Cegah Ancaman Radikalisme, Tanamkan Moderasi Sejak Dini
loading...
A
A
A
Menurut dia, upaya ini selama ini masih kurang didengungkan ke kalangan milenial. Pemerintah diharapkan bisa berbuat lebih dari yang ada sekarang. “Karena masih sangat minoritas dibanding dengan konten-konten yang berseliweran di media sosial yang lebih yang lebih bercorak ke arah radikal itu. Pengamatan saya begitu,” kata Imdadun.
Untuk level kedua, menurut mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu, berharap adanya konten-konten yang lebih "berat", yaitu penjelasan mengenai dalil-dalil dalam kitab suci yang bisa memberikan peneguhan dan pembenaran bahwa paham keagamaan yang moderat adalah yang benar, sesuai dengan Islam yang asli. Menurut dia, hal itu perlu argumen dan dalil.
“Konten-konten ini lebih tinggi dan lebih berat dibandingkan dengan konten pertama tadi. Dalam hal ini memang peran para ustaz, para tokoh agama, para intelektual untuk menyediakan konten-konten yang berisi argumen, hujjah dan dalil-dalilnya. Jadi sudah harus menghadirkan dalil-dalilnya yang memberikan landasan bagi kebenaran Islam moderat itu, Islam wasathiyah, agama yang moderat itu. Itu untuk yang level menengah,” tuturnya.
Lalu langkah untuk level yang lebih tinggi atau ketiga, yaitu kerja para intelektual yang benar-benar yaitu berupa penerbitan penerbitan buku yang mengupas pentingnya moderasi agama dari berbagai tinjauan, baik dari sisi sosial, psikologi, ekonomi, politik, kebudayaan dari tentunya juga dari sisi peradaban Islam. Karena peradaban kebudayaan dan peradaban Islam itu hanya bisa dibangun dengan pendekatan keagamaan yang wasathiyah dan moderat.
“Sejarah telah membuktikan itu. Karena semua bentuk ideologi yang mengarah kepada kekerasan dan teror itu sejak jaman dulu selalu menghasilkan kehancuran. Nah argumen-argumen yang lebih educated itu perlu terus ditulis dalam bentuk penelitian-penelitian dan buku-buku. Ini untuk level yang lebih tinggi,” tuturnya.
Oleh karena itu, Imdadun juga mengingatkan pentingnya influencer untuk menarik anak generasi milenial. Diperlukan narasumber tokoh-tokoh muda, ustad muda, kiai muda yang menurutnya bisa untuk lebih diterima kalangan milenial.
“Milenial inikan juga banyak, levelnya bertingkat-tingkat. Ada yang beginners dalam beragama dan ada yang sudah mulai ingin mendalami dan ada pula anak muda yang membutuhkan asupan keagamaan dalam bentuk yang lebih intelektual akademik. Mereka itu sudah tidak lagi berpikir siapa yang menyampaikan, tetapi sedalam apa dan sekuat apa argumen dari konten yang mereka baca,” ujarnya.
Menurut dia, masuknya paham-paham radikal kekerasan melalui pemahaman keagamaan ini dapat masuk melalui dunia pendidikan. Pintu masuk pemahaman keagamaan apakah akan jadi moderat atau radikal itu ternyata dari dua sumber.
“Pertama, dari pembelajaran di kelas, baik itu melalui kurikulum resmi dan yang kedua dari proses pembelajaran di luar kelas," tuturnya.
Untuk itu, lanjut dia, perlu dilakukan evaluasi dan revisi Pembelajaran mata pelajaran agama di kelas dan juga kegiatan-kegiatan diluar kelas, ekstrakurikuler. “Karena kalau guru resmi masih ‘bisa dikendalikan’ oleh kepala sekolah, oleh Kementerian Agama dan seterusnya. Nah kalau yang di luar kegiatan ini kadang-kadang mereka jalan s
Untuk level kedua, menurut mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu, berharap adanya konten-konten yang lebih "berat", yaitu penjelasan mengenai dalil-dalil dalam kitab suci yang bisa memberikan peneguhan dan pembenaran bahwa paham keagamaan yang moderat adalah yang benar, sesuai dengan Islam yang asli. Menurut dia, hal itu perlu argumen dan dalil.
“Konten-konten ini lebih tinggi dan lebih berat dibandingkan dengan konten pertama tadi. Dalam hal ini memang peran para ustaz, para tokoh agama, para intelektual untuk menyediakan konten-konten yang berisi argumen, hujjah dan dalil-dalilnya. Jadi sudah harus menghadirkan dalil-dalilnya yang memberikan landasan bagi kebenaran Islam moderat itu, Islam wasathiyah, agama yang moderat itu. Itu untuk yang level menengah,” tuturnya.
Lalu langkah untuk level yang lebih tinggi atau ketiga, yaitu kerja para intelektual yang benar-benar yaitu berupa penerbitan penerbitan buku yang mengupas pentingnya moderasi agama dari berbagai tinjauan, baik dari sisi sosial, psikologi, ekonomi, politik, kebudayaan dari tentunya juga dari sisi peradaban Islam. Karena peradaban kebudayaan dan peradaban Islam itu hanya bisa dibangun dengan pendekatan keagamaan yang wasathiyah dan moderat.
“Sejarah telah membuktikan itu. Karena semua bentuk ideologi yang mengarah kepada kekerasan dan teror itu sejak jaman dulu selalu menghasilkan kehancuran. Nah argumen-argumen yang lebih educated itu perlu terus ditulis dalam bentuk penelitian-penelitian dan buku-buku. Ini untuk level yang lebih tinggi,” tuturnya.
Oleh karena itu, Imdadun juga mengingatkan pentingnya influencer untuk menarik anak generasi milenial. Diperlukan narasumber tokoh-tokoh muda, ustad muda, kiai muda yang menurutnya bisa untuk lebih diterima kalangan milenial.
“Milenial inikan juga banyak, levelnya bertingkat-tingkat. Ada yang beginners dalam beragama dan ada yang sudah mulai ingin mendalami dan ada pula anak muda yang membutuhkan asupan keagamaan dalam bentuk yang lebih intelektual akademik. Mereka itu sudah tidak lagi berpikir siapa yang menyampaikan, tetapi sedalam apa dan sekuat apa argumen dari konten yang mereka baca,” ujarnya.
Menurut dia, masuknya paham-paham radikal kekerasan melalui pemahaman keagamaan ini dapat masuk melalui dunia pendidikan. Pintu masuk pemahaman keagamaan apakah akan jadi moderat atau radikal itu ternyata dari dua sumber.
“Pertama, dari pembelajaran di kelas, baik itu melalui kurikulum resmi dan yang kedua dari proses pembelajaran di luar kelas," tuturnya.
Untuk itu, lanjut dia, perlu dilakukan evaluasi dan revisi Pembelajaran mata pelajaran agama di kelas dan juga kegiatan-kegiatan diluar kelas, ekstrakurikuler. “Karena kalau guru resmi masih ‘bisa dikendalikan’ oleh kepala sekolah, oleh Kementerian Agama dan seterusnya. Nah kalau yang di luar kegiatan ini kadang-kadang mereka jalan s