Jangan Hanya Larut di Tanah Abang
loading...
A
A
A
FENOMENA kerumunan di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, dalam sepekan terakhir benar-benar menyesakkan dada. Minggu (2/5), jumlah pengunjung bahkan diperkirakan tembus 100.000 orang dari normalnya hanya 35.000 orang. Di luar segala perdebatan tentang pemicunya, inilah potret nyata masyarakat Indonesia. Kesadaran minim, disiplin rendah, dan makin abai dengan protokol kesehatan untuk menekan penularan Covid-19 yang dibuat pemerintah.
Situasi ini jelas membuat banyak pihak mengelus dada. Di saat pandemi belum bisa terkendali, mereka justru terlihat makin berani. Mereka tak lagi peduli dengan aturan sana sini atau banyaknya petugas yang berjaga di banyak sisi. Ketakutan dan kekhawatiran mereka perlahan telah tertutupi dengan hajat Lebaran yang seolah tak bisa ditahan lagi.
Bisa jadi, bagi mereka, Lebaran kali ini adalah “pembalasan” karena tahun lalu terkekang hingga tak bisa ke mana-mana, pun ke saudara dekat. Alih-alih beli baju baru atau kue Lebaran seperti anjuran Menteri Keuangan Sri Mulyani, 22 April lalu. Tahun lalu berada di dalam rumah saja masih diliputi waswas tinggi akan terkena korona.
Kini situasinya sudah nyaris berbalik 180 derajat. Pelonggaran-pelonggaran yang dibuat pemerintah di tengah kebijakan pengetatan semu jelang Lebaran ini membuat masyarakat leluasa. Mereka semakin memiliki banyak opsi untuk keluar rumah. Bisa jadi mereka ikhlas untuk tidak pulang kampung dengan adanya pelarangan mulai 6-17 Mei mendatang. Toh di Jakarta pun, mereka tetap bisa belanja di pasar, nongkrong kafe atau mal, menonton bioskop, ataupun mencari hiburan ke berbagai destinasi.
Ini bukan isapan jempol. Sepanjang Minggu (2/5), dari pagi hingga malam, pusat-pusat perbelanjaan di Jabodetabek tumplek blek dengan pengunjung. Jalan di kawasan Senayan dan Bundaran HI yang merupakan kompleks mal kelas atas juga macet. Bahkan hingga jelang tengah malam ruas Mal Pondok Indah hingga Ciputat juga tersendat luar biasa. Jelas ini fenomena tak biasa, apalagi di hari libur.
Melihat fakta ini, kurang tepat jika perhatian besar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya tertumpu di Pasar Tanah Abang. Jakarta memiliki puluhan mal besar yang tak kalah menuntut untuk diawasi ketat. Di Tanah Abang, Gubernur Anies Baswedan memang telah mengerahkan 5.000 petugas gabungan baik dari polisi, TNI, hingga Satpol PP untuk mengendalikan pergerakan pengunjung. Namun melihat kesadaran dan disiplin masyarakat yang masih rendah, jumlah itu tidaklah harga mati. Lebih dari itu, di luar Tanah Abang, pengawasan yang sama juga jangan sampai lengah.
Langkah taktis serupa mendesak dilakukan oleh jajaran pemerintah daerah lain di Indonesia seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Medan, dan Palembang. Sebab fenomena yang dihadapi juga serupa. Masyarakat sudah berani ke luar rumah untuk berbelanja karena memang ada kelonggaran kebijakan.
Dengan asumsi ini pula maka kerumunan di Tanah Abang pun hakikatnya bukan keteledoran seorang Gubernur Anies semata, namun imbas dari rentetan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selama ini. Pengetatan untuk mudik memang telah dibuat, antara lain lewat Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13/2021.
Namun, seberapa efektifkah regulasi ini? Semua tahu, jutaan orang telah bersiasat dengan lebih dulu pulang kampung jelang pelarangan dimulai. Semua tahu, meski ada addendum, regulasi itu hanyalah lebih banyak “macan kertas” di lapangan. Semua juga tahu, ketika pada satu sisi jalur transportasi ditutup, pada saat yang sama tempat-tempat hiburan dan mal dibuka adalah situasi yang kontraproduktif.
Kini semua telah terjadi. Pemerintah telah membuat kebijakan agar kasus Covid-19 terkendali. Faktanya, tak mudah diterapkan di lapangan.
Di tengah kerumitan ini, kesadaran diri untuk menjaga protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas adalah sebuah strategi yang lebih bertaji. Dari ikhtiar ini, kita juga berdoa semoga kerumunan-kerumunan itu tak menimbulkan masalah besar di kemudian hari.
Situasi ini jelas membuat banyak pihak mengelus dada. Di saat pandemi belum bisa terkendali, mereka justru terlihat makin berani. Mereka tak lagi peduli dengan aturan sana sini atau banyaknya petugas yang berjaga di banyak sisi. Ketakutan dan kekhawatiran mereka perlahan telah tertutupi dengan hajat Lebaran yang seolah tak bisa ditahan lagi.
Bisa jadi, bagi mereka, Lebaran kali ini adalah “pembalasan” karena tahun lalu terkekang hingga tak bisa ke mana-mana, pun ke saudara dekat. Alih-alih beli baju baru atau kue Lebaran seperti anjuran Menteri Keuangan Sri Mulyani, 22 April lalu. Tahun lalu berada di dalam rumah saja masih diliputi waswas tinggi akan terkena korona.
Kini situasinya sudah nyaris berbalik 180 derajat. Pelonggaran-pelonggaran yang dibuat pemerintah di tengah kebijakan pengetatan semu jelang Lebaran ini membuat masyarakat leluasa. Mereka semakin memiliki banyak opsi untuk keluar rumah. Bisa jadi mereka ikhlas untuk tidak pulang kampung dengan adanya pelarangan mulai 6-17 Mei mendatang. Toh di Jakarta pun, mereka tetap bisa belanja di pasar, nongkrong kafe atau mal, menonton bioskop, ataupun mencari hiburan ke berbagai destinasi.
Ini bukan isapan jempol. Sepanjang Minggu (2/5), dari pagi hingga malam, pusat-pusat perbelanjaan di Jabodetabek tumplek blek dengan pengunjung. Jalan di kawasan Senayan dan Bundaran HI yang merupakan kompleks mal kelas atas juga macet. Bahkan hingga jelang tengah malam ruas Mal Pondok Indah hingga Ciputat juga tersendat luar biasa. Jelas ini fenomena tak biasa, apalagi di hari libur.
Melihat fakta ini, kurang tepat jika perhatian besar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya tertumpu di Pasar Tanah Abang. Jakarta memiliki puluhan mal besar yang tak kalah menuntut untuk diawasi ketat. Di Tanah Abang, Gubernur Anies Baswedan memang telah mengerahkan 5.000 petugas gabungan baik dari polisi, TNI, hingga Satpol PP untuk mengendalikan pergerakan pengunjung. Namun melihat kesadaran dan disiplin masyarakat yang masih rendah, jumlah itu tidaklah harga mati. Lebih dari itu, di luar Tanah Abang, pengawasan yang sama juga jangan sampai lengah.
Langkah taktis serupa mendesak dilakukan oleh jajaran pemerintah daerah lain di Indonesia seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Medan, dan Palembang. Sebab fenomena yang dihadapi juga serupa. Masyarakat sudah berani ke luar rumah untuk berbelanja karena memang ada kelonggaran kebijakan.
Dengan asumsi ini pula maka kerumunan di Tanah Abang pun hakikatnya bukan keteledoran seorang Gubernur Anies semata, namun imbas dari rentetan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah selama ini. Pengetatan untuk mudik memang telah dibuat, antara lain lewat Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13/2021.
Namun, seberapa efektifkah regulasi ini? Semua tahu, jutaan orang telah bersiasat dengan lebih dulu pulang kampung jelang pelarangan dimulai. Semua tahu, meski ada addendum, regulasi itu hanyalah lebih banyak “macan kertas” di lapangan. Semua juga tahu, ketika pada satu sisi jalur transportasi ditutup, pada saat yang sama tempat-tempat hiburan dan mal dibuka adalah situasi yang kontraproduktif.
Kini semua telah terjadi. Pemerintah telah membuat kebijakan agar kasus Covid-19 terkendali. Faktanya, tak mudah diterapkan di lapangan.
Di tengah kerumitan ini, kesadaran diri untuk menjaga protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas adalah sebuah strategi yang lebih bertaji. Dari ikhtiar ini, kita juga berdoa semoga kerumunan-kerumunan itu tak menimbulkan masalah besar di kemudian hari.
(bmm)