Membumikan Kembali Pancasila di Kalangan Milenial
loading...
A
A
A
Karena itu, dia menekankan pentingnya kembali nilai-nilai Pancasila di kalangan milenial, dengan cara yang bisa mereka pahami.
“Saya pikir harus ada strategi khusus untuk menanamkan ruh dan nilai-nilai Pancasila kepada generasi milenial. Mereka ini pola pikirnya sudah berbeda zaman dengan kita yang lahir di era 70-an,” tutur Robikin.
Seperti diketahui, di era orde baru (orba) penanaman Pancasila dilakukan melalui Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (B7). Kepemimpinan otoriter Soeharto mewajibkan masyarakat untuk mengikuti pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4). Seiring dengan tumbangnya orba, B7 pun ikut tamat.
Robikin menilai sudah tak relevan jika menggunakan pendekatan doktrinasi untuk menanamkan Pancasila.
“Dibutuhkan strategi yang lebih mengedepankan budaya mendengar dari pada menggurui. Kita perlu dengar apa aspirasi anak-anak milenial tentang Pancasila. Apa yang mereka inginkan tentang Pancasila? Dan seterusnya,” katanya.
Setelah diskusi itu, baru pemerintah memformulasikan sebuah praktek pemahaman baru tentang Pancasila. Di era revolusi digital atau 4.0, tentunya harus memanfaatkan berbagai platform media sosial dan teknologi informasi (TI) yang ada. Robikin mengungkapkan ada lima poin penting yang harus ditanamkan kepada generasi milenial.
Pertama, membangun semangat kebhinekaan. Kedua, pengakuan terhadap perbedaan. Ketiga, perlakukan sama terhadap berbagai komunitas. Keempat, penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia (HAM). Terakhir, kesadaran bahwa hanya dengan memegang teguh nilai-nilai luhur Pancasila, bangsa Indonesia akan selamat, berkarakter kuat, dan berperadaban unggul di tengah-tengah masyarakat dunia.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga mendorong dilakukan kajian yang komprehensif terhadap fenomena lunturnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, semua pihak harus melakukan kajian yang seksama terhadap fenomena ini. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan itu terjadi. Pertama, bagi anak muda sekarang ideologi bukan sesuatu yang penting.
“Saya pikir harus ada strategi khusus untuk menanamkan ruh dan nilai-nilai Pancasila kepada generasi milenial. Mereka ini pola pikirnya sudah berbeda zaman dengan kita yang lahir di era 70-an,” tutur Robikin.
Seperti diketahui, di era orde baru (orba) penanaman Pancasila dilakukan melalui Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (B7). Kepemimpinan otoriter Soeharto mewajibkan masyarakat untuk mengikuti pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4). Seiring dengan tumbangnya orba, B7 pun ikut tamat.
Robikin menilai sudah tak relevan jika menggunakan pendekatan doktrinasi untuk menanamkan Pancasila.
“Dibutuhkan strategi yang lebih mengedepankan budaya mendengar dari pada menggurui. Kita perlu dengar apa aspirasi anak-anak milenial tentang Pancasila. Apa yang mereka inginkan tentang Pancasila? Dan seterusnya,” katanya.
Setelah diskusi itu, baru pemerintah memformulasikan sebuah praktek pemahaman baru tentang Pancasila. Di era revolusi digital atau 4.0, tentunya harus memanfaatkan berbagai platform media sosial dan teknologi informasi (TI) yang ada. Robikin mengungkapkan ada lima poin penting yang harus ditanamkan kepada generasi milenial.
Pertama, membangun semangat kebhinekaan. Kedua, pengakuan terhadap perbedaan. Ketiga, perlakukan sama terhadap berbagai komunitas. Keempat, penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia (HAM). Terakhir, kesadaran bahwa hanya dengan memegang teguh nilai-nilai luhur Pancasila, bangsa Indonesia akan selamat, berkarakter kuat, dan berperadaban unggul di tengah-tengah masyarakat dunia.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah juga mendorong dilakukan kajian yang komprehensif terhadap fenomena lunturnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Pancasila.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, semua pihak harus melakukan kajian yang seksama terhadap fenomena ini. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan itu terjadi. Pertama, bagi anak muda sekarang ideologi bukan sesuatu yang penting.