Pendidikan Nir Pancasila
loading...
A
A
A
Bramastia
Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen Magister Pendidikan Sains Pascasarjana FKIP UNS Surakarta
PASCATERBITNYA Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) tertanggal 30 Maret 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim langsung menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Keberadaan PP yang kini telah ditandatangani Presiden Joko Widodo serta diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) tersebut menimbulkan banyak polemik dan kegaduhan publik.
Teriakan keras dari berbagai komponen masyarakat sangat wajar karena PP tersebut menghilangkan kata “Pancasila” dan "Bahasa Indonesia” sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Ini dinilai tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.
Argumentasi Irasional
Dalam pandangan penulis, rasanya penting melakukan evaluasi menyeluruh terlebih dahulu tentang PP Nomor 57 Tahun 2021 sebelum dilakukan revisi. Langkah ini penting agar kebijakan atau proses legislasi yang dilakukan pemerintah tidak lagi dilakukan secara tergesa-gesa, mengabaikan prinsip kehati-hatian dan profesionalitas. Perlu dilakukan evaluasi untuk memastikan bahwa kesalahan tidak terjadi lagi dan siapa pun yang bertanggung jawab atas kesalahan harus diberi sanksi.
Artinya, bahwa persoalan pada PP Nomor 57 Tahun 2021 tidak hanya mispersepsi sebagaimana disampaikan Mendikbud, tetapi ada sebuah proses penyiapan suatu PP yang isinya tidak sesuai dengan UU. Ironisnya, proses yang salah dalam merumuskan kebijakan ini dibiarkan sampai ke meja Presiden dan bahkan lebih parah lagi sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan Menkumham. Lebih memalukan lagi, hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib terjadi di tengah upaya pemerintah yang sedang gencar-gencarnya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk melaksanakan Pancasila, memerangi terorisme dan radikalisme.
Barangkali pemegang kebijakan lupa bila pendidikan nasional suatu bangsa menjadi satu unsur pemersatu, pengikat, penumbuh dan pengarah cita-cita nasional. Kesalahan tersebut menempatkan kebijakan pendidikan mengakibatkan guncangan yang rentan mengoyak kebhinekaan. Keluarnya PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP yang cepat beredar di masyarakat luas telah menimbulkan pertanyaan berbagai kalangan. Bagaimana mungkin namanya Pancasila dapat lenyap tanpa alasan rasional?
Usaha pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan sebagai bagian dari usaha dan solusi yang relevan dengan situasi kesenjangan pendidikan saat ini merupakan hal yang perlu dicermati. Pasal 40 ayat (3) pada PP Nomor 57 Tahun 2021 yang menghilangkan keberadaan Pancasila (dan Bahasa Indonesia) dari kewajiban kurikulum pendidikan tinggi tentu melukai hati kalangan pendidikan. Adanya bukti konsideran dalam PP Nomor 57 Tahun 2021 yang tidak merujuk prinsip lex specialis sebagaimana UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang dalam Pasal 35 ayat (3) butir c jelas menyebut kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pancasila.
Lebih menyakitkan tatkala Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) awalnya masih berdalih bahwa PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP merupakan mandat dan turunan dari UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sehingga ketentuan mengenai kurikulum pendidikan tinggi pada PP SNP hanya mengikuti UU Sisdiknas.
Argumentasi secara hukum bahwa UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tetap berlaku dan tidak bertentangan dengan UU Sisdiknas maupun PP SNP itu sendiri menjadi kemunduran rasional dengan langsung menyimpulkan mata kuliah Pancasila tetap menjadi mata kuliah wajib pada jenjang pendidikan tinggi.
Perlu Revisi
Dalam pandangan penulis, penghapusan Pancasila sebagaimana dalam PP SNP rasanya kurang bijaksana apabila tidak mempertimbangkan regulasi sebelumnya. Pertama, amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menegaskan, terutama pada Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana Pasal 31 ayat (3) bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Kedua, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tidak boleh dilihat hanya sepotong-sepotong. Dijelaskan pada Pasal 38 ayat (3) bahwa kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. Begitu pula ayat (4) bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. Artinya, standar nasional pendidikan tidak boleh dimaknai secara dangkal, tetapi perlu detail dan mendalam.
Ketiga, sangat jelas tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sebagaimana Pasal 35 ayat (3) bahwa kurikulum pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib memuat mata kuliah: a. agama; b; Pancasila; c. Kewarganegaraan; dan d. Bahasa Indonesia, sehingga memang UU Nomor 12 Tahun 2012 tidak bertentangan dengan UU Sisdiknas dan linier dengan PP SNP sendiri sekaligus mata kuliah Pancasila tetap menjadi mata kuliah wajib pada jenjang pendidikan tinggi dengan disertai sisi regulasi.
Keempat, sebelum lahir PP Nomor 57 Tahun 2021, ada PP Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sebagaimana Pasal 17 ayat (4) dinyatakan bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan. Terbitnya PP Nomor 57 Tahun 2021 semestinya melengkapi aturan sebelumnya yang tidak ada.
Dengan demikian, kiranya pengaturan kurikulum wajib pendidikan tinggi yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi perlu dipertegas. Keberadaan Pancasila rasanya wajib dalam kurikulum demi mencegah kesalahpahaman lebih jauh. Bukan hal tabu bila pemerintah bersedia membatalkan PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP atau merevisi Pasal 40 yang memuat substansi kurikulum wajib berbagai jenjang pendidikan. Kalau perlu, Kemendikbud perlu mendengar banyak masukan terhadap materi lain supaya revisi PP Nomor 57 Tahun 2021 lebih sempurna dalam mengakomodasi berbagai kepentingan dengan pijakan landasan hukum yang lebih komprehensif.
Bahkan, supaya tidak terjadi pendidikan nir Pancasila, maka alangkah bagusnya bila pemerintah juga bersedia menerima masukan dan segera menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) berdasarkan hasil revisi PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP yang mengatur dan memperkuat implementasi kurikulum Pancasila dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam dunia pendidikan.
Pemerhati Kebijakan Pendidikan, Dosen Magister Pendidikan Sains Pascasarjana FKIP UNS Surakarta
PASCATERBITNYA Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) tertanggal 30 Maret 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim langsung menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Keberadaan PP yang kini telah ditandatangani Presiden Joko Widodo serta diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) tersebut menimbulkan banyak polemik dan kegaduhan publik.
Teriakan keras dari berbagai komponen masyarakat sangat wajar karena PP tersebut menghilangkan kata “Pancasila” dan "Bahasa Indonesia” sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Ini dinilai tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.
Argumentasi Irasional
Dalam pandangan penulis, rasanya penting melakukan evaluasi menyeluruh terlebih dahulu tentang PP Nomor 57 Tahun 2021 sebelum dilakukan revisi. Langkah ini penting agar kebijakan atau proses legislasi yang dilakukan pemerintah tidak lagi dilakukan secara tergesa-gesa, mengabaikan prinsip kehati-hatian dan profesionalitas. Perlu dilakukan evaluasi untuk memastikan bahwa kesalahan tidak terjadi lagi dan siapa pun yang bertanggung jawab atas kesalahan harus diberi sanksi.
Artinya, bahwa persoalan pada PP Nomor 57 Tahun 2021 tidak hanya mispersepsi sebagaimana disampaikan Mendikbud, tetapi ada sebuah proses penyiapan suatu PP yang isinya tidak sesuai dengan UU. Ironisnya, proses yang salah dalam merumuskan kebijakan ini dibiarkan sampai ke meja Presiden dan bahkan lebih parah lagi sudah ditandatangani Presiden dan diundangkan Menkumham. Lebih memalukan lagi, hilangnya Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib terjadi di tengah upaya pemerintah yang sedang gencar-gencarnya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk melaksanakan Pancasila, memerangi terorisme dan radikalisme.
Barangkali pemegang kebijakan lupa bila pendidikan nasional suatu bangsa menjadi satu unsur pemersatu, pengikat, penumbuh dan pengarah cita-cita nasional. Kesalahan tersebut menempatkan kebijakan pendidikan mengakibatkan guncangan yang rentan mengoyak kebhinekaan. Keluarnya PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP yang cepat beredar di masyarakat luas telah menimbulkan pertanyaan berbagai kalangan. Bagaimana mungkin namanya Pancasila dapat lenyap tanpa alasan rasional?
Usaha pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan sebagai bagian dari usaha dan solusi yang relevan dengan situasi kesenjangan pendidikan saat ini merupakan hal yang perlu dicermati. Pasal 40 ayat (3) pada PP Nomor 57 Tahun 2021 yang menghilangkan keberadaan Pancasila (dan Bahasa Indonesia) dari kewajiban kurikulum pendidikan tinggi tentu melukai hati kalangan pendidikan. Adanya bukti konsideran dalam PP Nomor 57 Tahun 2021 yang tidak merujuk prinsip lex specialis sebagaimana UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang dalam Pasal 35 ayat (3) butir c jelas menyebut kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pancasila.
Lebih menyakitkan tatkala Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) awalnya masih berdalih bahwa PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP merupakan mandat dan turunan dari UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sehingga ketentuan mengenai kurikulum pendidikan tinggi pada PP SNP hanya mengikuti UU Sisdiknas.
Argumentasi secara hukum bahwa UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tetap berlaku dan tidak bertentangan dengan UU Sisdiknas maupun PP SNP itu sendiri menjadi kemunduran rasional dengan langsung menyimpulkan mata kuliah Pancasila tetap menjadi mata kuliah wajib pada jenjang pendidikan tinggi.
Perlu Revisi
Dalam pandangan penulis, penghapusan Pancasila sebagaimana dalam PP SNP rasanya kurang bijaksana apabila tidak mempertimbangkan regulasi sebelumnya. Pertama, amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menegaskan, terutama pada Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana Pasal 31 ayat (3) bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Kedua, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tidak boleh dilihat hanya sepotong-sepotong. Dijelaskan pada Pasal 38 ayat (3) bahwa kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. Begitu pula ayat (4) bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. Artinya, standar nasional pendidikan tidak boleh dimaknai secara dangkal, tetapi perlu detail dan mendalam.
Ketiga, sangat jelas tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sebagaimana Pasal 35 ayat (3) bahwa kurikulum pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib memuat mata kuliah: a. agama; b; Pancasila; c. Kewarganegaraan; dan d. Bahasa Indonesia, sehingga memang UU Nomor 12 Tahun 2012 tidak bertentangan dengan UU Sisdiknas dan linier dengan PP SNP sendiri sekaligus mata kuliah Pancasila tetap menjadi mata kuliah wajib pada jenjang pendidikan tinggi dengan disertai sisi regulasi.
Keempat, sebelum lahir PP Nomor 57 Tahun 2021, ada PP Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Sebagaimana Pasal 17 ayat (4) dinyatakan bahwa kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan. Terbitnya PP Nomor 57 Tahun 2021 semestinya melengkapi aturan sebelumnya yang tidak ada.
Dengan demikian, kiranya pengaturan kurikulum wajib pendidikan tinggi yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi perlu dipertegas. Keberadaan Pancasila rasanya wajib dalam kurikulum demi mencegah kesalahpahaman lebih jauh. Bukan hal tabu bila pemerintah bersedia membatalkan PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP atau merevisi Pasal 40 yang memuat substansi kurikulum wajib berbagai jenjang pendidikan. Kalau perlu, Kemendikbud perlu mendengar banyak masukan terhadap materi lain supaya revisi PP Nomor 57 Tahun 2021 lebih sempurna dalam mengakomodasi berbagai kepentingan dengan pijakan landasan hukum yang lebih komprehensif.
Bahkan, supaya tidak terjadi pendidikan nir Pancasila, maka alangkah bagusnya bila pemerintah juga bersedia menerima masukan dan segera menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) berdasarkan hasil revisi PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP yang mengatur dan memperkuat implementasi kurikulum Pancasila dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam dunia pendidikan.
(bmm)