Filantropi Ramadan, Spirit Baru Kekuatan Indonesia

Senin, 19 April 2021 - 06:05 WIB
loading...
Filantropi Ramadan, Spirit Baru Kekuatan Indonesia
Potensi zakat nasional terbilang besar sehingga harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. FOTO/DOK SINDO
A A A
JAKARTA - Masyarakat Indonesia menunjukkan semangat filantropi atau kedermawanan yang tinggi di masa pandemi Covid-19. Tren filantropi juga meningkat tajam saat Ramadan . Umat Islam menggunakan momentum Bulan Suci untuk giat berbagi dan membantu sesama.

Semangat berbagi di Bulan Ramadan ditunjukkan dengan menunaikan kewajiban zakat, infak dan sedekah. Dana yang dihimpun kemudian disalurkan kepada warga yang membutuhkan, terutama mereka yang mengalami kesulitan ekonomi, baik akibat terdampak pandemi maupun bencana alam.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunujukkan, jumlah warga miskin Indonesia per September 2020 mencapai 27,55 juta jiwa. Membengkaknya jumlah warga miskin tak lepas dari pandemi yang membuat jutaan orang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) atau hilang mata pencaharian.



Dalam kondisi ini, semangat dan gairah filantropi masyarakat Indonesia seolah menemukan momentumnya. Kepedulian para dermawan diyakini dapat meringankan beban sesama melalui zakat, infak dan sedekah yang disalurkannya.

Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Noor Achmad mengapresiasi terus meningkatnya minat umat Islam Indonesia untuk berderma tersebut. Noor Achmad meyakini fenomena ini benar-benar lahir dari lubuk hati terdalam umat Islam, bukan setingan atau dipengaruhi kepentingan lain di luar niat untuk beribadah. “Ini fenomena asli masyarakat muslim dan masyarakat Indonesia,” ujar Noor Achmad, Minggu (18/4/2021).

Antusiasme masyarakat mendermakan sebagian hartanya terlihat jelas dari meningkatnya dana yang dihimpun lembaga amil zakat. Pada 2020, zakat, infak dan sedekah yang berhasil dikumpulkan oleh Baznas mencapai Rp385 miliar, naik 30% dari 2019 sebesar Rp296 miliar. Dari dana tersebut Baznas telah membantu 1,5 juta jiwa warga Indonesia yang butuh uluran tangan.

Pada Ramadan kali ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengajak masyarakat untuk menunaikan kewajiban membayar zakat melalui Gerakan Cinta Zakat. Presiden meluncurkan Gerakan Cinta Zakat ini di Istana Negara, Kamis (15/4). Menurut Jokowi, Gerakan Cinta Zakat sejalan dengan program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, menangani musibah dan bencana, serta menuntaskan program-program SDGs.



Ajakan Presiden untuk cinta zakat wajar mengingat potensi zakat tergolong sangat besar. Data Outlook Zakat Indonesia 2021 sebagaimana disampaikan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin beberapa waktu lalu, potensi zakat Indonesia pada 2020 mencapai Rp327,6 triliun. Potensi terbesar adalah zakat penghasilan dan jasa sebesar Rp139,07 triliun, zakat perusahaan termasuk BUMN Rp100 triliun, lalu zakat uang (Rp58,76 triliun), zakat pertanian (Rp19,79 triliun), dan terakhir zakat peternakan (Rp9,52 triliun).

Namun, masalahnya adalah dari Rp327 potensi zakat tersebut, dana yang berhasil terhimpun baru Rp71,4 triliun atau sekitar 21,7%. Masih terjadi kesenjangan yang lebar antara potensi zakat dengan kemampuan realisasi.

Selain itu, masalah berikutnya adalah masih rendahnya penerimaan zakat oleh lembaga pengelola zakat (OPZ). Lebih banyak masyarakat yang memilih menyerahkan langsung zakat, infak dan sedekahnya kepada orang yang dinlai membutuhkan, atau ke lembaga informal.

Wapres mengungkapkan, riset gabungan Baznas dengan berbagai lembaga menyebutkan bahwa tercatat sekitar Rp61,258 triliun penghimpunan zakat, infak dan sedekah pada 2020 yang tidak melalui OPZ resmi. Adapun secara nasional pada 2019 penghimpunan zakat, infak dan sedekah yang melalui OPZ resmi baru mencapai Rp10,2 triliun. Atas dasar itu Wapres meminta Baznas terus meningkatkan kepercayaan baik kepada Muzakki yang belum menyalurkan zakatnya kepada OPZ maupun mereka yang belum berzakat.

Noor Achmad menandaskan, Gerakan Cinta Zakat ini hakikatnya juga potret dan respons atas tingginya keinginan masyarakat muslim Indonesia untuk berderma atau memberi bantuan kepada orang. “Sehingga apa yang kami sampaikan tidak ada yang keberatan atau menjadi masalah,” terangnya.

Selain menyambut keinginan masyarakat, aspirasi Gerakan Cinta Zakat juga muncul dari Majelis Ulama Indonesi (MUI) dan sejumlah ormas keagamaan Islam. Noor Achmad juga bersyukur Presiden Jokowi juga merespons positif lahirnya gerakan ini.



CEO Rumah Zakat Nur Efendi juga mengakui peran zakat, infak, sedekah sangat strategis dalam upaya menyejahterakan masyarakat. Apalagi di saat pandemi, perannya dalam membantu masyarakat miskin yang terdampak secara ekonomi kian penting. “Itu sangat membantu masyarakat, selain jaminan sosial dan bantuan ekonomi dari pemerintah,” ujar Efendi.

Menurutnya, salah satu faktor pendorong maraknya filantropi Islam beberapa tahun terakhir adalah penggunaan media digital untuk menyalurkan zakat, infak dan sedekah. Media digital dinilai mampu diadaptasi dengan baik. Selain itu, pemerintah dinilai sangat responsif dengan keberadaan lembaga filantropi yang digerakkan masyarakat.

“Pemerintah juga responsnya baik dengan memberikan ruang kepada lembaga filantropi untuk tetap tumbuh, baik dari penghimpunan maupun pemanfaatan yang memberikan dampak kepada mustahik,” ujarnya.

Besarnya peran filantropi Islam dalam membantu masyarakat yang terdampak pandemi juga diakui oleh Fitra Rizal, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo. Hasil penelitian Fitra berjudul Filantropi Islam Solusi atas Masalah Kemiskinan akibat Pandemi Covid-19 telah dipublikasi pada sebuah jurnal pada 2021.

Riset yang mengangkat soal manfaat dana zakat, infak, sedekah dan wakaf (ZISWAF) tersebut menyimpulkan bahwa untuk mengentaskan persoalan ekonomi masyarakat yang terdampak pandemi, ada dua treatment yang bisa dilakukan. Pertama, pemberian zakat yang bersifat konsumtif. Ini seperti bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah. Bantuan ini sangat diperlukan bagi masyarakat yang secara ekonomi tidak punya kemampuan bertahan.

“Misalkan diberi uang, atau lembaga amil zakat kasih makanan atau bahan pokok, itu punya multiplier effect yang sangat besar,” ujarnya.

Kedua, pemberian bantuan modal kepada pelaku usaha. Ini dikenal dengan bantuan yang bersifat produktif. Masyarakat yang jadi korban PHK bisa diberikan bantuan ternak, mesin jahit, atau peralatan lainnya sesuai kebutuhannya.

“Kalau dua treatment ini bisa dikelola di masa pandemi itu akan sangat membantu. Apalagi kehadiran pemerintah di waktu sulit ini kurang untuk bisa menjangkau semua, makanya perlu pelibatan swasta atau masyarakat,” ujarnya.

Fitra berharap melalui momentum Ramadan yang dijalani di masa pandemi ini ibadah sosial masyarakat turut meningkat. “Harapannya, mental menjadi muzakki harus terus didorong demi membantu sesama yang membutuhkan,” ujarnya.

Pengamat ekonomi syariah dari IPB Bogor Irfan Syauqi Beik mengatakan, penyaluran zakat, infak dan sedekah secara informal angkanya lima kali lebih besar dibandingkan yang diserahkan melalui lembaga formal. Pada 2020, kata dia, dana yang disalurkan ke lembaga formal baru sekitar Rp12 triliun, jauh lebih sedikit dibandingkan ke lembaga informal yanga mencapai Rp61 triliun. Dia menyayangkan hal tersebut terjadi.

“Jika zakat, infak dan sedekah diserahkannya ke lembaga formal itu bisa dibuatkan program berkelanjutan sehingga manfaatnya lebih nyata dan signifikan,” ujarnya.

Dia memberi ilustrasi jika bantuan uang tunai Rp50.000 langsung diberikan oleh muzakki ke mustahik atau orang yang layak menerima zakat, lalu pertanyannya, berapa besar itu bisa membantu atau memberi dampak kepada yang bersangkutan. “Memang pasti berdampak juga, tapi kan tidak sebesar jika misalnya Rp50.000 itu dikumpulkan melalui lembaga, taruhlan ada 1.000 orang, maka akan terkumpul dana Rp50 juta. Itu bisa buat program yang lebih sustainable,” katanya.

Menurut Irfan, maraknya gerakan filantropi di Tanah Air hal yang sangat baik, namun sayang karena belum memberi efek yang optimal karena pengelolaan dana oleh lembaga formal masih minim.

Masih rendahnya dana yang disalurkan ke lembaga formal dipicu beberapa hal, terutama soal literasi. Menurutnya, masih banyak pemahaman masyarakat yang kurang tepat. Contoh, banyak yang masyarakat menganggap membayar zakat langsung ke mustahik lebih baik atau lebih afdol. “Bagi saya ini pendapat yang kurang tepat, kalau infak dan sedekah yang sunnah silakan. Kalau zakat harus lewat institusi amil sebagaimana dicontohkan Rasulullah dan sahabat,” katanya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1453 seconds (0.1#10.140)