Rahasia Ied Al-Fitri

Kamis, 13 Mei 2021 - 08:56 WIB
loading...
Rahasia Ied Al-Fitri
Rahasia Ied Al-Fitri
A A A
Aksin Wijaya

Wakil Rektor III
IAIN Ponorogo

Apa makna di balik hari raya Ied al-fitri?.Pertanyaan ini muncul di benak saya lantaran tahun ini, 1 Syawwal 1442 Hijriyah bertepatan dengan 13 Mei 2021, umat Islam melaksanakan hara raya ied al-fitri, kendati di saat yang sama dilarang mudik lebaran. Tentu saja yang menjadi bidikan tulisan ini bukan fenomena mudiknya, melainkan makna ied al-fitrinya, karena serimonial tahunan umat Islam ini tetap dilaksanakan, baik ada mudik lebaran ataupun tidak.
Secara teologis, pada awalnya, hanya Allah yang ada dan pada akhirnya hanya Dia yang ada. Dengan kuasa dan kehendak-Nya, Allah menciptakan alam dengan berbagai isinya, dan suatu saat nanti, alam beserta isinya ini kembali menjadi tiada. Alam adalah setiap sesuatu selain Allah, seperti langit, bumi, lautan dan segala sesuatu yang ada di dalamnya baik yang berbentuk jasad saja, seperti pepohonan dan hewan, yang berbentuk ruhani saja, seperti malaikat, dan yang merupakan perpaduan antara ruhani dan jasadi, seperti manusia dan disebutnya sebagai makhluk paling baik bentuknya (al-Sajadah:7). Dari sekian jenis alam itu, manusia menjadi pusat keberadaan sekaligus sebagai wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi ini (al-Baqarah:30). Siapakah manusia?
Secara semantik, al-Qur’an menggunakan beragam istilah untuk menunjuk kepada manusia, dan istilah-istilah itu mempunyai maknanya sendiri-sendiri. Al-Qur’an terkadang menggunakan istilah al-insan yang mengacu pada manusia laki-laki dan perempuan dengan 91 kali disinggung di dalam al-Qur’an, istilah Ins sebanyak 18 kali, insan sebanyak 65 kli, una> s sebanyak 5 kali, unasiyun satu kali, insiyyan dan musta’nasiyyan sebanyak 65 kali. Menggunakan istilah basyaran sebanyak 10 kali, basyariyyin satu kali. Menggunakan istilah Adam, ibn Adam, bani Adam, dan dzurriyatu Adam, sebanyak 25 kali. Juga menggunakan istilah al-Na> s sebanyak 241 kali, rajulun dan derivasinya sebanyak 57 kali, al-mar’atu dan derivasinya sebanyak 11 kali, imra’atun dan derivasinya sebanyak 26 kali dan al-Nisa’ dan derivasinya sebanyak 59 kali. Terkadang juga menggunakan istilah nafs dan derivasinya sebanyak 295 kali.
Namun ketika hendak membahas esensi manusia, biasanya para ulama’ melihatnya dari sisi proses penciptaannya. Jika dilihat dari segi proses penciptaanya, manusia dicipta melalui tiga bentuk. Pertama, dari tidak ada menjadi ada yang ditangani langsung oleh Tuhan, yakni proses penciptaan nabi Adam (Shad:75), yang dicipta dari tanah, lalu Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam diri Adam (Shad:71-72). Sebagai penciptaan “awal”, Adam disebut sebagai bapak manusia. Lalu Allah menciptakan anak-anak Adam lain melalui dua proses yang berbeda. Kedua, proses penciptaan manusia melalui bertemunya ovum perempuan dan mani laki-laki, seperti yang terjadi pada manusia umumnya (al-Mukminun:12-14). Ketiga, proses penciptaan dari rahim seorang perempuan tanpa suami, yakni penciptaan nabi Isa (Maryam:16-17, 18-22).
Proses penciptaan manusia pertama dan (kedua) itu mengandung makna simbolik, baik sosiologis maupun teologis. Unsur tanah biasanya mendorong manusia untuk mengedepankan kebutuhan dimensi jasadinya, seperti membutuhkan keberadaan pihak lain sehingga manusia disebut sebagai makhluk sosial. Sedang unsur ruh ilahi mendorong manusia untuk mengedepankan kebutuhan dimensi ruhaninya, seperti kebutuhan akan Tuhan sehingga manusia disebut sebagai makhluk ber-Tuhan (Al-Rum:30). Seakan menegaskan esensi kebertuhanan manusia itu, di tempat lain Al-Qur’an menampilkan kisah dialogis Tuhan dengan calon manusia yang masih berada dalam kandungan ibundanya yang menegaskan bahwa dia sudah mengetahui, mengakui dan menjadi saksi akan keberadaan Allah sebagai Tuhannya (Al-A’raf:172). Ayat ini menegaskan, manusia sejak awal (masa pra eksistensial, yakni ketika manusia belum mempunyai kesadaran intelektual) dicipta dengan suatu bentuk (jenis) khusus yang masih murni baik dari segi ruh maupun jasadnya yang secara fit}ri adalah ber-Tuhan.
Mengapa Tuhan masih perlu menurunkan agama kepada manusia?
Itu tidak lain, karena proses penciptaan manusia pertama itu juga mengandung makna simbolik yang bersifat etis. Pada masa awal penciptaan Adam, tanah liat dipahami sebagai simbol kehinaan, sebaliknya ruh ilahi dipahami sebagai simbol kemulyaan. Sejalan dengan kedua dimensi itu, al-Qur’an sesekali menempatkan manusia sebagai makhluk yang hina, bahkan lebih hina daripada binatang (al-Baqarah:65, al-Maidah:60 dan al-A’raf:179), di sisi lain juga menempatkan manusia sebagai makhluk yang mulia (al-Isra’:70), dan lebih mulia daripada Malaikat.
Namun demikian, dimensi tanah-jasadi manusia seringkali lebih kuat tarikannya daripada dimensi ruhaninya, sehingga ia mendorong manusia untuk melakukan sesuatu yang hina yang menjadi kebutuhan dimensi tanah-jasadiyahnya, yang dalam bahasa agama disebut perbuatan dosa, seperti menfitnah, berkeluh kesah, melakukan kekerasan, mencuri, korupsi, berzina dan perbuatan tidak etis lainnya. Karena itu, Tuhan menurunkan agama, bukan hanya untuk memberinya petunjuk ke jalan yang benar, agar manusia memenuhi kebutuhan akan nilai-nilai mulya yang menjadi kebutuhan dimensi ruh ilahinya, tetapi juga untuk membersihkan dosa-dosa yang dilakukan atas dorongan dimensi tanah-jasadinya.
Tentusaja, agama yang diturunkan Tuhan itu, selain bersifat universal juga bersifat partikular sesuai konteksnsya. Universalitas agama itu terlatak pada kenyataan bahwa agama yang diturunkan Tuhan itu bermakna sebaga sebuah sikap kepasrahan total manusia (al-Baqarah:131) dan alam (Ali Imron:83) kepada Tuhan, sedang partikularitasnya terletak pada kenyataan bahwa para nabi, terutama nabi Musa, Isa dan Muhammad, melakukan reifikasi dan pribumisasi Islam (kepasrahan total) itu ke dalam konteks kehiduan mereka sesuai kebutuhan umat manusia yang menjadi sasaran dakwahnya. Nabi Musa menerjemahkannya melalui ajaran yang bersifat material-duniawi, nabi Isa menerjemahkannya melalui ajaran yang bersifat ruhani-ukhrawi, sedang nabi Muhammad khususnya memadukan kedua dimensi ajaran Islam pendahulunya tersebut: material-duniawi dan ruhani-ukhrawi.
Kedua dimensi ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad itu tercermin di dalam tiga unsur asasinya, yakni Islam, Iman dan ihsan. Dua unsur yang pertama berkaitan dengan dimensi ajaran yang bersifat ruhani-ukhrawi, sedang unsur yang terakhir berkaitan dengan dimensi yang bersifat material-duniawi, termasuk bagaimana berhubungan secara sosial dengan sesama manusia. Di dalam unsur Islam itu pula, terdapat lima rukun asasi penting yang menjadi fokus utama dari sikap kepasrahan total manusia kepada Tuhan, yakni membaca dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat, berpuasa di bulan romadan, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji. Kepasrahan total yang dimaksud adalah penyucian (al-Syams:9-10), baik penyucian jiwa maupun harta.
Puasa misalnya menjadi penyucian jiwa karena Nabi Muhammad mengatakan bahwa puasa itu menghapus dosa yang dilakukan manusia, baik dosa yang sudah berlalu maupun yang akan datang, yang disengaja maupun yang tidak disengaja, terang-terangan maupun yang dirahasiakan. Dengan puasa, manusia diharapkan menjadi manusia yang suci dan bertaqwa kepada Tuhan (Al-Baqarah: 183). Sedang zakat, selain bersifat sosial ekonomi, juga bersifat penyucian harta, karena di dalam harta setiap manusia yang berkecukupan terdapat hak orang lain yang tidak berkecukupan yang di dalam al-Qur’an disebut sebanyak “delapan kelompok” (al-Taubah:60). Dengan mengeluarkan zakatnya, harta muzakki tadi bisa menjadi suci, dalam arti bersih dari hak-hak orang lain.
Melalui penyucian jiwa (tazkiyatun al-nafsi) dan penyucian harta (tazkiyatun al-mal), dosa-dosa yang pernah dilakukan manusia dipastikan mendapat ampunan dari Allah selama itu semua dilakukannya dengan kepasrahan total manusia, seperti perasaan ikhlas, tanpa pamrih, tidak pamer dan tidak main-main. Manusia akan menjadi makhluk suci kembali sebagaimana kelahirannya, karena setiap anak manusia menurut nabi Muhammad dilahirkan dalam keadaan suci (kullu mauludin yuladu ala al-fitrah). Karena itu, melalui puasa romadan dan pengeluaran zakat fitrah, manusia yang setahun lamanya melakukan perbuatan dosa baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja akan dihapus, dan sejak itu manusia kembali menjadi manusia suci (fitri) sebagaimana kelahirannya. Sekali lagi, hanya manusia yang menunaikan ibadah puasa romadan dan mengeluarkan zakat fitrah yang akan menjadi manusia fitri. Di situlah rahasia makna ied al-fitri.
(war)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1862 seconds (0.1#10.140)