Terlalu Mahal, Demokrasi di Indonesia Dinilai Perlu Dikaji Ulang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pelaksanaan demokrasi di Indonesia saat ini dinilai terasa janggal karena prosesnya yang dinilai membutuhkan biaya yang terlalu besar. Oleh karena itu perlu dikaji kembali pemilihan kepala daerah (pilkada) yang digelar secara langsung.
"Proses demokrasi yang dijalankan selama ini terlalu mahal. Perlu dikaji kembali, bahwa pasangan calon (paslon) yang akan dipilih oleh rakyat pada pilkada langsung, maupun paslon yang dipilih oleh DPRD ternyata sama-sama dilahirkan dari partai politik," tutur Mochtar Mohammad, mantan Ketua Deklarasi Presiden tahun 2009 Capres dan Cawapres Megawati-Prabowo dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (1/5/2021).
Mochtar pun memaparkan beberapa hal yang dinilainya mendasar sebagai pijakan mengevaluasi proses demokrasi di Tanah Air saat ini.
Pertama, Undang-undang Dasar 1945 pada Bab VI tentang Pemerintah Daerah. Pada Pasal 18 Ayat 4 menyatakan gubernur, bupati dan wali kota masing–masing sebagai daerah provinsi, kabupaten, kota dipilih secara demokratis.“
Demokratis di sini bila diterjemahkan menurut Pancasila pada sila ke-4 yaitu Kerakyatan yang dipimpinoleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan. "Artinya pemilihan kepala daerah dari gubernur, bupati, dan wali kota bisa saja dipilih melalui lembaga perwakilan rakyat (DPRD) seperti yang dilakukan pada pilkada masa awal reformasi," tutur mantan Wali Kota Bekasi ini.
Kedua, Undang-undang Dasar 1945 pada Bab VII B tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 22 E Ayat 3 menyatakan peserta pemilihan umum, untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
Membaca pasal ini, kata dia, artinya peserta pemilu adalah partai, dalam hal ini memilih tanda gambar sedangkan memilih calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
"Sebaiknya sistem pemilu dikembalikan seperti pemilu pada awal reformasi 1999, kewenangan memilih anggota DPR dan DPRD ditentukan oleh partai politik, seperti amanah konstitusi di atas," tuturnya.
Ketiga, lanjut dia, pelaksanaan pilkada saat ini memerlukan biaya sangat mahal, sebagai contoh untuk pemilihan gubernur Jawa Barat tahun 2018, Anggaran KPU adalah Rp1,8 triliun, angka tersebut belum termasuk dengan biaya pemda, polda, kodam dan bawaslu.
Sementara untuk Pilkada Kota Depok pada tahun 2020, anggaran KPU sebesar Rp64 miliar dan belum termasuk untuk APD dan rapid test yang ditanggung oleh pemda.
"Jika kita buat simulasi kebutuhan anggaran pemilihan gubernur secara keseluruhan di 34 provinsi yang ada di Indonesia, dengan rata-rata angggaran sebesar Rp3 triliun per provinsi, maka berarti akan menghabiskan total anggaran sebesar Rp102 triliun," tuturnya.
Sementara itu, kata dia, untuk kebutuhan anggaran pilkada secara keseluruhan di 514 kota/kabupaten di Indonesia,dengan rata-rata anggaran sebesar Rp50 miliar per kabupaten/kota maka berarti menghabiskan total anggaran sebesar Rp25,7
triliun.
"Semua hal tersebut tentu belum termasuk dengan biaya uang saksi yang harus di persiapkan oleh partai dan paslon dalam pilkada tersebut," tandasnya.
Keempat, sambung dia, pilkada yang telah dilalui saat ini secara langsung dapat berdampak negatif pada polarisasi masyarakat yang ada. Masyarakat terpecah menjadi faksi faksi kelompok politik dan sangat mungkin merusak kultur gotong royong masyarakat Indonesia.
Bahkan, kata Mochtar, bisa lebih membingungkan lagi kalau berbuntut pada gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda keputusannya.
"Belum lagi pilkada yang dibatalkan oleh lembaga-lembaga tersebut bisa saja terjadi kekacauan di daerah tersebut," tuturnya.
Kelima, pilkada serentak yang akan dilakukan pada tahun 2024 dapat mengakibatkan kekacauan masa periodesasi pemerintahan. "Sebanyak 270 daerah yang baru saja melakukan pilkada terpaksa harus mengikuti lagi Pilkada serentak kembali di tahun 2024," ujarnya.
Belum lagi adanya korban dari pemilu serentak. KPU mengungkap jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia pada Pemilu 2019 adalah 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. "Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses demokrasi yang dijalankan selama ini terlalu mahal. Perlu dikaji kembali," tuturnya.
"Proses demokrasi yang dijalankan selama ini terlalu mahal. Perlu dikaji kembali, bahwa pasangan calon (paslon) yang akan dipilih oleh rakyat pada pilkada langsung, maupun paslon yang dipilih oleh DPRD ternyata sama-sama dilahirkan dari partai politik," tutur Mochtar Mohammad, mantan Ketua Deklarasi Presiden tahun 2009 Capres dan Cawapres Megawati-Prabowo dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (1/5/2021).
Mochtar pun memaparkan beberapa hal yang dinilainya mendasar sebagai pijakan mengevaluasi proses demokrasi di Tanah Air saat ini.
Pertama, Undang-undang Dasar 1945 pada Bab VI tentang Pemerintah Daerah. Pada Pasal 18 Ayat 4 menyatakan gubernur, bupati dan wali kota masing–masing sebagai daerah provinsi, kabupaten, kota dipilih secara demokratis.“
Demokratis di sini bila diterjemahkan menurut Pancasila pada sila ke-4 yaitu Kerakyatan yang dipimpinoleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan. "Artinya pemilihan kepala daerah dari gubernur, bupati, dan wali kota bisa saja dipilih melalui lembaga perwakilan rakyat (DPRD) seperti yang dilakukan pada pilkada masa awal reformasi," tutur mantan Wali Kota Bekasi ini.
Kedua, Undang-undang Dasar 1945 pada Bab VII B tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 22 E Ayat 3 menyatakan peserta pemilihan umum, untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
Membaca pasal ini, kata dia, artinya peserta pemilu adalah partai, dalam hal ini memilih tanda gambar sedangkan memilih calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
"Sebaiknya sistem pemilu dikembalikan seperti pemilu pada awal reformasi 1999, kewenangan memilih anggota DPR dan DPRD ditentukan oleh partai politik, seperti amanah konstitusi di atas," tuturnya.
Ketiga, lanjut dia, pelaksanaan pilkada saat ini memerlukan biaya sangat mahal, sebagai contoh untuk pemilihan gubernur Jawa Barat tahun 2018, Anggaran KPU adalah Rp1,8 triliun, angka tersebut belum termasuk dengan biaya pemda, polda, kodam dan bawaslu.
Sementara untuk Pilkada Kota Depok pada tahun 2020, anggaran KPU sebesar Rp64 miliar dan belum termasuk untuk APD dan rapid test yang ditanggung oleh pemda.
"Jika kita buat simulasi kebutuhan anggaran pemilihan gubernur secara keseluruhan di 34 provinsi yang ada di Indonesia, dengan rata-rata angggaran sebesar Rp3 triliun per provinsi, maka berarti akan menghabiskan total anggaran sebesar Rp102 triliun," tuturnya.
Sementara itu, kata dia, untuk kebutuhan anggaran pilkada secara keseluruhan di 514 kota/kabupaten di Indonesia,dengan rata-rata anggaran sebesar Rp50 miliar per kabupaten/kota maka berarti menghabiskan total anggaran sebesar Rp25,7
triliun.
"Semua hal tersebut tentu belum termasuk dengan biaya uang saksi yang harus di persiapkan oleh partai dan paslon dalam pilkada tersebut," tandasnya.
Keempat, sambung dia, pilkada yang telah dilalui saat ini secara langsung dapat berdampak negatif pada polarisasi masyarakat yang ada. Masyarakat terpecah menjadi faksi faksi kelompok politik dan sangat mungkin merusak kultur gotong royong masyarakat Indonesia.
Bahkan, kata Mochtar, bisa lebih membingungkan lagi kalau berbuntut pada gugatan ke pengadilan tata usaha negara (PTUN), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda keputusannya.
"Belum lagi pilkada yang dibatalkan oleh lembaga-lembaga tersebut bisa saja terjadi kekacauan di daerah tersebut," tuturnya.
Kelima, pilkada serentak yang akan dilakukan pada tahun 2024 dapat mengakibatkan kekacauan masa periodesasi pemerintahan. "Sebanyak 270 daerah yang baru saja melakukan pilkada terpaksa harus mengikuti lagi Pilkada serentak kembali di tahun 2024," ujarnya.
Belum lagi adanya korban dari pemilu serentak. KPU mengungkap jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia pada Pemilu 2019 adalah 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. "Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses demokrasi yang dijalankan selama ini terlalu mahal. Perlu dikaji kembali," tuturnya.
(dam)