Urgensi Pendidikan Perubahan Iklim
loading...
A
A
A
Saiful Maarif
Bekerja pada Kementerian Agama dan Penggiat Birokrat Menulis
PERUBAHAN iklim telah menggeser pemahaman dasar tentang status kebencanaan. Selama ini kita memahami dan merasa ditenangkan dengan pandangan efek Corialis. Pandangan ini meyakini bahwa tinggal dan berada di garis Khatulistiwa menghindarkan diri dari kemungkinan bencana siklon. Namun, bencana siklon Seroja yang menerjang NTT beberapa waktu lalu membuktikan sebaliknya. Hal ini harus menjadi pengingat bersama bahwa kita tidak bisa lagi merasa jauh dari kemungkinan siklon yang kerap terjadi di negara tetangga seperti Filipina, Bangladesh, dan Vietnam.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mewanti-wanti bahwa perubahan iklim telah menjadi ancaman baru yang berpotensi menimbulkan bencana (SINDOnews, 14/04/2021). Siklon tropis Seroja yang menghantam NTT menjadi peringatan semua pihak untuk bersegera dalam mengembangkan kesadaran baru berinteraksi dengan alam. Di dalamnya, pendidikan menjadi tonggak utama dalam membentuk cetak biru generasi mendatang yang lebih arif dan bijaksana dalam berkomitmen dengan alam dan lingkungan hidup. Di samping itu, pendidikan menjadi peluang penting untuk menumbuhkan kesiapsiagaan menghadapi risiko bencana di Tanah Air yang membayangi tiap saat.
Belakangan, banyak hal yang terkait dengan pendidikan mudah atau selalu dikaitkan dengan perlunya menyiapkan diri memasuki era Revolusi Industri 4.0 dan seterusnya. Arus pemikiran dan pandangan ini bisa menghantarkan sikap mekanistik jika tidak diimbangi dengan sikap dan pandangan yang bersumber pada penghargaan terhadap alam, lingkungan, dan perubahan iklim.
Dalam mendalami skala dan dampak perubahan iklim, The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2013 telah membuat data dan pemodelan selisih tinggi muka air laut dengan tinggi rata-rata global berdasar pendekatan paleoklimatologi dan proyeksi saintifik. Lalu, diperoleh data bahwa dari sejak era Revolusi Industri hingga 2100 mendatang permukaan air laut secara global akan mengalami kenaikan 0,7 meter. Di titik ini apa yang diagung-agungkan sebagai perubahan dan capaian besar manusia dalam dunia industri nyatanya berjalan seiring dengan perubahan iklim dengan beragam daya destruktifnya.
Data serupa juga dilansir oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOOA). Tiga lembaga terkemuka tersebut, bersama dengan lembaga penting lainnya, menyeru langkah bersama untuk merespons kegawatan iklim dan lingkungan.
Pasalnya, perubahan iklim, baik dalam bentuk kenaikan temperatur maupun kenaikan permukaan laut, terjadi akibat ada peningkatan jumlah energi yang tertahan di permukaan bumi sebagai akibat dari akumulasi gas rumah kaca (terutama karbon dioksida). Meskipun kenaikan temperatur permukaan laut merupakan bagian dari siklus natural, pemanasan global dan perubahan iklim yang dialami saat ini diyakini terkait erat dengan aktivitas manusia dan pembakaran bahan bakar fosil.
Meskipun demikian, pandangan para ahli perubahan iklim kerap berbeda terhadap data dan solusi yang ditawarkan. IPCC, NOOA, dan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) kerap dikritik sebagai pihak yang hanya mementingkan guyuran dana untuk beragam proyek terkait perubahan iklim. Di antara yang bersuara keras soal demikian adalah aktivis lingkungan Bjorn Lomgord dan Gretha Thurnberg.
Inilah dilema antara perkembangan peradaban yang mewujud pada capaian Revolusi Industri dan perlunya disiplin diri dalam mengkhidmat alam dan lingkungan. Pasalnya, beragam situasi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim terkait erat dengan gaya hidup manusia (Putri Setiani, 2020). Gaya hidup dan kebiasaan diri berkorelasi erat dengan proses pembiasaan dan budaya disiplin diri. Dalam kaitan ini, pendidikan berada di garis terdepan dalam kemungkinan ikut mewarnai dan mengisi gaya dan pola hidup generasi mendatang dalam berinteraksi dengan alam dan lingkungan. Pendidikan harus mampu menjadi corong utama nilai dan kebajikan untuk merespons perubahan iklim yang makin nyata dengan segala dampaknya.
Menjadikan pendidikan sebagai pilar utama proses penyadaran perubahan iklim berikut menjaga lingkungan merupakan kesempatan penting sekaligus tantangan yang tidak mudah. Pada level upaya penyampaian dan internalisasi nilai-nilai kebajikan dan praktik baik, lembaga pendidikan adalah tempat yang paling tepat. Bayangkan jika kesadaran perubahan iklim ini mampu menyentuh dan menghasilkan kerangka berpikir dan praktik baik pada semua jenjang dan jenis pendidikan. Mari berharap agar lembaga pendidikan agama dan keagamaan menyeru dan mempraktikkan ihwal baik untuk menekan perubahan iklim sebagaimana disuarakan para ahli dan pemikir terkait.
Bekerja pada Kementerian Agama dan Penggiat Birokrat Menulis
PERUBAHAN iklim telah menggeser pemahaman dasar tentang status kebencanaan. Selama ini kita memahami dan merasa ditenangkan dengan pandangan efek Corialis. Pandangan ini meyakini bahwa tinggal dan berada di garis Khatulistiwa menghindarkan diri dari kemungkinan bencana siklon. Namun, bencana siklon Seroja yang menerjang NTT beberapa waktu lalu membuktikan sebaliknya. Hal ini harus menjadi pengingat bersama bahwa kita tidak bisa lagi merasa jauh dari kemungkinan siklon yang kerap terjadi di negara tetangga seperti Filipina, Bangladesh, dan Vietnam.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mewanti-wanti bahwa perubahan iklim telah menjadi ancaman baru yang berpotensi menimbulkan bencana (SINDOnews, 14/04/2021). Siklon tropis Seroja yang menghantam NTT menjadi peringatan semua pihak untuk bersegera dalam mengembangkan kesadaran baru berinteraksi dengan alam. Di dalamnya, pendidikan menjadi tonggak utama dalam membentuk cetak biru generasi mendatang yang lebih arif dan bijaksana dalam berkomitmen dengan alam dan lingkungan hidup. Di samping itu, pendidikan menjadi peluang penting untuk menumbuhkan kesiapsiagaan menghadapi risiko bencana di Tanah Air yang membayangi tiap saat.
Belakangan, banyak hal yang terkait dengan pendidikan mudah atau selalu dikaitkan dengan perlunya menyiapkan diri memasuki era Revolusi Industri 4.0 dan seterusnya. Arus pemikiran dan pandangan ini bisa menghantarkan sikap mekanistik jika tidak diimbangi dengan sikap dan pandangan yang bersumber pada penghargaan terhadap alam, lingkungan, dan perubahan iklim.
Dalam mendalami skala dan dampak perubahan iklim, The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2013 telah membuat data dan pemodelan selisih tinggi muka air laut dengan tinggi rata-rata global berdasar pendekatan paleoklimatologi dan proyeksi saintifik. Lalu, diperoleh data bahwa dari sejak era Revolusi Industri hingga 2100 mendatang permukaan air laut secara global akan mengalami kenaikan 0,7 meter. Di titik ini apa yang diagung-agungkan sebagai perubahan dan capaian besar manusia dalam dunia industri nyatanya berjalan seiring dengan perubahan iklim dengan beragam daya destruktifnya.
Data serupa juga dilansir oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOOA). Tiga lembaga terkemuka tersebut, bersama dengan lembaga penting lainnya, menyeru langkah bersama untuk merespons kegawatan iklim dan lingkungan.
Pasalnya, perubahan iklim, baik dalam bentuk kenaikan temperatur maupun kenaikan permukaan laut, terjadi akibat ada peningkatan jumlah energi yang tertahan di permukaan bumi sebagai akibat dari akumulasi gas rumah kaca (terutama karbon dioksida). Meskipun kenaikan temperatur permukaan laut merupakan bagian dari siklus natural, pemanasan global dan perubahan iklim yang dialami saat ini diyakini terkait erat dengan aktivitas manusia dan pembakaran bahan bakar fosil.
Meskipun demikian, pandangan para ahli perubahan iklim kerap berbeda terhadap data dan solusi yang ditawarkan. IPCC, NOOA, dan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) kerap dikritik sebagai pihak yang hanya mementingkan guyuran dana untuk beragam proyek terkait perubahan iklim. Di antara yang bersuara keras soal demikian adalah aktivis lingkungan Bjorn Lomgord dan Gretha Thurnberg.
Inilah dilema antara perkembangan peradaban yang mewujud pada capaian Revolusi Industri dan perlunya disiplin diri dalam mengkhidmat alam dan lingkungan. Pasalnya, beragam situasi kerusakan lingkungan dan perubahan iklim terkait erat dengan gaya hidup manusia (Putri Setiani, 2020). Gaya hidup dan kebiasaan diri berkorelasi erat dengan proses pembiasaan dan budaya disiplin diri. Dalam kaitan ini, pendidikan berada di garis terdepan dalam kemungkinan ikut mewarnai dan mengisi gaya dan pola hidup generasi mendatang dalam berinteraksi dengan alam dan lingkungan. Pendidikan harus mampu menjadi corong utama nilai dan kebajikan untuk merespons perubahan iklim yang makin nyata dengan segala dampaknya.
Menjadikan pendidikan sebagai pilar utama proses penyadaran perubahan iklim berikut menjaga lingkungan merupakan kesempatan penting sekaligus tantangan yang tidak mudah. Pada level upaya penyampaian dan internalisasi nilai-nilai kebajikan dan praktik baik, lembaga pendidikan adalah tempat yang paling tepat. Bayangkan jika kesadaran perubahan iklim ini mampu menyentuh dan menghasilkan kerangka berpikir dan praktik baik pada semua jenjang dan jenis pendidikan. Mari berharap agar lembaga pendidikan agama dan keagamaan menyeru dan mempraktikkan ihwal baik untuk menekan perubahan iklim sebagaimana disuarakan para ahli dan pemikir terkait.