Mempertegas Ke-Indonesiaan 61 Tahun Lahirnya PMII
loading...
A
A
A
Ruchman Basori
Sekretaris Cabang PMII Kota Semarang 1997-1998 dan Kini Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Bidang Kaderisasi
ENAM puluh satu tahun yang lalu, tepatnya 17 April 1960 organisasi yang oleh para the founding father diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dilahirkan. Lima belas tahun pasca-Indonesia merdeka 1945 menjadi tonggak sejarah mahasiswa kalangan tradisional.
13 orang pendiri tercatat dalam sejarah pergerakan yaitu A. Khalid Mawardi (Jakarta), M. Said Budairy (Jakarta), M. Sobich Ubaid (Jakarta), Makmun Syukri (Bandung), Hilman Badruddinsyah (Bandung), Ismail Makki (Yogyakarta), Munsif Nakhrowi (Yogyakarta), Nuril Huda Suaidi (Surakarta), Laily Mansyur (Surakarta), Abd. Wahhab Jaelani (Semarang), Hizbulloh Huda (Surabaya), M. Kholid Narbuko (Malang) dan Ahmad Hussein (Makassar).
Merekalah yang berjasa sebagai tokoh yang berkumpul, mendeklarasikan berdirinya wadah organisasi mahasiswa di bawah jam’iyah Nahdlatul Ulama. Dalam perkembangannya melalui Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972 menyatakan independen, sampai saat ini.
Pergulatan sosial-politik kebangsaan, telah mengantarkan PMII menjadi organisasi yang eksis, di tengah bergugurannya organisasi kemasyarakatan sepanjang sejarah bangsa. Wadah ini dinilai telah memberikan kontribusi yang besar bagi banyak orang. Al-Quran Surat Ar-Ra’d 17 telah menggambarkan tentang hal ini: “Fa-ammaz zabadu fayazhabu jufa-a wa-amma yanfa’un nasa fayamkutsu fil ardhi“. Adapun buih yang tak berguna akan hilang ditelan zaman, sementara sesuatu yang bermanfaat akan berjalan terus.
Eksis di Tengah Problem
Adalah Yaqut Cholil Qaumas Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor yang juga Menteri Agama RI, di suatu kesempatan mengatakan, “Jangan Lelah untuk Mencintai Indonesia”. Pesan yang singkat, sebagai pembacaan atas fenomena munculnya defisit kebengsaan di kalangan anak muda. Ungkapan ini relevan saya kutip, di tengah tantangan PMII berjuang menegakan komitmen kebangsaan.
Betapa komitmen ke-Indonesiaan kita diuji, terutama mahasiswa PMII yang kini rata-rata berusia millennial. Lahir jauh setelah Indonesia merdeka yang sudah barang tentu sulit menghadirkan suasana kebathinan para pejuang kemerdekaan, kalau tidak tertempa dengan baik.
Setidaknya ada tiga masalah bangsa Indonesia yang mendasar, jika kita mengutip Yaqut Cholil Qaumas, Pertama, munculnya kelompok yang mempertanyakan konsensus nasional. Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD,45 dipertanyakan atau digugat oleh kelompok yang ingin mengganti dasar dan bentuk negara menjadi paham lain. Ada yang mengsung paham komunis ada juga dengan jargon khilafah Islamiyah.
Kedua, munculnya kelompok yang kerap melakukan klaim kebenaran keagamaan (truth claim). Menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar, paling beriman, paling muslim dan menyalahkan pihak lain, bahkan sampai mengkafirkan saudaranya yang muslim. Kelompok ini biasa juga di sebut sebagai kelompok takfiri.
Sementara problem ketiga, adalah kelompok silent majority. Kelompok mayoritas diam terhadap problem-problem kebangsaan yang dihadapi. Terhadap hal ini wajar jika kelomok intoleran dan radikal sebagai gambaran dari kelompok pertama dan kedua makin merajalela. Wacana-wana keagamaan didominasi oleh kelompok ini, sementara warga bangsa yang moderat sering abai, diam menghadapi gempuran yang merontokan sendi-sendi kebangsaan ini.
Sekretaris Cabang PMII Kota Semarang 1997-1998 dan Kini Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Bidang Kaderisasi
ENAM puluh satu tahun yang lalu, tepatnya 17 April 1960 organisasi yang oleh para the founding father diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dilahirkan. Lima belas tahun pasca-Indonesia merdeka 1945 menjadi tonggak sejarah mahasiswa kalangan tradisional.
13 orang pendiri tercatat dalam sejarah pergerakan yaitu A. Khalid Mawardi (Jakarta), M. Said Budairy (Jakarta), M. Sobich Ubaid (Jakarta), Makmun Syukri (Bandung), Hilman Badruddinsyah (Bandung), Ismail Makki (Yogyakarta), Munsif Nakhrowi (Yogyakarta), Nuril Huda Suaidi (Surakarta), Laily Mansyur (Surakarta), Abd. Wahhab Jaelani (Semarang), Hizbulloh Huda (Surabaya), M. Kholid Narbuko (Malang) dan Ahmad Hussein (Makassar).
Merekalah yang berjasa sebagai tokoh yang berkumpul, mendeklarasikan berdirinya wadah organisasi mahasiswa di bawah jam’iyah Nahdlatul Ulama. Dalam perkembangannya melalui Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972 menyatakan independen, sampai saat ini.
Pergulatan sosial-politik kebangsaan, telah mengantarkan PMII menjadi organisasi yang eksis, di tengah bergugurannya organisasi kemasyarakatan sepanjang sejarah bangsa. Wadah ini dinilai telah memberikan kontribusi yang besar bagi banyak orang. Al-Quran Surat Ar-Ra’d 17 telah menggambarkan tentang hal ini: “Fa-ammaz zabadu fayazhabu jufa-a wa-amma yanfa’un nasa fayamkutsu fil ardhi“. Adapun buih yang tak berguna akan hilang ditelan zaman, sementara sesuatu yang bermanfaat akan berjalan terus.
Eksis di Tengah Problem
Adalah Yaqut Cholil Qaumas Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor yang juga Menteri Agama RI, di suatu kesempatan mengatakan, “Jangan Lelah untuk Mencintai Indonesia”. Pesan yang singkat, sebagai pembacaan atas fenomena munculnya defisit kebengsaan di kalangan anak muda. Ungkapan ini relevan saya kutip, di tengah tantangan PMII berjuang menegakan komitmen kebangsaan.
Betapa komitmen ke-Indonesiaan kita diuji, terutama mahasiswa PMII yang kini rata-rata berusia millennial. Lahir jauh setelah Indonesia merdeka yang sudah barang tentu sulit menghadirkan suasana kebathinan para pejuang kemerdekaan, kalau tidak tertempa dengan baik.
Setidaknya ada tiga masalah bangsa Indonesia yang mendasar, jika kita mengutip Yaqut Cholil Qaumas, Pertama, munculnya kelompok yang mempertanyakan konsensus nasional. Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD,45 dipertanyakan atau digugat oleh kelompok yang ingin mengganti dasar dan bentuk negara menjadi paham lain. Ada yang mengsung paham komunis ada juga dengan jargon khilafah Islamiyah.
Kedua, munculnya kelompok yang kerap melakukan klaim kebenaran keagamaan (truth claim). Menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar, paling beriman, paling muslim dan menyalahkan pihak lain, bahkan sampai mengkafirkan saudaranya yang muslim. Kelompok ini biasa juga di sebut sebagai kelompok takfiri.
Sementara problem ketiga, adalah kelompok silent majority. Kelompok mayoritas diam terhadap problem-problem kebangsaan yang dihadapi. Terhadap hal ini wajar jika kelomok intoleran dan radikal sebagai gambaran dari kelompok pertama dan kedua makin merajalela. Wacana-wana keagamaan didominasi oleh kelompok ini, sementara warga bangsa yang moderat sering abai, diam menghadapi gempuran yang merontokan sendi-sendi kebangsaan ini.