Pengajar Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti, Jakarta, dan Ketua Ikatan Alumni Teknik Planologi Universitas Trisakti, Jakarta.
LEMBAGA riset Verisk Maplecroft dalam laporan bertajuk “Environmental Risk Outlook 2021” yang dirilis pada 13 Mei 2021 menempatkan Jakarta sebagai kota paling terancam risiko lingkungan. Paling santer adalah Jakarta dinyatakan akan tenggelam pada 2050. Publikasi ilmiah tersebut tidak mengagetkan, malah mengafirmasi beberapa hasil penelitian terdahulu dari lembaga riset ternama lain.
Lebih dari satu hasil penelitian ilmiah yang tak saling menegasikan ibarat alarm yang terus berbunyi kencang seyogianya membangunkan pengelola dan penghuni Ibu Kota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat patut bergerak cepat soal masa depan DKI Jakarta, berpacu dengan waktu yang terus bergulir mendekati 2050.
Mesti memang diakui bahwa Jakarta saat ini sedang mengidap ketelanjuran pembangunan atas sejarah dan citranya sebagai kota multifungsi sejak beberapa dekade terakhir. Sesungguhnya ketelanjuran yang sedang diratapi telah diantisipasi sejak awal melalui produk penataan ruang demi tertibnya pemanfaatan ruang kota.
Rencana Induk 1965-1985 adalah dokumen penataan ruang pertama yang mengatur pengembangan kota ke segala arah dalam radius 15 kilometer dari Monas. Menyadari pembangunan semakin pesat, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 1985-2005 mengatur kembali pengembangan kota ke barat dan timur Jakarta untuk mengurangi pembangunan di utara yang terancam bencana kenaikan permukaan air laut. Sementara pembangunan di wilayah selatan dibatasi karena merupakan daerah resapan air.
Seiring perkembangan Jakarta yang semakin pesat, kebijakan perencanaan seakan tak kuat menahan arus pembangunan. Rencana tata ruang DKI Jakarta 2010 kembali direvisi. Kali ini keran pembangunan diarahkan ke utara yang sebelumnya terbatas karena alasan rentan risiko bencana, mulai dibuka perlahan. Dokumen tersebut masih berlanjut dan menjadi acuan untuk RTRW 2030 dengan penekanan tetap membatasi pertumbuhan di selatan Jakarta serta pembangunan diarahkan secara vertikal.
Perubahan-perubahan tersebut sedikit-banyak menyumbang perkiraan soal kondisi Jakarta pada 2050 di atas. Walaupun secara perlahan saat ini bencana ekologis sudah acapkali menghampiri Jakarta seperti banjir. Dari enam wilayah administratif Ibu Kota, Jakarta Utara adalah wilayah yang paling terdampak. Apabila sebagian besar wilayah Jakarta mengalami banjir tahunan, sebaliknya sebagian wilayah utara Jakarta dihampiri banjir rob bulanan akibat kenaikan permukaan air laut (Jakarta Open Data 2020).
Satu faktor paling dominan adalah laju penurunan muka tanah yang diprediksi berakibat pada kenaikan permukaan air laut sekitar 125,4-154 cm dalam kurun waktu 2020-2025 (Afifah, dkk, 2017). Lebih lanjut, apabila faktor penurunan muka tanah dihilangkan dari karakteristik bahaya, maka rentang kenaikan tinggi muka air laut yang dihasilkan mengalami penurunan, berkisar antara 59,5 – 159,3 cm dalam kurun waktu yang sama.
Langkah jangka pendek untuk hasil jangka panjang yang disuarakan pemerhati lingkungan adalah menghentikan eksploitasi air tanah. Saran ini ditanggapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan mengatur pemungutan pajak dan membatasi jumlah maksimum pengambilan air tanah melalui Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2017.
Meski demikian, pajak dan pembatasan rasanya tidak efektif jika belum disertai penyediaan air bersih perpipaan. PAM Jaya mencatat, air bersih di Ibu Kota defisit sebanyak 4.500 liter per detik dari jumlah kebutuhan masyarakat Jakarta yang saat ini mencapai 22.500 liter per detik. Sedangkan air bersih yang dikelola oleh Pam Jaya hanya sebanyak 18.000 liter per detik. Adapun kajian Indonesia Water Institute(IWI) pada 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 50% wilayah Jakarta mengalami kesulitan air bersih dan diproyeksikan akan mengalami defisit air bersih hingga 2030.