Tantangan Deglobalisasi Pangan

Jum'at, 23 April 2021 - 06:05 WIB
loading...
A A A
Prinsip liberalisasi mewujud dalam keterbukaan pasar dalam negeri. Seluruh hambatan pasar dalam bentuk regulasi dan tarif dagang harus direduksi dan dieliminasi untuk produk pangan impor. Indonesia mengalami peningkatan jumlah impor pangan sejak liberalisasi yang dilakukan pemerintah atas arahan IMF pada 1998. Saat itu, tingkat ketergantungan impor pangan meningkat dua kali lipat, yaitu beras sebesar 10%, jagung 20%, kedelai 55%, dan gula 50%.

Jika kita amati, desakan negara maju kepada negara berkembang untuk mempraktikkan prinsip perdagangan bebas adalah sebuah anomali etika. Desakan ini bertentangan dengan kebijakan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang memberikan subsidi kepada para petani dan memberikan tarif terhadap produk pangan yang diimpor.

Di era Revolusi Industri 4.0, liberalisasi menyebabkan kompetisi meraih pasar produk pangan semakin cepat dan ketat karena masuknya produsen besar yang menguasai restoran siap saji dan pasar modern multinasional. Pasar modern multinasional selain memberikan kenyamanan belanja, juga menciptakan iklim pemasaran produk dengan standar mutu dan keamanan pangan terjamin dengan harga kompetitif. Hal ini menimbulkan konsekuensi buah dan sayuran sebagai produk pangan harus memiliki rasa, mutu, bentuk, dan ukuran seragam. Kondisi ini membuat peluang korporasi mengendalikan pasar pangan.

Stok Pangan
Pandemi Covid-19 menyebabkan ketidakpastian baru yang berdampak terhadap kebutuhan pangan. Melihat ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi Covid-19 wacana dan praktik deglobalisasi mengemuka akibat banyak negara ditengarai akan menahan stok pangannya. Deglobalisasi pangan adalah proses berkurangnya saling ketergantungan perdagangan pangan antarnegara di seluruh dunia.

Deglobalisasi bukan istilah baru. Deglobalisasi merupakan antitesis globalisasi. Walden Bello (2003), 17 tahun lalu, mengkritisi antitesis globalisasi ini dalam bukunya berjudul De-globalization. Konteks deglobalisasi adalah “unsustainability” dan “fragility dari globalisasi itu sendiri.

Deglobalisasi pangan di tengah pandemi tampak dari pelarangan ekspor hasil pertanian oleh negara penghasil produk pangan. Thailand dan Vietnam dua negara eksportir beras dunia, mulai melarang dan membatasi ekspor. Tiga eksportir kacang kedelai dunia Amerika, Brasil, dan Argentina menempuh langkah serupa. Hal ini bisa dipahami sebagai upaya negara produsen pangan mengamankan kebutuhan domestik. Namun, di sisi lain, ini menimbulkan persoalan pelik bagi negara yang sepenuhnya bergantung pada impor.

Tidak ada solusi cepat yang bisa dilakukan negara berkembang di tengah pandemi Covid-19 untuk menghadapi deglobalisasi pangan. Pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian tidak cukup untuk menghadapinya. Dibutuhkan modal utama berupa kepemimpinan dan kearifan menghadapi deglobalisasi pangan untuk menjaga keberlanjutan pangan.

Harus kita akui bersama bahwa dalam beberapa tahun belakangan negara-negara berkembang cenderung memiliki ketergantungan pangan terhadap negara maju. Dalam perkembangannya, disadari atau tidak, globalisasi pangan telah berdampak negatif terhadap ketahanan pangan, pertanian lokal, keragaman produk pangan, keanekaragaman hayati serta keamanan pangan dan lingkungan suatu negara.

Hemat penulis, ada tiga strategi yang bisa dilakukan untuk menjawab tantangan deglobalisasi pangan saat pandemi Covid-19. Tiga strategi tersebut adalah peningkatan akses pasar bagi produk lokal, program budi daya pertanian organik berbasis keluarga, dan adaptasi perkembangan teknologi bagi petani.
(bmm)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1252 seconds (0.1#10.140)