Indonesia Maju Bergotongroyong Merawat Humanisme dan Melawan Terorisme
loading...
A
A
A
Keseluruhan monumen bangunan dan isi materi dari berbagai narasi dan aksi energi positif ini di atas merupakan faham, ajaran, aliran, doktrin, dan ideologi kebaikan, kebajikan, dan keadaban yang sesungguhnya luhur dan mulia. Sebuah dan serangkaian keluhuran dan kemuliaan yang bersumber dan berasal dari Agama-Agama dan Kepercayaan Samawi yang dianuti dan diimani. Juga merupakan nilai-nilai keluhuran dan kemuliaan dari tradisi kebiasaan dan kebudayaan yang lahir, tumbuh, dan berkembang dari masyarakat, untuk masyarakat, dan oleh masyarakat Indonesia.
Keseluruhan konstruksi dan substansi nilai-nilai luhur dan mulia masyarakat dan bangsa Indonesia terkandung dalam Sila-Sila Pancasila. Falsafah, dasar, dan ideologi Pancasila merupakan dan menjadi panduan ideologis yang merawat (membumikan dan memaksimalkan) energi positif humanisme (kemanusiaan, keadaban, kebajikan, kebhinnekaan, kemajemukan, kepelbagaian, kesaudaraan, kesahabatan, dan kebersamaan). Pancasila sebagai falsafah, dasar, dan ideologi bersama, pada dasarnya ketika dipraxiskan dan dibumikan bersama maka Pancasila dapat menjadi dan merupakan arahan, amunisi, dan obat ideologis. Terutama dan khususnya untuk melawan (meminimalkan dan menghilangkan) energi negatif yang manipulatif dan provokatif, yaitu : radikalisme dan terorisme.
Kejahatan terorisme sebagai extraordinary crimes, memiliki sejumlah hal yang berkaitan dan bersentuhan dengan apa dan bagaimana mengenai agenda, motif, tujuan, target, sasaran dari kejahatan terorisme. Perihal ini tentu merupakan perspektif dari seseorang dan sekelompok komunitas radikalis dan teroris yang merencanakan dan melakukan kejahatan terorisme. Elemen yang merencanakan dan melakukan kejahatan terorisme berbasis pada kalangan pelaku operasional teknis dan kalangan pelaku intelektual strategis. Kalangan pelaku operasional dan intelektual selalu bercita-cita tinggi dan berharap penuh untuk menyebarkan dan menyuburkan ketakutan publik secara lokal, nasional, regional, dan internasional dengan masif.
Kejahatan terorisme dengan segenap anasir pelakunya, penggagasnya, dan penggeraknya, menjadi berantakan habis dan gagal total. Kemudian mengalami kegagalan harapan dan kehancuran cita-cita untuk menyebarkan dan menyuburkan ketakutan apabila dikaitkan dengan sejumlah faktor. Apabila dan ketika masyarakat, bangsa, negara, dan publik manapun menunjukkan dan memastikan sepenuhnya secara terbuka untuk tidak takut sedikpun dan sekecilpun terhadap aksi-aksi kejahatan terorisme.
Juga apabila dan ketika tidak takut terhadap teror-teror ketakutan dari kaum radikalis dan teroris (kejahatan terorisme). Kemudian apabila dan ketika masyarakat, bangsa, negara, publik regional dan internasional berkonsolidasi dan beraksi melawan dan mengatasi kejahatan terorisme dengan keberanian dan ketegasan secara terbuka, bersatu, dan bergotongroyong.
Kegagalan dan kehancuran kejahatan terorisme menjadi nyata karena tidak berhasil menyebarkan dan menyuburkan ketakutan. Selain karena faktor masyarakat, bangsa, negara, dan publik bersatu melawan kejahatan terorisme, dan sama sekali tidak takut terhadap aksi-aksi terorisme. Juga karena dorongan faktor kemauan yang kuat dan keberanian yang tinggi dari keseluruhan kalangan luas, yang secara langsung dan terbuka menunjukkan keberanian dan ketegasan yang bersatu padu-kuat dan bergotongroyong utuh-kompak mencegahi, menghadapi, dan mengatasi kejahatan terorisme.
Kejahatan terorisme pada dasarnya, dan selanjutnya pada akhirnya, sering dan selalu mengalami kegagalan yang berantakan dan beruntun. Juga senantiasa menemui jalan buntu keberhasilan. Pikiran, hati, dan nurani kemanusiaan publik di manapun dan kapanpun selalu dan pasti menolak dan menentang aksi-aksi kejahatan terorisme, apapun dasar argumentasi dan motif pertimbangan dari teroris melakukannya. Doktrin abadi dan ideologi sejati dari kejahatan terorisme adalah menegasikan, meniadakan, dan menghancurkan kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Juga menentang, melawan, dan merusak nilai-nilai keadaban, kebajikan, kebhinnekaan, kemajemukan, dan kepelbagaian.
Malahan sesungguhnya dan sejatinya kejahatan terorisme dengan segala aksi-aksi teror justru selalu menentang, melawan, dan menghancurkan faham dan nilai-nilai keagamaan dan keimanan yang amat luhur, mulia, dan sakral. Faham dan nilai-nilai keagamaan dan keimanan justru mengandung sekaligus mengajarkan dan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadaban, kebajikan, kebhinnekaan, kemajemukan, kepelbagaian dengan jiwa dan semangat persaudaraan abadi dan persahabatan sejati. Pengajaran dan penyebaran nilai-nilai ini dengan pola keteladanan, dan melalui pemikiran, sikap, pergaulan, perbuatan, dan perilaku yang berbasis inklusi, moderasi, dan toleransi.
Dengan demikian, yang terjadi dengan kejahatan terorisme adalah tidak hanya dan bukan saja tidak mendapat dukungan publik terhadap aksi-aksi kejahatan terorisme yang dilakukan. Namun dan melainkan justru mendapat perlawanan keras dan penolakan tegas dari masyarakat, bangsa, negara, dan publik. Kejahatan terorisme kehilangan segalanya dan semuanya. Kehilangan dasar etika dan landasan moral. Dan lagi pula kehilangan legitimasi teologis, sosiologis, ekonomis, politis, historis, dan sebagainya.
Kejahatan terorisme kehilangan keseluruhan dari apa yang dipikirkan, direncanakan, dilakukan, dan ditargetkan karena dari "kelahirannya dan kehadirannya" saja sudah "cacat", "aneh", dan tidak legitim. Bahkan sudah menyimpang dan bertentangan dengan azas keadaban dan kebajikan serta membahayakan dan berlawanan dengan hakekat kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Keseluruhan konstruksi dan substansi nilai-nilai luhur dan mulia masyarakat dan bangsa Indonesia terkandung dalam Sila-Sila Pancasila. Falsafah, dasar, dan ideologi Pancasila merupakan dan menjadi panduan ideologis yang merawat (membumikan dan memaksimalkan) energi positif humanisme (kemanusiaan, keadaban, kebajikan, kebhinnekaan, kemajemukan, kepelbagaian, kesaudaraan, kesahabatan, dan kebersamaan). Pancasila sebagai falsafah, dasar, dan ideologi bersama, pada dasarnya ketika dipraxiskan dan dibumikan bersama maka Pancasila dapat menjadi dan merupakan arahan, amunisi, dan obat ideologis. Terutama dan khususnya untuk melawan (meminimalkan dan menghilangkan) energi negatif yang manipulatif dan provokatif, yaitu : radikalisme dan terorisme.
Kejahatan terorisme sebagai extraordinary crimes, memiliki sejumlah hal yang berkaitan dan bersentuhan dengan apa dan bagaimana mengenai agenda, motif, tujuan, target, sasaran dari kejahatan terorisme. Perihal ini tentu merupakan perspektif dari seseorang dan sekelompok komunitas radikalis dan teroris yang merencanakan dan melakukan kejahatan terorisme. Elemen yang merencanakan dan melakukan kejahatan terorisme berbasis pada kalangan pelaku operasional teknis dan kalangan pelaku intelektual strategis. Kalangan pelaku operasional dan intelektual selalu bercita-cita tinggi dan berharap penuh untuk menyebarkan dan menyuburkan ketakutan publik secara lokal, nasional, regional, dan internasional dengan masif.
Kejahatan terorisme dengan segenap anasir pelakunya, penggagasnya, dan penggeraknya, menjadi berantakan habis dan gagal total. Kemudian mengalami kegagalan harapan dan kehancuran cita-cita untuk menyebarkan dan menyuburkan ketakutan apabila dikaitkan dengan sejumlah faktor. Apabila dan ketika masyarakat, bangsa, negara, dan publik manapun menunjukkan dan memastikan sepenuhnya secara terbuka untuk tidak takut sedikpun dan sekecilpun terhadap aksi-aksi kejahatan terorisme.
Juga apabila dan ketika tidak takut terhadap teror-teror ketakutan dari kaum radikalis dan teroris (kejahatan terorisme). Kemudian apabila dan ketika masyarakat, bangsa, negara, publik regional dan internasional berkonsolidasi dan beraksi melawan dan mengatasi kejahatan terorisme dengan keberanian dan ketegasan secara terbuka, bersatu, dan bergotongroyong.
Kegagalan dan kehancuran kejahatan terorisme menjadi nyata karena tidak berhasil menyebarkan dan menyuburkan ketakutan. Selain karena faktor masyarakat, bangsa, negara, dan publik bersatu melawan kejahatan terorisme, dan sama sekali tidak takut terhadap aksi-aksi terorisme. Juga karena dorongan faktor kemauan yang kuat dan keberanian yang tinggi dari keseluruhan kalangan luas, yang secara langsung dan terbuka menunjukkan keberanian dan ketegasan yang bersatu padu-kuat dan bergotongroyong utuh-kompak mencegahi, menghadapi, dan mengatasi kejahatan terorisme.
Kejahatan terorisme pada dasarnya, dan selanjutnya pada akhirnya, sering dan selalu mengalami kegagalan yang berantakan dan beruntun. Juga senantiasa menemui jalan buntu keberhasilan. Pikiran, hati, dan nurani kemanusiaan publik di manapun dan kapanpun selalu dan pasti menolak dan menentang aksi-aksi kejahatan terorisme, apapun dasar argumentasi dan motif pertimbangan dari teroris melakukannya. Doktrin abadi dan ideologi sejati dari kejahatan terorisme adalah menegasikan, meniadakan, dan menghancurkan kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Juga menentang, melawan, dan merusak nilai-nilai keadaban, kebajikan, kebhinnekaan, kemajemukan, dan kepelbagaian.
Malahan sesungguhnya dan sejatinya kejahatan terorisme dengan segala aksi-aksi teror justru selalu menentang, melawan, dan menghancurkan faham dan nilai-nilai keagamaan dan keimanan yang amat luhur, mulia, dan sakral. Faham dan nilai-nilai keagamaan dan keimanan justru mengandung sekaligus mengajarkan dan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadaban, kebajikan, kebhinnekaan, kemajemukan, kepelbagaian dengan jiwa dan semangat persaudaraan abadi dan persahabatan sejati. Pengajaran dan penyebaran nilai-nilai ini dengan pola keteladanan, dan melalui pemikiran, sikap, pergaulan, perbuatan, dan perilaku yang berbasis inklusi, moderasi, dan toleransi.
Dengan demikian, yang terjadi dengan kejahatan terorisme adalah tidak hanya dan bukan saja tidak mendapat dukungan publik terhadap aksi-aksi kejahatan terorisme yang dilakukan. Namun dan melainkan justru mendapat perlawanan keras dan penolakan tegas dari masyarakat, bangsa, negara, dan publik. Kejahatan terorisme kehilangan segalanya dan semuanya. Kehilangan dasar etika dan landasan moral. Dan lagi pula kehilangan legitimasi teologis, sosiologis, ekonomis, politis, historis, dan sebagainya.
Kejahatan terorisme kehilangan keseluruhan dari apa yang dipikirkan, direncanakan, dilakukan, dan ditargetkan karena dari "kelahirannya dan kehadirannya" saja sudah "cacat", "aneh", dan tidak legitim. Bahkan sudah menyimpang dan bertentangan dengan azas keadaban dan kebajikan serta membahayakan dan berlawanan dengan hakekat kemanusiaan dan kemasyarakatan.