Mempertegas Ke-Indonesiaan 61 Tahun Lahirnya PMII
loading...
A
A
A
PMII sebagai organisasi mahasiswa yang sejak kelahirannya mengusung dua komtmen sekaligus, antara komitmen kebangsaan dan keagamaan, ke-Indonesiaan dan ke-Islaman, saat ini menghadapi tantangan yang serius, di tengah kompleksitas persoalan bangsa. Saya yakin dan percaya, doktrin kecintaan PMII terhadap negeri ini takkan pernah goyah, tetapi gempuran dari kelompok intoeran dan radikal menjadi musuh bersama yang harus dihadapi PMII.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah bagaimana PMII mendesiminasikan gagasan keagamaan Islam yang moderat (wasathiyah) di kalangan masyarakat. BNPT dalam risetnya tahun 2017, menyebut ada 39% mahasiswa Indonesia yang terpapar intoleran dan radikal. Sementara Alvara Riset menyebut, 23% mahasiswa setuju penegakan khilafah islamiyah dan solidaritas agama dengan cara-cara kekerasan.
Angka-angka hasil riset pandangan keagamaan di kalangan pemuda dan mahasiswa cukup mengkhawatirkan. Di tambah 4% dari jumlah penduduk Indonesia atau setara dengan 10 juta menjadi simpatisan ISIS. Tentu ini tidak hanya menjadi tanggungjawab PMII, tetapi fakta-fakta demikian menambah daftar panjang tantangan yang dihadapi mahasiswa PMII yang notabene berasal dari pondok pesantren dan madrasah.
Secara internal PMII juga menghadapi masalah yang tak kalah penting. Pemahaman keagamaan juga tetap harus dikuatkan, agar modal filosofis dan historis yang selama ini dipunyai PMII, sebagai organisasi keagamaan dengan segudang kader dan anggota berpengetahuan agama memadahi dapat terpelihara.
Perkembangan keanggotaan PMII di kampus umum yang pesat satu sisi menggembirakan, namun harus diimbangi dengan penguatan keagamaan (tafaqquh fiddin)-nya. Walau di kampus umum, juga sudah mulai terjadi pergeseran input, dengan mulai banyaknya alumni madrasah dan pesantren yang mengambil studi pada PTU terbaik, yang kemudian bergabung dalam wadah pergerakan.
Tambahan Refleksi
Jutaan kader dan anggota PMII yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, tentu tengah melakukan refleksi mendalam atas eksistensi, peran dan tantangan yang kini dihadapi. Memasuki era industri 4.0 yang dicirikan dengan big data dan kehidupan yang serba digital, PMII juga dituntut membenahi diri untuk melek teknologi, tak kalah pentingnya diimbangi dengan perubahan paradigma berfikir tentang pemberdayaan kader.
Orientasi gerakan yang berorientasi pada political oriented, harus diubah pada penguatan intelektualitas dan pemberdayuaan kader melalui pengataan sistem kaderisasi. PT sebagai lumbung SDM PMII, harus tercermin dengan munculnya profil kader dengan gagasan-gagasan segar dan brilian baik di bidang keagamaan maupun nwacana-wacana progresif lainnya, untuk memperkuat politik kebangsaan.
Ingat PMII harus tetap peka terhadap mereka yang papa, mereka yang lemah secara ekonomi dan sosial (kaum mustadh’afin). PMII konsisten menjadi katalisator antara pemerintah dengan rakyat, agar ikhtiar pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah khidmah tetap lanmggeng. Kader PMII bukan di cetak sebagai kader intelektual yang di menara gading tetapi harus membaur menjadi organ-oragan organik di masyarakat.
Ruang-ruang diskusi dan wacana yang mulai sepi di perguruan tinggi, harus kembali di isi oleh anggota dan kader PMII. Kitab kuning sebagai warisan ulama nusantara, yang mengajarkan Islam secara moderat, harus menjadi menu sajian utama di masjid-masjid kampus, yang konon kini didominasi oleh kelompok intoleran dan radikal.
Perebutan wacana ini penting. Saya bisa katakan mestinya yang menjadi lokomotif keagamaan yang moderat ada di tangan kader PMII, bukan orang lain. Karena sejatinya PMII dilahirkan untuk menjawab kebutuhan keagamaan masyarakat yang rahmatan lil álamin. Dapat dikatakan PMII adalah agen moderasi beragama yang tak tertandingi.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah bagaimana PMII mendesiminasikan gagasan keagamaan Islam yang moderat (wasathiyah) di kalangan masyarakat. BNPT dalam risetnya tahun 2017, menyebut ada 39% mahasiswa Indonesia yang terpapar intoleran dan radikal. Sementara Alvara Riset menyebut, 23% mahasiswa setuju penegakan khilafah islamiyah dan solidaritas agama dengan cara-cara kekerasan.
Angka-angka hasil riset pandangan keagamaan di kalangan pemuda dan mahasiswa cukup mengkhawatirkan. Di tambah 4% dari jumlah penduduk Indonesia atau setara dengan 10 juta menjadi simpatisan ISIS. Tentu ini tidak hanya menjadi tanggungjawab PMII, tetapi fakta-fakta demikian menambah daftar panjang tantangan yang dihadapi mahasiswa PMII yang notabene berasal dari pondok pesantren dan madrasah.
Secara internal PMII juga menghadapi masalah yang tak kalah penting. Pemahaman keagamaan juga tetap harus dikuatkan, agar modal filosofis dan historis yang selama ini dipunyai PMII, sebagai organisasi keagamaan dengan segudang kader dan anggota berpengetahuan agama memadahi dapat terpelihara.
Perkembangan keanggotaan PMII di kampus umum yang pesat satu sisi menggembirakan, namun harus diimbangi dengan penguatan keagamaan (tafaqquh fiddin)-nya. Walau di kampus umum, juga sudah mulai terjadi pergeseran input, dengan mulai banyaknya alumni madrasah dan pesantren yang mengambil studi pada PTU terbaik, yang kemudian bergabung dalam wadah pergerakan.
Tambahan Refleksi
Jutaan kader dan anggota PMII yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, tentu tengah melakukan refleksi mendalam atas eksistensi, peran dan tantangan yang kini dihadapi. Memasuki era industri 4.0 yang dicirikan dengan big data dan kehidupan yang serba digital, PMII juga dituntut membenahi diri untuk melek teknologi, tak kalah pentingnya diimbangi dengan perubahan paradigma berfikir tentang pemberdayaan kader.
Orientasi gerakan yang berorientasi pada political oriented, harus diubah pada penguatan intelektualitas dan pemberdayuaan kader melalui pengataan sistem kaderisasi. PT sebagai lumbung SDM PMII, harus tercermin dengan munculnya profil kader dengan gagasan-gagasan segar dan brilian baik di bidang keagamaan maupun nwacana-wacana progresif lainnya, untuk memperkuat politik kebangsaan.
Ingat PMII harus tetap peka terhadap mereka yang papa, mereka yang lemah secara ekonomi dan sosial (kaum mustadh’afin). PMII konsisten menjadi katalisator antara pemerintah dengan rakyat, agar ikhtiar pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah khidmah tetap lanmggeng. Kader PMII bukan di cetak sebagai kader intelektual yang di menara gading tetapi harus membaur menjadi organ-oragan organik di masyarakat.
Ruang-ruang diskusi dan wacana yang mulai sepi di perguruan tinggi, harus kembali di isi oleh anggota dan kader PMII. Kitab kuning sebagai warisan ulama nusantara, yang mengajarkan Islam secara moderat, harus menjadi menu sajian utama di masjid-masjid kampus, yang konon kini didominasi oleh kelompok intoleran dan radikal.
Perebutan wacana ini penting. Saya bisa katakan mestinya yang menjadi lokomotif keagamaan yang moderat ada di tangan kader PMII, bukan orang lain. Karena sejatinya PMII dilahirkan untuk menjawab kebutuhan keagamaan masyarakat yang rahmatan lil álamin. Dapat dikatakan PMII adalah agen moderasi beragama yang tak tertandingi.