Zakat dan 'Economical Justice'

Kamis, 22 April 2021 - 05:06 WIB
loading...
A A A
Kita semua memang menyadari ada perbedaan di antara manusia, baik dari aspek fisik maupun psikis. Tapi adanya kemiskinan di masyarakat sesungguhnya mengindikasikan masih adanya kezaliman pada diri kita. Karena itu fungsi dari tugas kekhalifahan manusia di antaranya adalah mengarahkan sunnatullah itu bagi kesejahteraan manusia beserta makhluk lainnya. Dalam komunitas masyarakat yang adil, kekayaan dan kemiskinan akan mewujud dalam kualitas dan proporsi yang wajar dan rasional. Kalaupun di dalamnya masih mungkin terdapat si kaya dan si miskin, perbedaan itu hanya boleh terjadi dalam batas-batas kewajaran dan kemanusiaan.

Keadilan yang berkemakmuran dan kemakmuran yang berkeadilan menghapuskan sama sekali free fight liberalism. Ini bukan berarti Islam mengharamkan private ownership, tetapi private ownership dalam Islam tidak boleh melebihi kebutuhan rata-rata masyarakat. Sebab, menurut Mahmud Syaltout, kekayaan yang berlebihan akan selalu menjadi provokasi terhadap kepentingan berbagai golongan yang bersifat destruktif. Sebaliknya penggunaan yang kurang dari rata-rata kebutuhan masyarakat akan merusak masyarakat itu sendiri.

Untuk mewujudkan keadilan dibutuhkan sekelompok orang yang karena kapasitas dan kemampuannya dipercaya menjadi pemimpin masyarakat. Karena itulah, dalam konteks zakat, Khalifah Abu Bakar pernah memerangi sekelompok orang yang membangkang atau enggan membayar zakat. Tindakan tersebut dimaksudkan agar seluruh warga negara terlindungi dari kemungkinan pengebirian terhadap kemerdekaan dan harga dirinya sebagai manusia.

Benang Kusut Zakat
Di Indonesia, sekalipun masalah zakat sudah diatur melalui Undang-Undang (UU) Pengelolaan Zakat Nomor 23 Tahun 2011, bahkan sudah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14/2014 dan Inpres Nomor 3/2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat, ternyata persoalan zakat tetap bagai benang kusut yang tak terurai. Mulai dari penentuan siapa yang termasuk wajib zakat, barang-barang yang dizakati, ukuran nisab, dan bahkan sampai batasan haul, tetap menjadi khilafiah di kalangan umat. Tak berlebihan bila zakat belum mampu memberikan output yang signifikan bagi perbaikan ekonomi bangsa.

Mengapa demikian? Ini, antara lain, disebabkan secara yuridis-formal UU ini tak memiliki kekuatan memaksa bagi muzakki untuk membayarkan zakat. UU ini hanya sebatas mengatur pengelolaan zakat semata. Supremasi pemerintah selaku penguasa dan penyelenggara negara yang memiliki daya paksa tak terlihat dalam UU tersebut. Dengan kata lain UU Zakat yang ada sekarang tak memiliki kekuatan memaksa untuk mengambil zakat dari muzakki.

Kelemahan ini tentu saja menciptakan peluang bagi kelompok tertentu yang berkantong tebal dan belum memiliki komitmen moral yang tinggi untuk tidak berzakat. Berbagai persoalan khilafiah yang ada dalam perkembangan terakhir juga tak bisa terselesaikan. Sebutlah persoalan zakat profesi (pengacara, dokter, konsultan, dan semacamnya) yang dulunya belum disentuh nash. Ketika sekarang timbul ijtihad yang menyebutkan profesi juga wajib dizakati, ijtihad lain mengatakan itu tak termasuk wajib zakat. Padahal penghasilan dari profesi itu jauh lebih besar daripada pendapatan petani yang telah lebih dulu diwajibkan berzakat.

Oleh karena itu pemerintah sekarang harus merevisi UU ini agar memiliki kekuatan memaksa. Dalam perspektif fiqh al-siyasah (fikih politik), tindakan ini bisa dibenarkan. Sebab tugas pemerintah adalah pemutus perkara yang menjadi khilafiah (yarfa' al khilaf).

Lebih dari itu pemerintah adalah satu-satunya institusi legal yang memiliki kekuatan memaksa. Tentu saja keputusan tersebut tak boleh lepas dari koordinasi dengan para ulama yang lebih memahami masalah ini. Dengan revisi UU ini, diharapkan zakat mampu menjadi solusi efektif menuju terciptanya keadilan ekonomi (economical justice). Semoga.
(bmm)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2039 seconds (0.1#10.140)