Tantangan Deglobalisasi Pangan
loading...
A
A
A
Farda Sanberra
Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Provinsi Jawa Barat, Alumnus IPB University
DATA terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor sektor pertanian pada periode Januari-Februari 2021 mengalami pertumbuhan positif sebesar USD0,65 miliar atau 8,81% secara tahunan (yoy). Pertumbuhan ekspor pertanian ini akan membuat produk domestik bruto (PDB) pertanian pada kuartal I 2021 tetap melanjutkan tren pertumbuhan positif di tengah pandemi Covid-19.
Ekspor-impor komoditas pertanian dan pangan merupakan sebuah keniscayaan di era globalisasi. Salah satu alasannya karena setiap negara punya keunggulan komparatif dan kondisi agroekologi wilayah serta iklim berbeda-beda.
Ekspor-impor komoditas pertanian dan pangan adalah salah satu instrumen globalisasi. Globalisasi awalnya diharapkan dapat menciptakan pemerataan kesejahteraan, namun pada praktiknya tidak seperti yang diharapkan. Hari demi hari globalisasi membuat dunia semakin sarat dengan ketimpangan. Data awal tahun ini menyebutkan bahwa harta 2.153 orang terkaya setara dengan uang 4,6 miliar penduduk termiskin dunia!
Secara historis, kelembagaan globalisasi diawali dengan lahirnya dua institusi, yaitu bank dunia (Word Bank) dan dana moneter internasional (IMF). Pada 1995 kedua institusi ini ikut andil menciptakan World Trade Organization (WTO). Dengan ideologi perdagangan bebas (free trade), WTO beroperasi mengikat dan melewati batas negara anggota dengan aturan main beserta sanksi. WTO memiliki otoritas mengadili pelanggaran yang dilakukan oleh negara anggota.
Globalisasi juga terjadi pada sektor pertanian dan pangan. Kehadiran sejumlah sayur dan buah segar serta ribuan pangan olahan impor di pasar modern hingga pasar tradisional merupakan fakta fenomena globalisasi pangan di Indonesia.
Di era Revolusi Industri 4.0, globalisasi pangan beradaptasi. Saat ini introduksi dan penetrasi produk pangan ke pasar global didesain secara sistematis melalui jaringan distribusi dan marketing yang efisien. Ini artinya negara yang unggul di bidang teknologi informasi akan menguasai perdagangan pangan.
Dua prinsip utama globalisasi pangan adalah harmonisasi dan liberalisasi. Prinsip harmonisasi terlihat mewujud dalam penyeragaman keamanan dan standar mutu pangan. Keamanan pangan mengatasnamakan konsumen seluruh dunia, namun pada praktiknya selalu menguntungkan negara maju.
Negara maju melakukan penyesuaian regulasi keamanan pangan dengan titik berat pada pengendalian proses dan mengurangi risiko dalam keseluruhan sistem produksi pangan. Konsekuensinya, produsen di negara berkembang harus mencurahkan segala daya upaya untuk melindungi konsumen di negara maju.
Pada kenyataannya, prinsip harmonisasi acap kali menjadi penghambat ekspor pangan dari negara berkembang ke negara maju karena kesenjangan teknologi, peralatan, dan know-how. Malah yang terjadi adalah produk pangan dengan mudah membanjiri pasar negara berkembang. Hal inilah yang sering dikenal dengan paradoks keamanan pangan.
Prinsip liberalisasi mewujud dalam keterbukaan pasar dalam negeri. Seluruh hambatan pasar dalam bentuk regulasi dan tarif dagang harus direduksi dan dieliminasi untuk produk pangan impor. Indonesia mengalami peningkatan jumlah impor pangan sejak liberalisasi yang dilakukan pemerintah atas arahan IMF pada 1998. Saat itu, tingkat ketergantungan impor pangan meningkat dua kali lipat, yaitu beras sebesar 10%, jagung 20%, kedelai 55%, dan gula 50%.
Jika kita amati, desakan negara maju kepada negara berkembang untuk mempraktikkan prinsip perdagangan bebas adalah sebuah anomali etika. Desakan ini bertentangan dengan kebijakan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang memberikan subsidi kepada para petani dan memberikan tarif terhadap produk pangan yang diimpor.
Di era Revolusi Industri 4.0, liberalisasi menyebabkan kompetisi meraih pasar produk pangan semakin cepat dan ketat karena masuknya produsen besar yang menguasai restoran siap saji dan pasar modern multinasional. Pasar modern multinasional selain memberikan kenyamanan belanja, juga menciptakan iklim pemasaran produk dengan standar mutu dan keamanan pangan terjamin dengan harga kompetitif. Hal ini menimbulkan konsekuensi buah dan sayuran sebagai produk pangan harus memiliki rasa, mutu, bentuk, dan ukuran seragam. Kondisi ini membuat peluang korporasi mengendalikan pasar pangan.
Stok Pangan
Pandemi Covid-19 menyebabkan ketidakpastian baru yang berdampak terhadap kebutuhan pangan. Melihat ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi Covid-19 wacana dan praktik deglobalisasi mengemuka akibat banyak negara ditengarai akan menahan stok pangannya. Deglobalisasi pangan adalah proses berkurangnya saling ketergantungan perdagangan pangan antarnegara di seluruh dunia.
Deglobalisasi bukan istilah baru. Deglobalisasi merupakan antitesis globalisasi. Walden Bello (2003), 17 tahun lalu, mengkritisi antitesis globalisasi ini dalam bukunya berjudul De-globalization. Konteks deglobalisasi adalah “unsustainability” dan “fragility dari globalisasi itu sendiri.
Deglobalisasi pangan di tengah pandemi tampak dari pelarangan ekspor hasil pertanian oleh negara penghasil produk pangan. Thailand dan Vietnam dua negara eksportir beras dunia, mulai melarang dan membatasi ekspor. Tiga eksportir kacang kedelai dunia Amerika, Brasil, dan Argentina menempuh langkah serupa. Hal ini bisa dipahami sebagai upaya negara produsen pangan mengamankan kebutuhan domestik. Namun, di sisi lain, ini menimbulkan persoalan pelik bagi negara yang sepenuhnya bergantung pada impor.
Tidak ada solusi cepat yang bisa dilakukan negara berkembang di tengah pandemi Covid-19 untuk menghadapi deglobalisasi pangan. Pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian tidak cukup untuk menghadapinya. Dibutuhkan modal utama berupa kepemimpinan dan kearifan menghadapi deglobalisasi pangan untuk menjaga keberlanjutan pangan.
Harus kita akui bersama bahwa dalam beberapa tahun belakangan negara-negara berkembang cenderung memiliki ketergantungan pangan terhadap negara maju. Dalam perkembangannya, disadari atau tidak, globalisasi pangan telah berdampak negatif terhadap ketahanan pangan, pertanian lokal, keragaman produk pangan, keanekaragaman hayati serta keamanan pangan dan lingkungan suatu negara.
Hemat penulis, ada tiga strategi yang bisa dilakukan untuk menjawab tantangan deglobalisasi pangan saat pandemi Covid-19. Tiga strategi tersebut adalah peningkatan akses pasar bagi produk lokal, program budi daya pertanian organik berbasis keluarga, dan adaptasi perkembangan teknologi bagi petani.
Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Provinsi Jawa Barat, Alumnus IPB University
DATA terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor sektor pertanian pada periode Januari-Februari 2021 mengalami pertumbuhan positif sebesar USD0,65 miliar atau 8,81% secara tahunan (yoy). Pertumbuhan ekspor pertanian ini akan membuat produk domestik bruto (PDB) pertanian pada kuartal I 2021 tetap melanjutkan tren pertumbuhan positif di tengah pandemi Covid-19.
Ekspor-impor komoditas pertanian dan pangan merupakan sebuah keniscayaan di era globalisasi. Salah satu alasannya karena setiap negara punya keunggulan komparatif dan kondisi agroekologi wilayah serta iklim berbeda-beda.
Ekspor-impor komoditas pertanian dan pangan adalah salah satu instrumen globalisasi. Globalisasi awalnya diharapkan dapat menciptakan pemerataan kesejahteraan, namun pada praktiknya tidak seperti yang diharapkan. Hari demi hari globalisasi membuat dunia semakin sarat dengan ketimpangan. Data awal tahun ini menyebutkan bahwa harta 2.153 orang terkaya setara dengan uang 4,6 miliar penduduk termiskin dunia!
Secara historis, kelembagaan globalisasi diawali dengan lahirnya dua institusi, yaitu bank dunia (Word Bank) dan dana moneter internasional (IMF). Pada 1995 kedua institusi ini ikut andil menciptakan World Trade Organization (WTO). Dengan ideologi perdagangan bebas (free trade), WTO beroperasi mengikat dan melewati batas negara anggota dengan aturan main beserta sanksi. WTO memiliki otoritas mengadili pelanggaran yang dilakukan oleh negara anggota.
Globalisasi juga terjadi pada sektor pertanian dan pangan. Kehadiran sejumlah sayur dan buah segar serta ribuan pangan olahan impor di pasar modern hingga pasar tradisional merupakan fakta fenomena globalisasi pangan di Indonesia.
Di era Revolusi Industri 4.0, globalisasi pangan beradaptasi. Saat ini introduksi dan penetrasi produk pangan ke pasar global didesain secara sistematis melalui jaringan distribusi dan marketing yang efisien. Ini artinya negara yang unggul di bidang teknologi informasi akan menguasai perdagangan pangan.
Dua prinsip utama globalisasi pangan adalah harmonisasi dan liberalisasi. Prinsip harmonisasi terlihat mewujud dalam penyeragaman keamanan dan standar mutu pangan. Keamanan pangan mengatasnamakan konsumen seluruh dunia, namun pada praktiknya selalu menguntungkan negara maju.
Negara maju melakukan penyesuaian regulasi keamanan pangan dengan titik berat pada pengendalian proses dan mengurangi risiko dalam keseluruhan sistem produksi pangan. Konsekuensinya, produsen di negara berkembang harus mencurahkan segala daya upaya untuk melindungi konsumen di negara maju.
Pada kenyataannya, prinsip harmonisasi acap kali menjadi penghambat ekspor pangan dari negara berkembang ke negara maju karena kesenjangan teknologi, peralatan, dan know-how. Malah yang terjadi adalah produk pangan dengan mudah membanjiri pasar negara berkembang. Hal inilah yang sering dikenal dengan paradoks keamanan pangan.
Prinsip liberalisasi mewujud dalam keterbukaan pasar dalam negeri. Seluruh hambatan pasar dalam bentuk regulasi dan tarif dagang harus direduksi dan dieliminasi untuk produk pangan impor. Indonesia mengalami peningkatan jumlah impor pangan sejak liberalisasi yang dilakukan pemerintah atas arahan IMF pada 1998. Saat itu, tingkat ketergantungan impor pangan meningkat dua kali lipat, yaitu beras sebesar 10%, jagung 20%, kedelai 55%, dan gula 50%.
Jika kita amati, desakan negara maju kepada negara berkembang untuk mempraktikkan prinsip perdagangan bebas adalah sebuah anomali etika. Desakan ini bertentangan dengan kebijakan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang memberikan subsidi kepada para petani dan memberikan tarif terhadap produk pangan yang diimpor.
Di era Revolusi Industri 4.0, liberalisasi menyebabkan kompetisi meraih pasar produk pangan semakin cepat dan ketat karena masuknya produsen besar yang menguasai restoran siap saji dan pasar modern multinasional. Pasar modern multinasional selain memberikan kenyamanan belanja, juga menciptakan iklim pemasaran produk dengan standar mutu dan keamanan pangan terjamin dengan harga kompetitif. Hal ini menimbulkan konsekuensi buah dan sayuran sebagai produk pangan harus memiliki rasa, mutu, bentuk, dan ukuran seragam. Kondisi ini membuat peluang korporasi mengendalikan pasar pangan.
Stok Pangan
Pandemi Covid-19 menyebabkan ketidakpastian baru yang berdampak terhadap kebutuhan pangan. Melihat ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi Covid-19 wacana dan praktik deglobalisasi mengemuka akibat banyak negara ditengarai akan menahan stok pangannya. Deglobalisasi pangan adalah proses berkurangnya saling ketergantungan perdagangan pangan antarnegara di seluruh dunia.
Deglobalisasi bukan istilah baru. Deglobalisasi merupakan antitesis globalisasi. Walden Bello (2003), 17 tahun lalu, mengkritisi antitesis globalisasi ini dalam bukunya berjudul De-globalization. Konteks deglobalisasi adalah “unsustainability” dan “fragility dari globalisasi itu sendiri.
Deglobalisasi pangan di tengah pandemi tampak dari pelarangan ekspor hasil pertanian oleh negara penghasil produk pangan. Thailand dan Vietnam dua negara eksportir beras dunia, mulai melarang dan membatasi ekspor. Tiga eksportir kacang kedelai dunia Amerika, Brasil, dan Argentina menempuh langkah serupa. Hal ini bisa dipahami sebagai upaya negara produsen pangan mengamankan kebutuhan domestik. Namun, di sisi lain, ini menimbulkan persoalan pelik bagi negara yang sepenuhnya bergantung pada impor.
Tidak ada solusi cepat yang bisa dilakukan negara berkembang di tengah pandemi Covid-19 untuk menghadapi deglobalisasi pangan. Pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian tidak cukup untuk menghadapinya. Dibutuhkan modal utama berupa kepemimpinan dan kearifan menghadapi deglobalisasi pangan untuk menjaga keberlanjutan pangan.
Harus kita akui bersama bahwa dalam beberapa tahun belakangan negara-negara berkembang cenderung memiliki ketergantungan pangan terhadap negara maju. Dalam perkembangannya, disadari atau tidak, globalisasi pangan telah berdampak negatif terhadap ketahanan pangan, pertanian lokal, keragaman produk pangan, keanekaragaman hayati serta keamanan pangan dan lingkungan suatu negara.
Hemat penulis, ada tiga strategi yang bisa dilakukan untuk menjawab tantangan deglobalisasi pangan saat pandemi Covid-19. Tiga strategi tersebut adalah peningkatan akses pasar bagi produk lokal, program budi daya pertanian organik berbasis keluarga, dan adaptasi perkembangan teknologi bagi petani.
(bmm)