Papua: Integrasi, Otonomi Khusus, dan Pembangunan
loading...
A
A
A
Ogiandhafiz Juanda
Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum Internasional Universitas Nasional (Unas), Direktur Treas Constituendum Institute
LEGALITAS atau keabsahan integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia belum sepenuhnya diterima semua pihak. Salah satu alasannya integrasi tidak dilakukan melalui proses politik yang demokratis. Hal tersebut juga dianggap sebagai akar yang menyebabkan terjadinya krisis sosial dan politik di Papua.
Sebagai jalan keluar, negara telah memberikan otonomi khusus (Otsus) kepada Papua. Akan tetapi, otsus tersebut juga tampaknya tidak mampu berbicara banyak dalam menyelesaikan permasalahan domestik di wilayah paling timur Indonesia tersebut.
Sama halnya dengan upaya pemerintah dalam membangun infrastruktur, itu sering dianggap mata hanya menguntungkan segelintir elite, dan pada kenyataannya tidak membawa dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Papua.
Serangkaian permasalahan di atas ialah gambaran bagaimana kompleksnya masalah yang terjadi di Papua sejak dulu hingga hari ini. Tulisan ini bermaksud untuk mengurainya dari awal.
Integrasi Tidak Final
Dalam literatur hukum internasional, integrasi Papua ke Indonesia yang dilakukan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 merupakan bentuk pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri secara eksternal (external self-determination).
Pepera tersebut dilaksanakan berdasarkan perjanjian New York 1962 yang dilakukan oleh Indonesia dan Belanda. Tidak banyak fakta yang bisa menegaskan apakah perjanjian tersebut ikut melibatkan orang asli Papua atau tidak. Akan tetapi, perjanjian tersebut memberikan kewajiban kepada Indonesia untuk melaksanakan Pepera dengan melibatkan semua masyarakat Papua tanpa terkecuali.
Menariknya, pelaksanaan Pepera ternyata hanya dilakukan terhadap 1.025 orang yang merupakan perwakilan dari setiap wilayah politik dan budaya di Papua. Itu dilakukan karena mempertimbangkan kondisi geografis dan sebaran masyarakat Papua pada waktu itu.
Meskipun demikian, pelaksanaan Pepera dengan mekanisme yang dikenal dengan istilah noken atau pemberian suara melalui perwakilan kepala suku hasil kesepakatan dari masyarakat tidak kemudian menjadi sebuah kesalahan mutlak. Karena mekanisme politik tersebut pada kenyataannya sampai hari ini masih dipraktikkan di Papua sebagai satu aturan/kebiasaan adat di sana. Sehingga, bisa dikatakan bahwa Pepera tersebut telah dilaksanakan dengan mekanisme yang layak dan tepat pada waktu itu.
Dengan demikian, perdebatan mengenai status integrasi Papua seharusnya juga sudah tuntas meskipun sifatnya tidak final.
Advokat, Dosen dan Pengamat Hukum Internasional Universitas Nasional (Unas), Direktur Treas Constituendum Institute
LEGALITAS atau keabsahan integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia belum sepenuhnya diterima semua pihak. Salah satu alasannya integrasi tidak dilakukan melalui proses politik yang demokratis. Hal tersebut juga dianggap sebagai akar yang menyebabkan terjadinya krisis sosial dan politik di Papua.
Sebagai jalan keluar, negara telah memberikan otonomi khusus (Otsus) kepada Papua. Akan tetapi, otsus tersebut juga tampaknya tidak mampu berbicara banyak dalam menyelesaikan permasalahan domestik di wilayah paling timur Indonesia tersebut.
Sama halnya dengan upaya pemerintah dalam membangun infrastruktur, itu sering dianggap mata hanya menguntungkan segelintir elite, dan pada kenyataannya tidak membawa dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Papua.
Serangkaian permasalahan di atas ialah gambaran bagaimana kompleksnya masalah yang terjadi di Papua sejak dulu hingga hari ini. Tulisan ini bermaksud untuk mengurainya dari awal.
Integrasi Tidak Final
Dalam literatur hukum internasional, integrasi Papua ke Indonesia yang dilakukan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 merupakan bentuk pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri secara eksternal (external self-determination).
Pepera tersebut dilaksanakan berdasarkan perjanjian New York 1962 yang dilakukan oleh Indonesia dan Belanda. Tidak banyak fakta yang bisa menegaskan apakah perjanjian tersebut ikut melibatkan orang asli Papua atau tidak. Akan tetapi, perjanjian tersebut memberikan kewajiban kepada Indonesia untuk melaksanakan Pepera dengan melibatkan semua masyarakat Papua tanpa terkecuali.
Menariknya, pelaksanaan Pepera ternyata hanya dilakukan terhadap 1.025 orang yang merupakan perwakilan dari setiap wilayah politik dan budaya di Papua. Itu dilakukan karena mempertimbangkan kondisi geografis dan sebaran masyarakat Papua pada waktu itu.
Meskipun demikian, pelaksanaan Pepera dengan mekanisme yang dikenal dengan istilah noken atau pemberian suara melalui perwakilan kepala suku hasil kesepakatan dari masyarakat tidak kemudian menjadi sebuah kesalahan mutlak. Karena mekanisme politik tersebut pada kenyataannya sampai hari ini masih dipraktikkan di Papua sebagai satu aturan/kebiasaan adat di sana. Sehingga, bisa dikatakan bahwa Pepera tersebut telah dilaksanakan dengan mekanisme yang layak dan tepat pada waktu itu.
Dengan demikian, perdebatan mengenai status integrasi Papua seharusnya juga sudah tuntas meskipun sifatnya tidak final.